Oleh: Moh Anshory Lubis
Abstrak
Proses
belajar didalam kelas merupakan ruang pulik yang siapa saja mempunyai hak untuk
memaparkan argumentasinya, eentah laki-laki atau perempuan mereka memiliki hak
yang sama untuk menginterpretasikan atas segala gejala dan rangsangan dari ilmu
pengetahuan. Yang jadi gejala adalah ketika didapati perempuan tidak lebih
cenderung dian dalam kegian belajar di dalam kelas. Sudah lazim kiranya kalau
kita melihat laki-laki lebih punya hegemoni dalam kegiatan diskusi, misalnya
didalam kelas studi Agama-agama angkatan
2016. Menurut Sachico Morata bahwa laki-laki dan perempuan ibarat konsep
Filosofi China yakni: Yin dan Yang.
A. Pendahuluan
Kajian tentang
perempuan, di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini menampakkan
perkembangan cukup pesat. Pusat Studi dan Kajian Perempuan menjamur hampir di
setiap Perguruan Tinggi, di kantor instansi pemerintah, maupun di masyarakat
luas. Kesadaran akan perbaikan keadaan perempuan yang dipelopori oleh feminisme
Barat telah memberi inspirasi bagi perempuan di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia.[1]
Banyak perempuan indonesia menampakkan diri untuk ambil bagian dalam meneliti
gender. Beberapa alasan munculnya feminisme Indonesia adalah adanya ketimpangan
antara laki-laki dianggap sebagai superior dan perempuan sebagai imperior.
Bukanlah kodrat ataupun
ketentuan tuhan, gender adalah berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana
seharuanya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata
nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada.
Dengan kata lain gender adalah pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam
peran, fungsi, hal, prilaku yang dibentuk oleh ketentuan sosial dan budaya
setempat.[2]
Sehingga, muncullah konstruk sosial yang sengaja menghegemoni agar masyarakat
menganggap hal tersebut sebagai sebuah yang sakral, kemudian menjadi nilai dan
norma final melekat pada masyarakat.
Munculnya gerakan
emansipatif perempuan merupakan sebuah couter terhadap kaum laki-laki
atau biasa identik dengan sebutan patriarkhi. Padahal Kesetaraan gender merupakan
sebuah istilah digunakan oleh aktivis sosial, feminisme dan politik untuk
membantah satu konsepsi sosial yang telah terlanjur menjadi nilai sebagai
pegangan hidup, yang didalamnya terdapat deskriminasi terhadap perempuan. Namun
ada juga bertolak dari kenyataan tersebut, beberapa feminisme mendorong untuk
membangun model relasi baru yang tidak patriarkal, melainkan berdasarkan logika
kesaling hubungan manusia dengan manusia serta manusia dengan alam yang disebut
dengan ekofeminisme.[3]
Wilson, dalam buku sociobiology:
The New Synthesis (1975) menyatakan bahwa pembagian kerja secara seksual adalah
suatu yang wajar, bersumber pada perbedaan struktur genetis dari laki-laki dan
perempuan, sehingga pembagian kerja tersebut bisa terus tetap ada dan
berlangsung sampai sekarang.[4]
Pembagian ini seharusnya bukan diartikan sebagai sebuah imperioritas dan
superioritas, tetapi lebih pada penyelarasan dan saling melengkapi yang
keduanya diciptakan untuk saling berpasangan, hadir bersama daya pikatnya
masing-masing. Seperti halnya tuhan, alam dan manusia. walaupun ketiganya
berbeda, namun bukan berarti menjadikan ketiganya terpisah, melainkan saling
melengkapi dan menjadi hubungan yang harmonis.
Sachiko Morata mencoba
menganalisa relasi gender melalui teori kosmologi dan teologi dalam Islam
(mirip dengan kosmologi cina kuno, yakni Yin dan Yang), yang memunculkan
stateman bahwa "semua yang diciptakan tuhan di alam semesta ini serba
berpasangan-pasangan". kerangka “Yin” dan “Yang” merangkul satu sama lain
dalam keselarasan dan keterpaduan. “Yin” dan “Yang” sebagai gerakan perubahan
karena itu seluruh alam semesta berubah setiap saat. Yin menginterpretasikan
segala sesuatu yang bersifat lembut, pasif, dan interior, ia berwarna gelap,
bertemperatur dingin dan bergerak ke bawah dimana unsur Yin adalah cair (yang
selalu ditegaskan dalam Thaotching, air selalu mencari daratan yang lebih
rendah). Yin berkaitan dengan immaterial bumi dan nama-nama kendahan seperi:
Jamal, Luthf, Rahmah. Sedangkan Yang menginterpretasikan sesuatu yang bersifat
perkasa, kuasa, akitif, ia berwarna putih, tinggi, dan meluas, Yang juga
mengacu pada immateri dan energi dimana unsur Yang adalah api dan panas
(nama-nama Keagungan Jamal, Qahr, Ghadab).[5]
Konsep filsafat cina
kuno yakni yin (kelembutan) dan yang (keperkasaan) bisa dijadikan tambahan
pemahaman bahwa seharusnya manusia tidak lagi mempermasalahkan superior dan
imperior, namun lebih pada penempatan diri mereka untuk saling bermanfaat satu
sama lain. Walaupun pada kenyataanya kelembutan lebih di dominasi oleh
perempuan dan keperkasaan oleh laki-laki. Namun, bukan tidak mungkin jika
laki-laki memiliki sikap kelembutan dan perempuan memiliki sikap keperkasaan,
karena siapapun sedari lahir pada hakikatnya memiliki sifat keduanya yang
kemudian lingkungan membentuk antara kelembutan dan keperkasaan tersebut.
Realita dilapangan
menampakan bahwa perempuan cenderung eksklusif serta diperparah dengan segala
konsepsi tentang perempuan seakan telah menjadi konsep yang final dan kita bisa
menilainya sesuai konsep tersebut, padahal pada hakikatnya semunya berjalan
dengan dinamis sesuai perkembangan zaman. Walaupun tidak dapat dipungkiri
posisi perempuan dalam kebudayaan tidaklah sebaik posisi laki-laki. (Perempuan
di sektor publik)[6]
namun dizaman milineal seperti saat ini, perempuan telah bebas memilih
kecenderungannya untuk dijadikan laku-hidup, bermunculanya tokoh feminisme yang
membela deskriminasi perempuan sebagai sebuah ketidak wajaran telah banyak
mengkritik dominasi laki-laki, baik secara langsung ataupun secara sembunyi.
Banyaknya bermunculan
tokoh feminisme telah memberi pemahaman terhadap dunia bahwa perempuan idealnya
seperti konsep filsafat cina (yin-yang) yang memberi pemahaman saling
melengkapi dengan laki-laki. Tetapi ketika penulis analisa dilapangan, walaupun
perempuan tahu bahwa mereka mempunyai kebebasan untuk menyampaikan segala
pahamnya, tetapi mereka cenderung memilih diam dalam beberapa tempat, diruang
kelas misalnya.
Eksklusifisme perempuan
dalan kelas perkuliahan. Dalam tataran hak dan kewajiban, seharuanya Perempuan
sama halnya dengan laki-laki, mereka mempunyai hak untuk mengekspresikan
eksistensi dirinya. namun ketika ada di ruang publik utamanya didalam kelas,
dari hasil observasi penulis, mendapatkan satu pemahaman bahwa mereka cenderung
diam dan memilih tidak angkat bicara dalam sesi belajar. padahal diluar kelas,
ketika mereka ditanya pandangannya terhadap pahamnya didalam kelas, dengan
lihainya mereka sampaikan semua pandanganya asumsinya.
Fenomina ini telah
menjadi suatu rahasia publik yang dimiliki wanita, dalam beberapa sesi
perempuan menginginkan kesetaraan dan tidak adanya dikotomi antara laki-laki
dan perempuan. Tetapi dalam termin yang lain perempuan menjadi pendiam dan
memilih eksklusif atas relasi disekitarnya. Ketertarikan penulis terhadap
fenomina ini, ingin mengetahui latar belakang mereka bersikap eksklusif didalam
kelas belajar dan dampaknya mereka memilih diam ketika pelajaran (proses
diskusi berlangsung).
B. Krangka
teori
Dikutip oleh Hana
Farida tentang teori gender Butler yang merupakan teoritikus tersohor dengan
teorinya mengenai gender sebagai konstruksi sosial. Menurut pemikirannya,
gender merupakan norma sosial yang dimana norma itu sendiri dapat menentukan
intelligibilitas seseorang, mempengaruhi apa yang boleh dan akan muncul dalam
domain sosial.[7]
Begitupun yang telah terjadi di dalam kelas, mayoritas dari perempuan cenderung
diam dan tidak berpendapat dalam setiap sesi diskusi didalam kelas.
Fakta sosial inilah
menjadi misteri, benarkah bahwa perempuan tidak paham dalam pelajaran atau
mereka memang benar ingin diam dan memperhatikan berjalannya diskusi. fakta
sosial seperti ini sebenarnya sering terjadi dalam kegiatan belajar-mengajar
utamanya ketika berlangsungnya diskusi. Berkorelasi misalnya seperti yang
dipaparkan oleh dirkheim bahwa cara pandang seseorang dipengaruhi oleh
masyarakat.
Emeil Durkheim mendefinisikan
fakta sosial adalah cara padang seseorang dalam melakukan tiindakan melalui
proses berpikir yang di dasari pada sikpa koersif dalam kehidupan bermasyarakat.
Antara satu pihak dengan pihak lainnya. Cara pendang ini berkaitan dengan
struktur sosial dalam masyarakat dan mobilitas sosialnya.
Fakta Sosial Material, Bentuk
dan macam fakta sosal pertama, adanya metarial artinya fakta sosial secara
langsung dapatlah disimak, diobservasi, dan dilakukan penelitian sosial yang
mempengaruhinya. Tidak serta merta begitu saja ada dan timbulnya. Contoh
nyatanya fakta sosial material adalah bangunan dalam arsitektur dan norma hukum
dalam masyarakat
Fakta Sosial
Non-Material, adalah salah satu jenis fakta sosial yang dianggap secara tidak
nyata karena hakekatnya bentuk fakta sosial ini berasal dari eksternal. Contoh
pada bentuk fakta sosial ini antara lain, yakni sikap egoisme, altruisme, atau
tindakan manusia beruapa opini.
C. Definisi Eksklusifisme
Ditinjau dari etimologi, Ekslusifime terdiri dari dari dua kata, adalah eksklusif
yakni terpisah dari yang lain, individual dan privat. [8]
Sedangkan isme adalah akhiran ini menandakan suatu paham atau ajaran atau
kepercayaan. Para ahli sosiologi memahami eksklusif adalah masyarakat yang
merasa takut terhadap budaya lain karena diyakini adanya tersebut memiliki
pengaruh untuk merusak budaya. Masyarakat eksklusif cenderung membatasi
pergaulan dengan masyarakat terutama dalam hal keyakinan, perkawinan dan agama.[9]
Begituhalnya perempuan didalam kelas, beberapa hasil observasi dilapangan
didapati bahwa keaktifan perempuan dalam forum diskusi tidak lebih dari 50%,
justru terkadang mereka memilih diam.
Menurut Sumner manusia
pada dasarnya adalah seorang individualistik yang cenderung mengikuti naluri
biologi untuk mementingkan diri sendiri, sehingga menghasilkan hubungan di
antara manusia yang bersifat antagonistik (pertentangan). Kerjasama antara
individu dalam masyarakat umumnya bersifat antagonistic
cooperation. Akibatnya manusia mementingkan diri dan kelompoknya sendiri
karena menganggap folkwaysnya lebih baik dari pada orang atau kelompok lain.[10]
benar saja, dari sikap inilah banyak dari teman merasa terkecoh dengan
kemampuan perempuan ketika diluar kelas. Misalnya ada sebagian teman yang mampu
mengerjakan tugas Ujian Akhir Semester dengan nilai memuaskan , sedangkan di
dalam kelas ia tidak mengeluarkan sepatahpun.
Tidak bisa dipungkiri
bahwa siapa saja memiliki cara tersendiri untuk mengekspresikan dirinya dirunga
publik, entah ia diam atau menampakkan diri. Maksudnya, mengekspresikan diri
dalam ruang publik tidak selamanya aktif dalam perbincangan, ada kalanya
perbincangan tersebut mempunyai makna yang sangat mendalam pada dirinya
sendiri, namun yang perlu dipahami adalah bahwa ketika perempuan menginginkan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, baik dalamsss status dan
perannaanya. Nyatanya memang demikian bahwa perempuan seakan termarginalkan
oleh para lelaki, padahal ruang kelas mampu untuk mengubahnya seandainya
perempuan lebih berani dalam menyikapi ruang publik yang semakin bebas.
D.
Eksklusifisme
Perempuan di Dalam Kelas Belajar
Jika Institusi pendidikan memilih jalan untuk tidak sekadar menjadi
pengawet atau penyangga nilai-nilai, tetapi penyeru pikiran-pikiran yang
produktif dengan berkolaborasi dengan kebutuhan zaman, maka menjadi salah satu
tugas sekolah untuk tidak membiarkan berlangsungnya ketidakadilan gender.[11]
Pelajaran di dalam kelas seharusnya menjadi tempat yang tidak ada fraksi-fraksi
antar gender, terlepas dia memilih teralienasi sendiri atau memang sistem yang
berlaku tidak mampun menyelesaikan permasalahn tersebut. Namun perlu dipahami
bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti ada penyebab atas tindakan tersebut,
misalnya mahasiswa memilih tidak aktif dan eksklusif.
Gender yang dipahami sebagai sebuah konstruk sosial atas ketimpangan
terhadap peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh
tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat
berubah menurut waktu serta kondisi setempat.[12]
Padahal pengertian gender tidak mengerucut pada satu jenis antara laki-laki dan
perempuan, namun faktanya adalah bahwa kebanyakan yang menjadi imperior adalah
perempuan. Bahkan, ketika penulis sedikit gali di lapangan terkait imperior dan
superior, beberapa dari mereka menyadari memang sewajarnya laki-laki lebih
superior daripada perempuan, mungkin hal ini dipahami sebagai sebuah kebenaran
atas fakta sosial dilapangan, bahwa memang nyatanya mayoritas laki-laki
superior atas wanita. Namun, bukan tidak mungkin seorang perempuan mampu
melebihi laki-laki, karena pada hakikatnya manusia berasal dari kimia yang
sama.
Dari hasil kuesioner yang disebarkan secara online terkumpul data
tentang alasan perempuan mengapa mereka tidak bicara di dalam kelas atau meilih
eksklusif, yang paling menarik adalah sebagian teman memaparkan, diamnya mereka
adalah sebuah pilihan yang sengaja ia lakukan dengan berbagai alasan, misalnya:
pendapatnya sudah diwakili oleh orang lain, pembahasan dalam kalas tidak
menarik, tidak paham terhadap pelajaran dan tidak mempunyai retorika yang baik
untuk memahami diskusi di dalam kelas.
Alasan dari pemaparan mereka adalah karena tidak mampu memahmi materi
menjadi kendala dalam kelas. Misalnya terkumpul setidaknya dari mayoritas
mahasiswi memilih diam karena mereka tidak mampu memahami pelajaran didalam
kelas. Dari pernyataan mereka mengenai seberapa mampu memahami pejaran dalam
kelas dari presentase 100 %. Dari mayoritas
perempan yang mengisi kuesioner
didapati 98% mereka mampu memahami 50% dari pelajaran yang berlangsung
didalam kelas. Padaha ketikan mereka
tidak mampu memahami pelajaran, 66,7% tetap medengarkan, 16,7% main hp,
16,6 diam. Disinilahh ada yang sedkit
berkontradiksi antara nyatanya dan seharusnya. Memang seharusnya seluruh
mahasiswa mampu memahami pelajaran dalam kelas, namun nyatanya, para mahasiswa
tidak mampu memahami pelajara secara total terhadap pelajaran dalam kelas,
sehingga perlu kiranya analisa kembali atas metodologi pendidikan yang sedang
di terapkan di perguruan tinggi.
Benar saja, dalam rutinitas pelajaran yang menerapkan diskusi di dalam
kelas, para mahasiswi cenderung diam. Terkumpul data yang bahwa 70,6% mereka
diam ketika belajar dan diskusi sedang berlangsung, dan 29,4% ikut aktif dalam
berjalannya belajar dan diskusi. Sehingga benar
nyatanya seperti yang dipaprkan oleh durkhiem bahwa fakta
non-material adalah salah satu jenis fakta sosial yang dianggap secara tidak
nyata karena hakekatnya bentuk fakta sosial ini berasal dari eksternal. Ketidak
mampuan mencerna di dalam kelas inilah yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan mahasiswa, eksklusifisme mahasiswi merupakann dampak dari
kegagalan mahasiswa memahami perlajaran hingga berdampak pada sikap tertutup
dan tidak bisa ikut aktif berdiskusi ketika didalam kelas.
Memilihnya diam
perempuan didalam kelas merupakan salah satu fakta sosial non-material, yakni
fakta sosial yang sengaja dibentuk oleh lingkungan kelas ketika ia di dalam
kelas. Utamanya, ketidak pahaman ketika pelajaran di dalam kelas berpengaruh
sangat signifikan terhadap psikologinya sehingga penyebabkan mereka memilih
diam didalam kelas. Perlu kiranya
penanaman kembali epistemologi pengetahuan sehingga mudah memahami ilmu
pengetahuan secara teratur serta framwork
yang sistematis, karena bagaimapun
sistematika berfikir sanagt dibutuhkan agar mahasiswa mudah untuk memahami
pengetahuan dengan epistem yang tepat.
Sedangkan kenyataan bahwa perempuan diam di dalam kelas telah menjadi
satu permasalah yang cukup pelik walaupun tidak terlalu drmatis untuk diungkap,
namun kenyataan ini telah menjadi perbincangan serius dikalangan teman-teman.
Padahal jika fereire mengungkapkan bahwa hanya manusia sebagi mahluk hidup yang
`terbuka` yang dapat melakukan transformasi terhadap dunia secara kesinambungan dengan aksi
pemahaman dan mengungkapkan dalam bahasa
yang kreatif.[13]
Sehingga hanya dengan ini manusia mampu mengobjektifikasi dirinya sehingga ia
mampu memahami pengetahuan tentang
dirinya dan dunia.
E.
Pendidikan dan Eksklusifisme Perempuan
Melihat fenomena di lapangan, kecenderungan mahasiswa diam didasari atas
ketidak pahaman mereka mencerna pengetahuan ketika pelajaran berlangsung. Disinilah Henry giroux pentingnya akan pendidikan
utamanya pendidikan kritis (critical
pedagogy) dalam aliran pendidikan ini adalah memuat bagaimana memberdayakan
pelajar dan mentransformasikan pada kemampuan retorik dengan metodologi yang tepat.[14]
Penanaman pendidikan kritis perlu kiranya sebagai iktiar mewujudkan pendidikan
yang lebih mereta, sehingga kelas tidak hanya menjadi ruang semu. Terlebih
ketika ia mampu membawanya pada sosial masyarakat, karena bagaimanapun tunas
akan menggantikan induknya, kendatipun mahasiswa jika didalam kelas saja tidak
paham terhadap ilmu pengetahuan bagaimana ia mampu mentranfoemasikan teori
dalam kelas.
Maka perlu kiranya penekanan kembali bagaimana memberi pemahaman
pendidikan yang sangat mendalam pada setiap elemen mahasiswa sehingga isu
kesetaraan gender baik dari peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku
yang dibentuk oleh tata nilai sosial tidak menjadi permasalahan dalam wacana
publik. Karena disinialah pentingnya pendidikan sebagai barometer pehaman terhadap mahasiswa. Karena dalam
tataran ini kita sering melihat dari data yang didapat, mereka tidak berargumen di dalam kelas atas alasan tidak
paham terhadap materi yang sedang diajarkan, sehingga berdampak pada ungkapan
hegemoni laki-laki sebagai superior terhadap perempuan sebagai imperior.
Padahal, hal ini setidaknya bisa di atasi jika para mahasiswa baik laki-laki
dan perempuan sama-sama memperdalam pengetahuan.
Idealnya pengetahuan (pendidikan) mengembalikan jatidiri manusia yang
sesungguhnya sebgai manusia yang merdeka berhak untuk hidup, tidak tertindas
dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.[15]
Disinilah yang saya fahami sebagai akar dari eksklusifisme perempuan di dalam
kelas, kekurangan mengenyam pengetahuan yang memadahi untuk aktif dalam kelas
menjadi permasalahan yang cukup pelik. Entah ini sebuah kesalahan sistem
pendidikan dan metodologi yang tidak kompetebel dengan kemampuan mahasiswa atau
memang mahasiswanya yang tidak mau memperhatikan pendidikan, hingga berdampak
pada eksklusifisme mahasiswi di dalam kelas.
[6] Leni Novianti, Perempuan di Sektor Publik, Marwah, Vol. XV No. 1, Juni 2016, hal 55
[7] Hana Farida, Meneropong Gender
Melalui Kacamata Genderles: Sebuah Pembacaan Butlerian Terhadap Ancillary
Justice Karya Ann Leckie, Jurnal Poetika,
Vol. IV No. 1, Juli 2016, hal 43
[8] KBBI Online
[9] Definisimenurutparaahli.com
diakases pada 11 mei 2018, 22:03
[10] Nanang Martono, Sosiologi
pendidikan Michel foucault, (Jakarta: Rajawali, 2014),
[11] Dina Amper , Kajian Kesetaraan
Gender Dalam Pendidikan di Sekolah Dasar
Mitra PPL PGSD , Tabularasa Pps Unimed, Vol.9 No.2, Desember 2013, hal 234
[12] Herien Puspitawati ,Konsep, Teori dan Analisis Gender,
(Bogor: PT IPB Press, 2013), Hal 1
[13] Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan
Pembebasan. Terj, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal, 123
[14] Nuryanto, Mazhab Pendidikan Kritis, (Yogyakarta: Nailil, Printika, 2011), hal
1
[15] Moh Ymin, Menggugat Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009),
hal 135