Lamunan Bisu

Minggu, 11 November 2018

GENDER DAN FAKTA SOSIAL (Telaah Terhadap Eksklusifisme Mahasiswi SAA UIN SUKA)


Oleh: Moh Anshory Lubis
Abstrak
Proses belajar didalam kelas merupakan ruang pulik yang siapa saja mempunyai hak untuk memaparkan argumentasinya, eentah laki-laki atau perempuan mereka memiliki hak yang sama untuk menginterpretasikan atas segala gejala dan rangsangan dari ilmu pengetahuan. Yang jadi gejala adalah ketika didapati perempuan tidak lebih cenderung dian dalam kegian belajar di dalam kelas. Sudah lazim kiranya kalau kita melihat laki-laki lebih punya hegemoni dalam kegiatan diskusi, misalnya didalam kelas studi Agama-agama  angkatan 2016. Menurut Sachico Morata bahwa laki-laki dan perempuan ibarat konsep Filosofi China yakni: Yin  dan Yang.
https://www.google.co.id/url?sa=i&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjEuIe-lczeAhUCaI8KHUO3AF4QjRx6BAgBEAU&url=https%3A%2F%2Fwww.livescience.com%2F37087-dsm-gender-dysphoria.html&psig=AOvVaw0dLS8kVLQUzEALFgAuuwZd&ust=1542019762048543


A.      Pendahuluan
Kajian tentang perempuan, di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini menampakkan perkembangan cukup pesat. Pusat Studi dan Kajian Perempuan menjamur hampir di setiap Perguruan Tinggi, di kantor instansi pemerintah, maupun di masyarakat luas. Kesadaran akan perbaikan keadaan perempuan yang dipelopori oleh feminisme Barat telah memberi inspirasi bagi perempuan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.[1] Banyak perempuan indonesia menampakkan diri untuk ambil bagian dalam meneliti gender. Beberapa alasan munculnya feminisme Indonesia adalah adanya ketimpangan antara laki-laki dianggap sebagai superior dan perempuan sebagai imperior.
Bukanlah kodrat ataupun ketentuan tuhan, gender adalah berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharuanya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan kata lain gender adalah pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran, fungsi, hal, prilaku yang dibentuk oleh ketentuan sosial dan budaya setempat.[2] Sehingga, muncullah konstruk sosial yang sengaja menghegemoni agar masyarakat menganggap hal tersebut sebagai sebuah yang sakral, kemudian menjadi nilai dan norma final melekat pada masyarakat.
Munculnya gerakan emansipatif perempuan merupakan sebuah couter terhadap kaum laki-laki atau biasa identik dengan sebutan patriarkhi. Padahal Kesetaraan gender merupakan sebuah istilah digunakan oleh aktivis sosial, feminisme dan politik untuk membantah satu konsepsi sosial yang telah terlanjur menjadi nilai sebagai pegangan hidup, yang didalamnya terdapat deskriminasi terhadap perempuan. Namun ada juga bertolak dari kenyataan tersebut, beberapa feminisme mendorong untuk membangun model relasi baru yang tidak patriarkal, melainkan berdasarkan logika kesaling hubungan manusia dengan manusia serta manusia dengan alam yang disebut dengan ekofeminisme.[3]
Wilson, dalam buku sociobiology: The New Synthesis (1975) menyatakan bahwa pembagian kerja secara seksual adalah suatu yang wajar, bersumber pada perbedaan struktur genetis dari laki-laki dan perempuan, sehingga pembagian kerja tersebut bisa terus tetap ada dan berlangsung sampai sekarang.[4] Pembagian ini seharusnya bukan diartikan sebagai sebuah imperioritas dan superioritas, tetapi lebih pada penyelarasan dan saling melengkapi yang keduanya diciptakan untuk saling berpasangan, hadir bersama daya pikatnya masing-masing. Seperti halnya tuhan, alam dan manusia. walaupun ketiganya berbeda, namun bukan berarti menjadikan ketiganya terpisah, melainkan saling melengkapi dan menjadi hubungan yang harmonis.
Sachiko Morata mencoba menganalisa relasi gender melalui teori kosmologi dan teologi dalam Islam (mirip dengan kosmologi cina kuno, yakni Yin dan Yang), yang memunculkan stateman bahwa "semua yang diciptakan tuhan di alam semesta ini serba berpasangan-pasangan". kerangka “Yin” dan “Yang” merangkul satu sama lain dalam keselarasan dan keterpaduan. “Yin” dan “Yang” sebagai gerakan perubahan karena itu seluruh alam semesta berubah setiap saat. Yin menginterpretasikan segala sesuatu yang bersifat lembut, pasif, dan interior, ia berwarna gelap, bertemperatur dingin dan bergerak ke bawah dimana unsur Yin adalah cair (yang selalu ditegaskan dalam Thaotching, air selalu mencari daratan yang lebih rendah). Yin berkaitan dengan immaterial bumi dan nama-nama kendahan seperi: Jamal, Luthf, Rahmah. Sedangkan Yang menginterpretasikan sesuatu yang bersifat perkasa, kuasa, akitif, ia berwarna putih, tinggi, dan meluas, Yang juga mengacu pada immateri dan energi dimana unsur Yang adalah api dan panas (nama-nama Keagungan Jamal, Qahr, Ghadab).[5]
Konsep filsafat cina kuno yakni yin (kelembutan) dan yang (keperkasaan) bisa dijadikan tambahan pemahaman bahwa seharusnya manusia tidak lagi mempermasalahkan superior dan imperior, namun lebih pada penempatan diri mereka untuk saling bermanfaat satu sama lain. Walaupun pada kenyataanya kelembutan lebih di dominasi oleh perempuan dan keperkasaan oleh laki-laki. Namun, bukan tidak mungkin jika laki-laki memiliki sikap kelembutan dan perempuan memiliki sikap keperkasaan, karena siapapun sedari lahir pada hakikatnya memiliki sifat keduanya yang kemudian lingkungan membentuk antara kelembutan dan keperkasaan tersebut.
Realita dilapangan menampakan bahwa perempuan cenderung eksklusif serta diperparah dengan segala konsepsi tentang perempuan seakan telah menjadi konsep yang final dan kita bisa menilainya sesuai konsep tersebut, padahal pada hakikatnya semunya berjalan dengan dinamis sesuai perkembangan zaman. Walaupun tidak dapat dipungkiri posisi perempuan dalam kebudayaan tidaklah sebaik posisi laki-laki. (Perempuan di sektor publik)[6] namun dizaman milineal seperti saat ini, perempuan telah bebas memilih kecenderungannya untuk dijadikan laku-hidup, bermunculanya tokoh feminisme yang membela deskriminasi perempuan sebagai sebuah ketidak wajaran telah banyak mengkritik dominasi laki-laki, baik secara langsung ataupun secara sembunyi.
Banyaknya bermunculan tokoh feminisme telah memberi pemahaman terhadap dunia bahwa perempuan idealnya seperti konsep filsafat cina (yin-yang) yang memberi pemahaman saling melengkapi dengan laki-laki. Tetapi ketika penulis analisa dilapangan, walaupun perempuan tahu bahwa mereka mempunyai kebebasan untuk menyampaikan segala pahamnya, tetapi mereka cenderung memilih diam dalam beberapa tempat, diruang kelas misalnya.
Eksklusifisme perempuan dalan kelas perkuliahan. Dalam tataran hak dan kewajiban, seharuanya Perempuan sama halnya dengan laki-laki, mereka mempunyai hak untuk mengekspresikan eksistensi dirinya. namun ketika ada di ruang publik utamanya didalam kelas, dari hasil observasi penulis, mendapatkan satu pemahaman bahwa mereka cenderung diam dan memilih tidak angkat bicara dalam sesi belajar. padahal diluar kelas, ketika mereka ditanya pandangannya terhadap pahamnya didalam kelas, dengan lihainya mereka sampaikan semua pandanganya asumsinya.
Fenomina ini telah menjadi suatu rahasia publik yang dimiliki wanita, dalam beberapa sesi perempuan menginginkan kesetaraan dan tidak adanya dikotomi antara laki-laki dan perempuan. Tetapi dalam termin yang lain perempuan menjadi pendiam dan memilih eksklusif atas relasi disekitarnya. Ketertarikan penulis terhadap fenomina ini, ingin mengetahui latar belakang mereka bersikap eksklusif didalam kelas belajar dan dampaknya mereka memilih diam ketika pelajaran (proses diskusi berlangsung). 
B.      Krangka teori
Dikutip oleh Hana Farida tentang teori gender Butler yang merupakan teoritikus tersohor dengan teorinya mengenai gender sebagai konstruksi sosial. Menurut pemikirannya, gender merupakan norma sosial yang dimana norma itu sendiri dapat menentukan intelligibilitas seseorang, mempengaruhi apa yang boleh dan akan muncul dalam domain sosial.[7] Begitupun yang telah terjadi di dalam kelas, mayoritas dari perempuan cenderung diam dan tidak berpendapat dalam setiap sesi diskusi didalam kelas.
Fakta sosial inilah menjadi misteri, benarkah bahwa perempuan tidak paham dalam pelajaran atau mereka memang benar ingin diam dan memperhatikan berjalannya diskusi. fakta sosial seperti ini sebenarnya sering terjadi dalam kegiatan belajar-mengajar utamanya ketika berlangsungnya diskusi. Berkorelasi misalnya seperti yang dipaparkan oleh dirkheim bahwa cara pandang seseorang dipengaruhi oleh masyarakat.
Emeil Durkheim mendefinisikan fakta sosial adalah cara padang seseorang dalam melakukan tiindakan melalui proses berpikir yang di dasari pada sikpa koersif dalam kehidupan bermasyarakat. Antara satu pihak dengan pihak lainnya. Cara pendang ini berkaitan dengan struktur sosial dalam masyarakat dan mobilitas sosialnya.
Fakta Sosial Material, Bentuk dan macam fakta sosal pertama, adanya metarial artinya fakta sosial secara langsung dapatlah disimak, diobservasi, dan dilakukan penelitian sosial yang mempengaruhinya. Tidak serta merta begitu saja ada dan timbulnya. Contoh nyatanya fakta sosial material adalah bangunan dalam arsitektur dan norma hukum dalam masyarakat
Fakta Sosial Non-Material, adalah salah satu jenis fakta sosial yang dianggap secara tidak nyata karena hakekatnya bentuk fakta sosial ini berasal dari eksternal. Contoh pada bentuk fakta sosial ini antara lain, yakni sikap egoisme, altruisme, atau tindakan manusia beruapa opini.
C.      Definisi Eksklusifisme
Ditinjau dari etimologi, Ekslusifime terdiri dari dari dua kata, adalah eksklusif yakni terpisah dari yang lain, individual dan privat. [8] Sedangkan isme adalah akhiran ini menandakan suatu paham atau ajaran atau kepercayaan. Para ahli sosiologi memahami eksklusif adalah masyarakat yang merasa takut terhadap budaya lain karena diyakini adanya tersebut memiliki pengaruh untuk merusak budaya. Masyarakat eksklusif cenderung membatasi pergaulan dengan masyarakat terutama dalam hal keyakinan, perkawinan dan agama.[9] Begituhalnya perempuan didalam kelas, beberapa hasil observasi dilapangan didapati bahwa keaktifan perempuan dalam forum diskusi tidak lebih dari 50%, justru terkadang mereka memilih diam.
Menurut Sumner manusia pada dasarnya adalah seorang individualistik yang cenderung mengikuti naluri biologi untuk mementingkan diri sendiri, sehingga menghasilkan hubungan di antara manusia yang bersifat antagonistik (pertentangan). Kerjasama antara individu dalam masyarakat umumnya bersifat antagonistic cooperation. Akibatnya manusia mementingkan diri dan kelompoknya sendiri karena menganggap folkwaysnya lebih baik dari pada orang atau kelompok lain.[10] benar saja, dari sikap inilah banyak dari teman merasa terkecoh dengan kemampuan perempuan ketika diluar kelas. Misalnya ada sebagian teman yang mampu mengerjakan tugas Ujian Akhir Semester dengan nilai memuaskan , sedangkan di dalam kelas ia tidak mengeluarkan sepatahpun.
Tidak bisa dipungkiri bahwa siapa saja memiliki cara tersendiri untuk mengekspresikan dirinya dirunga publik, entah ia diam atau menampakkan diri. Maksudnya, mengekspresikan diri dalam ruang publik tidak selamanya aktif dalam perbincangan, ada kalanya perbincangan tersebut mempunyai makna yang sangat mendalam pada dirinya sendiri, namun yang perlu dipahami adalah bahwa ketika perempuan menginginkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, baik dalamsss status dan perannaanya. Nyatanya memang demikian bahwa perempuan seakan termarginalkan oleh para lelaki, padahal ruang kelas mampu untuk mengubahnya seandainya perempuan lebih berani dalam menyikapi ruang publik yang semakin bebas.
D.      Eksklusifisme Perempuan di Dalam Kelas Belajar
Jika Institusi pendidikan memilih jalan untuk tidak sekadar menjadi pengawet atau penyangga nilai-nilai, tetapi penyeru pikiran-pikiran yang produktif dengan berkolaborasi dengan kebutuhan zaman, maka menjadi salah satu tugas sekolah untuk tidak membiarkan berlangsungnya ketidakadilan gender.[11] Pelajaran di dalam kelas seharusnya menjadi tempat yang tidak ada fraksi-fraksi antar gender, terlepas dia memilih teralienasi sendiri atau memang sistem yang berlaku tidak mampun menyelesaikan permasalahn tersebut. Namun perlu dipahami bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti ada penyebab atas tindakan tersebut, misalnya mahasiswa memilih tidak aktif dan eksklusif.
Gender yang dipahami sebagai sebuah konstruk sosial atas ketimpangan terhadap peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat.[12] Padahal pengertian gender tidak mengerucut pada satu jenis antara laki-laki dan perempuan, namun faktanya adalah bahwa kebanyakan yang menjadi imperior adalah perempuan. Bahkan, ketika penulis sedikit gali di lapangan terkait imperior dan superior, beberapa dari mereka menyadari memang sewajarnya laki-laki lebih superior daripada perempuan, mungkin hal ini dipahami sebagai sebuah kebenaran atas fakta sosial dilapangan, bahwa memang nyatanya mayoritas laki-laki superior atas wanita. Namun, bukan tidak mungkin seorang perempuan mampu melebihi laki-laki, karena pada hakikatnya manusia berasal dari kimia yang sama.
Dari hasil kuesioner yang disebarkan secara online terkumpul data tentang alasan perempuan mengapa mereka tidak bicara di dalam kelas atau meilih eksklusif, yang paling menarik adalah sebagian teman memaparkan, diamnya mereka adalah sebuah pilihan yang sengaja ia lakukan dengan berbagai alasan, misalnya: pendapatnya sudah diwakili oleh orang lain, pembahasan dalam kalas tidak menarik, tidak paham terhadap pelajaran dan tidak mempunyai retorika yang baik untuk memahami diskusi di dalam kelas.
Alasan dari pemaparan mereka adalah karena tidak mampu memahmi materi menjadi kendala dalam kelas. Misalnya terkumpul setidaknya dari mayoritas mahasiswi memilih diam karena mereka tidak mampu memahami pelajaran didalam kelas. Dari pernyataan mereka mengenai seberapa mampu memahami pejaran dalam kelas dari presentase 100 %. Dari mayoritas  perempan yang mengisi kuesioner  didapati 98% mereka mampu memahami 50% dari pelajaran yang berlangsung didalam kelas. Padaha  ketikan mereka tidak mampu memahami pelajaran, 66,7% tetap medengarkan, 16,7% main hp, 16,6  diam. Disinilahh ada yang sedkit berkontradiksi antara nyatanya dan seharusnya. Memang seharusnya seluruh mahasiswa mampu memahami pelajaran dalam kelas, namun nyatanya, para mahasiswa tidak mampu memahami pelajara secara total terhadap pelajaran dalam kelas, sehingga perlu kiranya analisa kembali atas metodologi pendidikan yang sedang di terapkan di perguruan tinggi.
Benar saja, dalam rutinitas pelajaran yang menerapkan diskusi di dalam kelas, para mahasiswi cenderung diam. Terkumpul data yang bahwa 70,6% mereka diam ketika belajar dan diskusi sedang berlangsung, dan 29,4% ikut aktif dalam berjalannya belajar dan diskusi. Sehingga benar  nyatanya seperti yang dipaprkan oleh durkhiem bahwa fakta non-material adalah salah satu jenis fakta sosial yang dianggap secara tidak nyata karena hakekatnya bentuk fakta sosial ini berasal dari eksternal. Ketidak mampuan mencerna di dalam kelas inilah yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan mahasiswa, eksklusifisme mahasiswi merupakann dampak dari kegagalan mahasiswa memahami perlajaran hingga berdampak pada sikap tertutup dan tidak bisa ikut aktif berdiskusi ketika didalam kelas.
Memilihnya diam perempuan didalam kelas merupakan salah satu fakta sosial non-material, yakni fakta sosial yang sengaja dibentuk oleh lingkungan kelas ketika ia di dalam kelas. Utamanya, ketidak pahaman ketika pelajaran di dalam kelas berpengaruh sangat signifikan terhadap psikologinya sehingga penyebabkan mereka memilih diam didalam kelas. Perlu kiranya penanaman kembali epistemologi pengetahuan sehingga mudah memahami ilmu pengetahuan secara teratur serta framwork  yang sistematis, karena bagaimapun sistematika berfikir sanagt dibutuhkan agar mahasiswa mudah untuk memahami pengetahuan dengan epistem yang tepat.
Sedangkan kenyataan bahwa perempuan diam di dalam kelas telah menjadi satu permasalah yang cukup pelik walaupun tidak terlalu drmatis untuk diungkap, namun kenyataan ini telah menjadi perbincangan serius dikalangan teman-teman. Padahal jika fereire mengungkapkan bahwa hanya manusia sebagi mahluk hidup yang `terbuka` yang dapat melakukan transformasi terhadap  dunia secara kesinambungan dengan aksi pemahaman  dan mengungkapkan dalam bahasa yang kreatif.[13] Sehingga hanya dengan ini manusia mampu mengobjektifikasi dirinya sehingga ia mampu memahami pengetahuan  tentang dirinya dan dunia.
E.       Pendidikan dan Eksklusifisme Perempuan
Melihat fenomena di lapangan, kecenderungan mahasiswa diam didasari atas ketidak pahaman mereka mencerna pengetahuan ketika pelajaran berlangsung. Disinilah  Henry giroux pentingnya akan pendidikan utamanya pendidikan kritis (critical pedagogy) dalam aliran pendidikan ini adalah memuat bagaimana memberdayakan pelajar dan mentransformasikan pada kemampuan retorik dengan metodologi yang tepat.[14] Penanaman pendidikan kritis perlu kiranya sebagai iktiar mewujudkan pendidikan yang lebih mereta, sehingga kelas tidak hanya menjadi ruang semu. Terlebih ketika ia mampu membawanya pada sosial masyarakat, karena bagaimanapun tunas akan menggantikan induknya, kendatipun mahasiswa jika didalam kelas saja tidak paham terhadap ilmu pengetahuan bagaimana ia mampu mentranfoemasikan teori dalam kelas.
Maka perlu kiranya penekanan kembali bagaimana memberi pemahaman pendidikan yang sangat mendalam pada setiap elemen mahasiswa sehingga isu kesetaraan gender baik dari peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial tidak menjadi permasalahan dalam wacana publik. Karena disinialah pentingnya pendidikan sebagai barometer  pehaman terhadap mahasiswa. Karena dalam tataran ini kita sering melihat dari data yang didapat, mereka tidak  berargumen di dalam kelas atas alasan tidak paham terhadap materi yang sedang diajarkan, sehingga berdampak pada ungkapan hegemoni laki-laki sebagai superior terhadap perempuan sebagai imperior. Padahal, hal ini setidaknya bisa di atasi jika para mahasiswa baik laki-laki dan perempuan sama-sama memperdalam pengetahuan.
Idealnya pengetahuan (pendidikan) mengembalikan jatidiri manusia yang sesungguhnya sebgai manusia yang merdeka berhak untuk hidup, tidak tertindas dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.[15] Disinilah yang saya fahami sebagai akar dari eksklusifisme perempuan di dalam kelas, kekurangan mengenyam pengetahuan yang memadahi untuk aktif dalam kelas menjadi permasalahan yang cukup pelik. Entah ini sebuah kesalahan sistem pendidikan dan metodologi yang tidak kompetebel dengan kemampuan mahasiswa atau memang mahasiswanya yang tidak mau memperhatikan pendidikan, hingga berdampak pada eksklusifisme mahasiswi di dalam kelas.



                [1] Fatmawati Kumari, Relasi Gender Sachiko Morata (Analisis Filasafat dan Spritualitas Islam), Ilmu Ushuluddin, Vol. 12 No. 2, Juli 2013, hal  151
                [2] Riant Nugroho, Gender Dan Strategi Pengarus-Utamanya Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal 4
                [3] Fatmawati Kumari, Relasi Gender Sachiko Morata (Analisis Filasafat dan Spritualitas Islam), Ilmu Ushuluddin, Vol. 12 No. 2, Juli 2013, hal  151
                [4]  Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan Dalam Iklan, (Yogyakarta: Ombak,2008),  hal 34
               [5] Atika Zuhrotus Sufiyana, Relasi Gender dalam Kajian Islam "The Tao Of Islam, Karya Sachiko Morata", Tadrib, Vol. III, No. 1, juni 2017, hal 127
[6] Leni Novianti, Perempuan di Sektor Publik, Marwah, Vol. XV No. 1, Juni  2016, hal 55
[7] Hana Farida, Meneropong Gender Melalui Kacamata Genderles: Sebuah Pembacaan Butlerian Terhadap Ancillary Justice Karya Ann Leckie, Jurnal Poetika, Vol. IV No. 1, Juli 2016, hal 43
[8] KBBI Online
[9] Definisimenurutparaahli.com diakases pada 11 mei 2018, 22:03
[10] Nanang Martono, Sosiologi pendidikan Michel foucault, (Jakarta: Rajawali, 2014),
[11] Dina Amper , Kajian Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan  di Sekolah Dasar Mitra PPL PGSD , Tabularasa Pps Unimed,  Vol.9 No.2, Desember 2013,  hal 234
[12] Herien Puspitawati ,Konsep, Teori dan Analisis Gender, (Bogor:  PT IPB Press, 2013), Hal 1 
[13] Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Terj, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),  hal, 123               
[14] Nuryanto, Mazhab Pendidikan Kritis, (Yogyakarta: Nailil, Printika, 2011), hal 1
[15] Moh Ymin, Menggugat Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hal 135