Lamunan Bisu

Jumat, 28 April 2017

Uang Panai Suku Bugis

Tradisi pernikahan pada setiap daerah di Indonesia memang begitu banyak dan menarik untuk dibahas,mulai dari latar belakang budaya pernikahan tersebut. Pada sebuah pernikahan terdapat nilai-nilai yang akan menjadi pertimbangan dalam pernikahan, seperti status sosial , ekonomi,dan budaya atau tradisi dari pihak perempuan maupun laki laki. Demikian halnya seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan,dalam proses untuk melangsungkan pernikahan dikenal dengan adanya istilah  Uang Panai atau uang naik yang menjadi persyaratan utama sebelum melangsungkan pernikahan.

Tradisi  Uang Panai’ ini merupakan perilaku ini yang sudah berproses sejak lama dan dilaksanakan secara turun menurun sampai saat ini.  Uang Panai’ adalah sejumlah uang yang diberikan calon mempelai laki laki kepada calon mempelai perempuan yang akan digunakan untuk keperluan megadakan sebuah pesta pernikahan dan belanja pernikahan. Uang Panai’ beda dengan mahar, kedudukan Uang Panai’ dalam tradisi suku ini adalah uang adat yang tebilang wajib diberikan kepada calon mempelai wanita dengan jumlah yang telah disepakati oleh kedua pihak keluarga.
1.     Sejarah Pulau Sulawesi
    Sulawesi atau Pulau Sulawesi (atau sebutan lama dalam bahasa Inggris: Celebes) adalah sebuah pulau dalam wilayah Bendera Indonesia Indonesia yang terletak di antara Pulau Kalimantan di sebelah barat dan Kepulauan Maluku di sebelah timur. Dengan luas wilayah sebesar 174.600 km², Sulawesi merupakan pulau terbesar ke-11 di dunia. Di Indonesia hanya luas Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Pulau Papua sajalah yang lebih luas wilayahnya daripada Pulau Sulawesi, sementara dari segi populasi hanya Pulau Jawa dan Sumatera sajalah yang lebih besar populasinya dari pada Sulawesi.
    Nama Sulawesi diperkirakan berasal dari kata dalam bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah yaitu kata sula yang berarti nusa (pulau) dan kata mesi yang berarti besi (logam), yang mungkin merujuk pada praktik perdagangan bijih besi hasil produksi tambang-tambang yang terdapat di sekitar Danau Matano, dekat Sorowako, Luwu Timur. Sedangkan bangsa/orang-orang Portugis yang datang sekitar abad 14-15 masehi adalah bangsa asing pertama yang menggunakan nama Celebes untuk menyebut pulau Sulawesi secara keseluruhan[1].
2.     Masukmya Islam Di Pulau Sulawesi
            Kehadiran kebudayaan Islam pertama kali di Kerajaan Gowa jauh sebelum diterimanya agama Islam sebagai agama resmi kerajaan, agama Islam dibawa masuk oleh para pedagang dari Arab, Parsia, India, Cina dan Melayu ke ibukota Kerajaan Gowa, Sumba Opu. Pada abad ke 15 yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa ke 12 bernama I Monggorai Gg Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo dialah yang memfasilitasi pedagang Muslim masuk ke Sulawesi dan pedagang Muslim juga diberi keleluasaan membangun masjid di Mangallekana yang sekarang menjadi masjid tertua di Sulawesi Selatan.
            Faktor perdagangan dari pulau ke pulau pula yang memudahkan para pedagang Muslim masuk ke Sulawesi lewat Kerajaan Gowa, sedangkan sebelum itu kebanyakan masyarakat percaya ke agama Hindu dan Budha disamping yang masih menganut Animisme dan Dinamisme namun kedua agama tersebut kian pudar sejalan dengan datangnya Islam ke tanah Sulawesi.
            Islam masuk di sulawesi dari daerah selatan, karena daerah ini merupakan daerah transit dan penghubung pusat perdagangan di Malaka, Jawa dan Ternate (Maluku). Menurut sejarah Gowa (patturioloanga), pada masa pemerintahan raja Tuni Palanga, datang serombongan pedagang muslim dari Pahang, Patani, Johor, Campa dan Minangkabau. Mereka minta izin tinggal dan membuka perkampungan di Gowa[2].
Penduduk Sulawesi selatan yang pertama memeluk Islam adalah orang luwu,yakni penguasa Luwu’, La Patiware, Daeng Parabung, yang secara resmi mengucapkan kalimat syahadat dan mengganti nama menjadi Sultan Muhammad Waliul Mudaruddin pada 4 atau 5 februari 1605 Masehi (15 atau 16 Ramadhan 1013 Hijriyah). Delapan bulan kemudian Kara’eng Matoya pun masuk islam dengan mengambil nama Sultan Abdullah Awwalul Islam dan mendorong kemanakannya sekaligus murdinya, raja Goa I Manra’bia yang masih berusia muda untuk memeluk Islam dan kemudian berganti nama menjadi Sultan Ala’uddin. Kabaranya pada 9 November 1607 (19 Rajab 1016 Hijriyah).[3]
Dakwah Islamiyah ke Sulawesi berkembang terus sampai ke daerah kerajaan Bugis, Wajo, Sopeng, Sindenreng, dan lain-lain. Suku Bugis yang terkenal berani, jujur dan suka berterus terang, semula sulit menerima agama Islam. Namun berkat kesungguhan dan keuletan para mubaligh, secara berangsur-angsur mereka menjadi penganut Islam yang setia.
Pelaut-pelaut Bugis berlayar menjelajah seluruh Indonesia sampai ke Aceh. Di antara mereka adalah pembesar Bugis bernama Daeng mansur yang di Aceh lebih dikenal dengan panggilan Tengku di Bugis. Salah seorang puterinya bernama Puteri Sendi. Ia dikawinkan dengan Sultan Iskandar Muda, raja besar Aceh. Sejak itu hubungan antara Aceh – Bugis sangat erat, sehingga banyak pengaruh budaya Aceh di Bugis. Tampaknya hubungan perdagangan yang diperkuat dengan hubungan kekerabatan yang berdasarkan agama Islam itu telah memperkokoh hubungan persatuan antara penduduk di seluruh wilayah Indonesia[4].

Agama. Kira-kira 90% dari penduduk Sulawesi selatan adalah pemelik agama islam, sedangkan 10% pemeluk agama Kristen protesan atau katolik. Orang-orang nonMuslim umumnya terdiri dari pendatang-pendatan g orang Maluku, Minahas dan lain-lain atau dari orang toraja. Mereka tinggal di kota-kota, terutama Ujung Pandag.
Kegiatan dakwah Islam dilakukan oleh organisasi islam yang sangat aktif seperti Muhammadiyah, Darudda’wah Wal Irsjad, partai politik Islam, dan ikatan masjid atau musholla dengan pusat islamnya di Ujung Pandang[5]. Walaupun perkembangan islam Sulawesi sangat pesat tapi masyarakatnya masih mempercayai ritual-ritual nenek moyang. Misalnya disuku bugis, dalam acara pernikahan mereka masih mengadakan acara atau perayaan selama tujuh hari sebelum hari ijab kobul, bahkan mereka masih mempercayai adanya uang panai, yang mewajibkan calon  mempelai lelaki membayarnya dengan nominal telah ditentukan oleh pihak keluarga perempuan. yang terkadang nominal uang panai tidak kecil, bahkan ada yag sampai 100 sampai 200 juta, tapi ada juga yang berkisar 10 sampai 25 juta.
             Uang Panai’ adalah sejumlah uang yang wajib diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai perempuan sebagai  pemberian ketika akan melangsungkan perkawinan selain mahar[6].
 Pemberian  Uang Panai’ merupakan salah satu langkah awal yang harus dilakukan oleh pihak calon mempelai laki-laki ketika akan melangsungkan perkawinan yang ditentukan setelah adanya proses lamaran. Jika lamaran telah diterima maka tahap selanjutnya adalah penentuan   Uang Panai’ yang jumlahnya ditentukan terlebih dahulu oleh pihak calon mempelai wanita yang dilamar dan jika pihak calon mempelai laki-laki menyanggupi maka tahap perkawinan selanjutnya bisa segera di dilangsungkan. Walaupun terkadang terjadi tawar-menawar sebelum tercapainya kesepakatan jika pihak calon mempelai laki-laki keberatan dengan jumlah  Uang Panai’  k yang dipatok oleh pihak keluarga calon mempelai perempuan. Jika  Uang Panai’   yang diminta oleh pihak keluraga calon mempelai perempuan dan disanggupi oleh pihak calon mempelai laki-laki maka ini sebagai penghormatan bagi pihak keluarga calon mempelai perempuan. Penghormatan yang dimaksudkan disini adalah rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada perempuan yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui  Uang Panai’ [7].
Adapun akibat hukum jika pihak calon laki-laki tidak mampu menyanggupi jumlah   Uang Panai’ yang di targetkan, maka secara otomatis perkawinan akan batal dan pada umumnya implikasi yang muncul adalah pihak keluarga laki-laki dan perempuan akan mendapat cibiran atau hinaan di kalangan masyarakat setempat.
Asal muasal Uang Panai’ adalah apa yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda dulu. Pemuda Belanda seenaknya menikahi perempuan Bugis  yang ia inginkan, setelah menikah ia kembali menikahi perempuan lain dan meninggalkan istrinya itu karena melihat perempuan lain yang lebih cantik daripada istrinya. Budaya seperti itu membekas di Bugis setelah Indonesia Merdeka dan menjadi doktrin bagi pemuda Indonesia sehingga mereka juga dengan bebas menikah lalu meninggalkan perempuan yang telah dinikahinya seenaknya. Itu membuat perempuan Bugis seolah-olah tidak berarti. Budaya itu berubah sejak seorang pemuda mencoba menikahi seorang perempuan dari keluarga bangsawan. Pihak keluarga tentu saja menolak karena mereka beranggapan bahwa laki-laki itu merendakan mereka karena melamar anak mereka tanpa keseriusan sama sekali. Mereka khawatir nasib anak mereka akan sama dengan perempuan yang lainnnya sehingga pihak keluarga meminta bukti keseriusan pada pemuda atas niatannnya datang melamar. Jadi pada saat itu orang tua si gadis ini mengisyaratkan kepada sang pemuda kalau ia ingin menikahi anak gadisnya dia harus menyediakan mahar yang telah ditentukannya. mahar yang diajukan sangatlah berat sang pemuda harus menyediakan material maupun non material. hal ini dilakukannya untuk mengangkat derajat kaum wanita pada saat itu. Pergilah sang pemuda itu mencari persyaratan yang diajukan oleh orang tua si gadis. Bertahun-tahun merantau mencari mahar demi pujaan hatinya ia rela melakukan apa saja asalkan apa yang dilakukannya dapat menghasilkan tabungan untuk meminang gadis pujaannya. setelah mencukupi persyaratan yang diajukan oleh orang tua si gadis sang pemuda pun kembali meminang gadis pujaannya dan pada saat itu melihat kesungguhan hati sang pemuda orangtua si gadis merelakan anaknya menjadi milik sang pemuda tersebut.[8]
 Adanya persyaratan yang diajukan memeberikannya sebuah pelajaran yakni menghargai wanita karena wanita memang sangat mahal untuk disakiti apalagi sang pemuda itu mendapatkan istrinya dari hasil jeri payahnya sendiri itulah sebabnya ia begitu menyanyangi istrinya. Jadi mahalnya mahar gadis Bugis bukan seperti barang yang diperjual belikan, tapi sebagai bentuk penghargaan kepada sang wanita, jadi ketika tersirat dihati ingin bercerai dan menikah lagi maka sang pemuda akan berpikir berkali-kali untuk melakukannya karena begitu sulitnya ia mendapatkan si gadis ini.
Upacara pesta perkawinan merupakan media utama bagi orang Bugis untuk menunjukkan posisinya dalam masyarakat. Misalnya, dengan menjalankan ritual-ritual,mengenakan pakaian,perhiasan,dan pernak pernik lain tertentu sesuai dengan tingkat kebangsawanan dan status sosial mereka. Selain itu, identitas, status, dan jumlah tamu yang hadir juga  merupakan gambaran luasnya hubungan dan pengaruh sosial seseorang . Pesta perkawinan juga merupakan ajang bagi keluarga pihak calon mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita untuk mempertontonkan harta kekayaan mereka. Kekayaan keluarga calon mempelai laki-laki  dapat dilihat dari besarnya jumlah  Uang Panai’   yang mereka persembahkan kepada calon mempelai perempuan ( Milliar, Bugis Wedding: 105-8)[9] .
Dalam adat orang Bugis  ada yang disebut  Uang Panai’  atau uang belanja yang biasanya puluhan juta rupiah bahkan ratusan juta rupiah, apa standartnya sehingga seorang -gadis Bugis   biasanya  Uang Panai’-nya tinggi bisa dilihat dari status sosialnya seperti latar belakang pendidikan, latar belakang keluarga bahkan jika sudah menyandang status hajjah maka akan lebih mahal, akhirnya kesannya anaknya dijual padahal bukan itu maksudnya,  Uang Panai’  atau uang belanja memang murni digunakan untuk membiayai pesta pernikahan pihak perempuan Uang Panai’  atau Uang Belanja berbeda dengan mahar atau dalam bahasa bugis disebut Sompa.
Pada akhir abad ke- 19, besarnya mahar atau sompa ditetapkan sesuai dengan status seseorang. Setiap satuan mas kawin disebut kati (mata uang “kuno”): satu kati senilai 66 ringgit, sama dengan 88 rial, 8 uang (8/20 rial) dan 8 duit (8/12 uang), dan setiap kati harus ditambah satu orang budak yang bernilai 40 rial dan seekor kerbau yang berharga 25 rial.  Sompa bagi[10] perempuan bangsawan kelas tinggi sompa bocco atau sompa puncak bisa mencapai 14 kati, sedang perempuan bangsawan tingkat terendah hanya 1 kati, orang baik-baik (tau deceng) setengah kati, dan kalangan biasa hanya seperempat kati. Sistem perhitungan ini masih dipergunakan hingga sekarang, tetapi sejak masa kemerdekaan Indonesia mata uang ringgit dulu senilai 2,5 rupiah atau 2,5 gulden Belanda yang dijadikan  satuan perhitunagan. Jadi, satu kati yang bernilai 66 ringgit, sama dengan 165 rupiah. Mengingat kadar inflasi Indonesia sejak tahun 1960-an dan turunnya nilai rupiah, sudas jelas sompa tidak lagi berharga. Namun, sompa itu masih penting artinya, khususnya bagi keluarga yang berstatus tinggi karena hadiah-hadiah tambahannya, termaksud didalamnya hadiah simbolis (batang tebu,labu,buah nangka,anyaman-anyaman,dan bermacam-macam kue tradisional) yang pada pesta perkawinan besar diarak bersama mempelai laki-laki ke rumah mempelai perempuan oleh pengantar berpakain adat. Disamping itu, jumlah uang antaran atau  Uang Panai’   makin cenderung naik. Angka yang dicatat oleh Susan Millar, dalam studinya tentang perkawinan suku Bugis pada tahun 1975 menunjukkan bahwa besarnya mas kawin sebenarnya dibulatkan, sementara  Uang Panai’   berkisar antara Rp. 2.000 sampai Rp.500.000 (Millar, Bugis Wedding: 105-). Sejak memudarnya kekuasaan politik tradisional, tak ada lagi yang berwenang menegakkan aturan adat, sehingga banyak orang kaya dari kalangan biasa, yang cukup “tebal muka” menghadapi gunjingan masyarakat, mulai memakai simbol-simbol sosial dalam perkawinan yang dulunya hanya berlaku bagi kalangan bangsawan.
Sebagian orang Bugis masih banyak yang keliru tentang pengertian. Dalam adat perkawinan Bugis, terdapat dua istilah yaitu Sompa dan  Uang Panai . Sompa adalah pemberian berupa uang atau harta dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan sebagai syarat sahnya pernikahan menurut ajaran Islam.  Uang Panai’   adalah uang antaran yang harus diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta pernikahan. Secara sepintas, kedua istilah di atas memang memiliki pengertian dan makna yang sama, yaitu keduanya sama-sama merupakan kewajiban. Namun, jika dilihat dari sejarah yang melatarbelakanginya, pengertian kedua istilah tersebut jelas berbeda. Sompa atau yang lebih dikenal sebagai mas kawin adalah kewajiban dalam tradisi Islam, sedangkan  Uang Panai’ adalah kewajiban menurut adat masyarakat setempat. Tetapi, sebagian orang Bugis memandang bahwa nilai kewajiban dalam adat lebih tinggi daripada nilai kewajiban dalam syariat Islam. Sejatinya, sebagai salah satu masyarakat yang dikenal paling kuat identitas keislamannya di Nusantara (Pelras, 2006: 4), seharusnya mereka lebih mementingkan nilai kewajiban syariat Islam daripada kewajiban menurut adat. Kewajiban memberikan mahar dalam syariat Islam merupakan syarat sah dalam perkawinan, sedangkan kewajiban memberikan  Uang Panai’  menurut adat, terutama dalam hal penentuan jumlah  Uang Panai’, merupakan konstruksi dari masyarakat itu sendiri tanpa memiliki dasar acuan yang jelas[11].
Apa sebenarnya yang melandasi jumlah   Uang Panai’ tersebut cenderung semakin meningkat? Ada dua faktor utama yang menyebabkan kecenderungan tersebut yaitu, pertama, disebabkan oleh semakin memudarnya kekuasaan politik tradisional sejak 30 tahun terakhir sehingga tidak ada lagi aturan maupun pihak-pihak yang berwenang menegakkan aturan adat. Faktor kedua disebabkan oleh munculnya paradigma berpikir dalam masyarakat Bugis yang menganggap bahwa keberhasilan mematok jumlah  Uang Panai’ yang tinggi merupakan sebuah prestise.
Pembayaran Uang Panai’ ini dapat dilakukan pada saat lamaran telah  diterima atau penentuan hari perkawinan atau pada saat appanai balanja (hari memberikan uang belanja), ataupun pada saat akad nikah akan dilangsungkan. Adapula yang melakukan pembayaran sekaligus dan ada yang melakukan pembayaran sebagian dan di selesaikan pada saat akad nikah akan dilangsungkan. Tetapi jika melihat realitas yang ada, arti  Uang Panai’ ini sudah bergeser dari maksud sebenarnya,  Uang Panai’ sudah menjadi  ajang gengsi untuk memperlihatkan kemampuan ekonomi secara berlebihan, tak  jarang untuk memenuhi permintaan  Uang Panai’   tersebut maka calon mempelai pria harus rela berutang, karena apabila prasyarat  Uang Panai’   tersebut tidak terpenuhi akan dianggap sebagai malu atau “Siri ” (rasa malu atau merasa harga diri dipermalukan). Bahkan tak jarang permintaan  Uang Panai’ dianggap sebagai senjata penolakan pihak perempuan bagi pihak laki-laki yang datang meminang jika pihak laki-laki tersebut tidak di restui oleh orang tua pihak perempuan dengan modus meminta  Uang Panai’   yang setinggi-tingginya yang mereka anggap bahwa laki-laki yang bermaksud meminang tersebut tidak mampu memenuhi permintaan  Uang Panai’ tersebut[12].
Dalam adat perkawinan Bugis terdapat beberapa tahapan untuk melangsungkan perkawinan dan salah satunya adalah penyerahan  uang  panaik. Adapun proses pemberian  Uang Panai’  k tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Pihak keluarga laki-laki mengirimkan utusan kepada pihak keluarga  perempuan untuk membicarakan perihal jumlah nominal Uang Panai’. Pada umumnya yang menjadi utusan adalah tomatoa (orang yang dituakan) dalam garis keluarga dekat seperti ayah, kakek, paman, dan kakak tertua.
2.     Setelah utusan pihak keluarga laki-laki sampai di rumah tujuan. Selanjutnya pihak keluarga perempuan mengutus  orang yang dituakan dalam garis keluarganya untuk menemui utusan dari pihak laki-laki. Setelah berkumpul maka pihak  keluarga perempuan menyebutkan harga Uang Panai’ yang dipatok. Jika -pihak keluarga calon suami menyanggupi maka selesailah proses -tersebut.  Akan tetapi jika  merasa terlalu mahal maka terjadilah tawar menawar berapa nominal yang disepakati antara kedua belah pihak. 
3.     Setelah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, maka tahap selanjutnya adalah membicarakan tanggal kedatangan pihak keluarga lakilaki untuk menyerahkan sejumlah  Uang Panai’ yang telah disepakati.
4.     Tahap selanjutnya adalah pihak keluarga laki-laki datang ke rumah pihak keluarga perempuan pada waktu yang telah disepakati sebelumnya dan menyerahkan  Uang Panai’   tersebut.
5.     Setelah  Uang Panai’ diserahkan selanjutnya membahas mahar apa yang akan diberikan kepada calon istri nantinya. Adapun masalah mahar tidak serumit proses   Uang Panai’. Mahar pada umumnya disesuaikan pada kesanggupan calon suami yang akan langsung disebutkan saat itu juga. Dalam perkawinan suku Bugis  pada era sekarang ini umunya mahar tidak berupa uang, akan tetapi berupa barang seperti tanah, rumah, atau perhiasan. 
Itulah rentetan proses penentuan hingga penyerahan  Uang Panai’ dan mahar. Dalam buku Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan disebutkan bahwa besar kecilnya   Uang Panai’ dalam tradisi perkawinan suku Bugis  ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak[13]
Secara sederhana, Uang Panai’ dapat diartikan sebagai uang belanja, yakni sejumlah uang yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada pihak keluarga mempelai perempuan.  Uang Panai’ tersebut ditujukan untuk belanja kebutuhan pesta pernikahan. Satu hal yang harus dipahami bahwa  Uang Panai’ yg diserahkan oleh calon suami diberikan kepada orang tua calon istri. Sehingga dapat dikatakan bahwa hak mutlak pemegang Uang Panai’ tersebut adalah orang tua si calon istri.
Orang tua mempunyai kekuasaan penuh terhadap uang tersebut dan begitupun penggunaanya. Penggunaan yang dimaksud adalah membelanjakan untuk keperluan pernikahan mulai dari penyewaan gedung atau tenda, menyewa grup musik atau masyarakat setempat menyebutnya electone, membeli kebutuhan konsumsi dan semua yang berkaitan dengan jalannya resepsi perkawinan . Adapun kelebihan  Uang Panai’ yang tidak habis terpakai akan  dipegang oleh orang tua. Akan tetapi pada umumnya semua Uang Panai’ tersebut akan habis terpakai untuk keperluan pesta pernikahan. Adapun anaknya akan mendapat sebagian dari total Uang Panai’ tersebut jika tidak habis terpakai. Bagian anak pun terserah orang tuanya. Apakah akan memberikan semuanya  atau tidak, itu menjadi otoritas orang tua si calon istri. Walaupun dalam kenyataanya orang tua tetap memberikan sebagian kepada anaknya untuk dipergunakan sebagai bekal kehidupannya yang baru. Secara sosial wanita mempunyai kedudukan yang tinggi dan dihormati. Secara keseluruhan Uang Panai’ merupakan hadiah yang diberikan calon mempelai laki-laki kepada calon istrinya sebagai keperluan pekawinan dan rumah tangga. Fungsi lain dari  Uang Panai’ tersebut adalah sebagai imbalan atau ganti terhadap jerih payah orang tua membesarkan anaknya[14].
Pernikahan suku Bugis  dipandang sebagai suatu hal yang sakral, religius dan sangat dihargainya. Oleh sebab itu, lembaga adat yang telah lama ada, mengaturnya dengan cermat. Sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat, suku bugis  yang terbesar menganut agama islam sehingga pernikahan bukan saja berarti ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai seorang suami dengan seorang wanita sebagai seorang isteri, tetapi juga lebih dari itu, pernikahan merupakan pertalian hubungan kekeluargaan antara pihak pria dan pihak wanitayang akan membentuk rukun keluarga yang lebih besar lagi. Tatacara pernikahan suku bugis- diatur sesuai dengan adat dan agama sehingga merupakan rangkaian acara yang menarik, penuh tatakrama dan sopan santun serta saling mengharga. Pengaturan atau tatacara diatur mulai dari pakaian atau busana yang digunakan sampai kepada tahpan-tahapan pelaksanaan adat perkawinan. Keseluruhannya ini mengandung arti dan makna[15].




[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi (Diakses pada jam 10:23 tgl 7 Desember 2016)
[2] Saifullah, sejarah dan Kebudayaan Islamdi Asia Tenggara, (Celeban Timur; Pustaka Pelajar, 2010), hal 19
[3] Christian Pelras, Manusia Bugis, Jakarta: Nalar Bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris,EFEO, 2005 hlm 159
[5] Koentjaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambata, 2004), Hal 277, Cet  281
[7] http://fajar.co.id/2016/05/27/uang-panai-tradisi-atau-gengsi.html (diakses pada jam 13:46 tgl 8 desember 2016)
[9] Christian Pelras, Manusia Bugis, Jakarta: Nalar Bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris,EFEO, 2005 hlm 184
Christian Pelras, Manusia Bugis, Jakarta: Nalar Bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris,EFEO, 2005 hlm 185


[11] http://digilib.uinsby.ac.id/10229/5/bab4.pdf.html (diakses pada jam 14:55 pada tgl 10 desember 2016)
[13] http://digilib.uinsby.ac.id/10229/4/bab3.pdf.html  (Diakses pada jam 19:45 tgl 10 desember 2016)
[14] http://digilib.uinsby.ac.id/10229/4/bab3.pdf.html (Diakses pada jam 20:15 tgl 15 desember 2016 )