Tradisi pernikahan pada setiap daerah di Indonesia memang begitu
banyak dan menarik untuk dibahas,mulai dari latar belakang budaya pernikahan
tersebut. Pada sebuah pernikahan terdapat nilai-nilai yang akan menjadi
pertimbangan dalam pernikahan, seperti status sosial , ekonomi,dan budaya atau
tradisi dari pihak perempuan maupun laki laki. Demikian halnya seperti yang
terjadi di Sulawesi Selatan,dalam proses untuk melangsungkan pernikahan dikenal
dengan adanya istilah Uang Panai atau
uang naik yang menjadi persyaratan utama sebelum melangsungkan pernikahan.
Tradisi Uang Panai’ ini
merupakan perilaku ini yang sudah berproses sejak lama dan dilaksanakan secara
turun menurun sampai saat ini. Uang
Panai’ adalah sejumlah uang yang diberikan calon mempelai laki laki kepada
calon mempelai perempuan yang akan digunakan untuk keperluan megadakan sebuah
pesta pernikahan dan belanja pernikahan. Uang Panai’ beda dengan mahar,
kedudukan Uang Panai’ dalam tradisi suku ini adalah uang adat yang
tebilang wajib diberikan kepada calon mempelai wanita dengan jumlah yang telah
disepakati oleh kedua pihak keluarga.
1.
Sejarah Pulau
Sulawesi
Sulawesi atau Pulau Sulawesi (atau sebutan lama dalam
bahasa Inggris: Celebes) adalah sebuah pulau dalam wilayah Bendera Indonesia
Indonesia yang terletak di antara Pulau Kalimantan di sebelah barat dan
Kepulauan Maluku di sebelah timur. Dengan luas wilayah sebesar 174.600 km²,
Sulawesi merupakan pulau terbesar ke-11 di dunia. Di Indonesia hanya luas Pulau
Sumatera, Kalimantan, dan Pulau Papua sajalah yang lebih luas wilayahnya
daripada Pulau Sulawesi, sementara dari segi populasi hanya Pulau Jawa dan Sumatera
sajalah yang lebih besar populasinya dari pada Sulawesi.
Nama Sulawesi diperkirakan berasal
dari kata dalam bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah yaitu kata sula yang berarti
nusa (pulau) dan kata mesi yang berarti besi (logam), yang mungkin merujuk pada
praktik perdagangan bijih besi hasil produksi tambang-tambang yang terdapat di
sekitar Danau Matano, dekat Sorowako, Luwu Timur. Sedangkan bangsa/orang-orang
Portugis yang datang sekitar abad 14-15 masehi adalah bangsa asing pertama yang
menggunakan nama Celebes untuk menyebut pulau Sulawesi secara keseluruhan[1].
2. Masukmya Islam Di Pulau Sulawesi
Kehadiran kebudayaan Islam
pertama kali di Kerajaan Gowa jauh sebelum diterimanya agama Islam sebagai
agama resmi kerajaan, agama Islam dibawa masuk oleh para pedagang dari Arab,
Parsia, India, Cina dan Melayu ke ibukota Kerajaan Gowa, Sumba Opu. Pada abad
ke 15 yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa ke 12 bernama I Monggorai Gg
Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo dialah yang memfasilitasi pedagang
Muslim masuk ke Sulawesi dan pedagang Muslim juga diberi keleluasaan membangun
masjid di Mangallekana yang sekarang menjadi masjid tertua di Sulawesi Selatan.
Faktor perdagangan dari pulau ke pulau pula yang
memudahkan para pedagang Muslim masuk ke Sulawesi lewat Kerajaan Gowa,
sedangkan sebelum itu kebanyakan masyarakat percaya ke agama Hindu dan Budha
disamping yang masih menganut Animisme dan Dinamisme namun kedua agama tersebut
kian pudar sejalan dengan datangnya Islam ke tanah Sulawesi.
Islam masuk di sulawesi dari daerah selatan,
karena daerah ini merupakan daerah transit dan penghubung pusat perdagangan di
Malaka, Jawa dan Ternate (Maluku). Menurut sejarah Gowa (patturioloanga), pada
masa pemerintahan raja Tuni Palanga, datang serombongan pedagang muslim
dari Pahang, Patani, Johor, Campa dan Minangkabau. Mereka minta izin tinggal
dan membuka perkampungan di Gowa[2].
Penduduk Sulawesi selatan
yang pertama memeluk Islam adalah orang luwu,yakni penguasa Luwu’, La Patiware,
Daeng Parabung, yang secara resmi mengucapkan kalimat syahadat dan mengganti
nama menjadi Sultan Muhammad Waliul Mudaruddin pada 4 atau 5 februari 1605
Masehi (15 atau 16 Ramadhan 1013 Hijriyah). Delapan bulan kemudian Kara’eng
Matoya pun masuk islam dengan mengambil nama Sultan Abdullah Awwalul Islam dan
mendorong kemanakannya sekaligus murdinya, raja Goa I Manra’bia yang masih
berusia muda untuk memeluk Islam dan kemudian berganti nama menjadi Sultan
Ala’uddin. Kabaranya pada 9 November 1607 (19 Rajab 1016 Hijriyah).[3]
Dakwah Islamiyah ke Sulawesi berkembang terus sampai ke daerah kerajaan
Bugis, Wajo, Sopeng, Sindenreng, dan lain-lain. Suku Bugis yang terkenal
berani, jujur dan suka berterus terang, semula sulit menerima agama Islam.
Namun berkat kesungguhan dan keuletan para mubaligh, secara berangsur-angsur
mereka menjadi penganut Islam yang setia.
Pelaut-pelaut Bugis
berlayar menjelajah seluruh Indonesia sampai ke Aceh. Di antara mereka adalah
pembesar Bugis bernama Daeng mansur yang
di Aceh lebih dikenal dengan panggilan Tengku di
Bugis. Salah seorang puterinya bernama Puteri Sendi. Ia
dikawinkan dengan Sultan Iskandar Muda, raja besar
Aceh. Sejak itu hubungan antara Aceh – Bugis sangat erat, sehingga banyak
pengaruh budaya Aceh di Bugis. Tampaknya hubungan perdagangan yang diperkuat
dengan hubungan kekerabatan yang berdasarkan agama Islam itu telah memperkokoh
hubungan persatuan antara penduduk di seluruh wilayah Indonesia[4].
Agama. Kira-kira 90% dari penduduk Sulawesi
selatan adalah pemelik agama islam, sedangkan 10% pemeluk agama Kristen protesan
atau katolik. Orang-orang nonMuslim umumnya terdiri dari pendatang-pendatan g
orang Maluku, Minahas dan lain-lain atau dari orang toraja. Mereka tinggal di
kota-kota, terutama Ujung Pandag.
Kegiatan dakwah Islam dilakukan oleh organisasi islam yang sangat aktif
seperti Muhammadiyah, Darudda’wah Wal Irsjad, partai politik Islam, dan ikatan
masjid atau musholla dengan pusat islamnya di Ujung Pandang[5]. Walaupun perkembangan islam Sulawesi sangat pesat tapi
masyarakatnya masih mempercayai ritual-ritual nenek moyang. Misalnya disuku
bugis, dalam acara pernikahan mereka masih mengadakan acara atau perayaan
selama tujuh hari sebelum hari ijab kobul, bahkan mereka masih mempercayai
adanya uang panai, yang mewajibkan calon
mempelai lelaki membayarnya dengan nominal telah ditentukan oleh pihak
keluarga perempuan. yang terkadang nominal uang panai tidak kecil, bahkan ada
yag sampai 100 sampai 200 juta, tapi ada juga yang berkisar 10 sampai 25 juta.
Uang Panai’ adalah sejumlah uang yang
wajib diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai
perempuan sebagai pemberian ketika akan
melangsungkan perkawinan selain mahar[6].
Pemberian Uang Panai’ merupakan salah satu langkah
awal yang harus dilakukan oleh pihak calon mempelai laki-laki ketika akan
melangsungkan perkawinan yang ditentukan setelah adanya proses lamaran. Jika
lamaran telah diterima maka tahap selanjutnya adalah penentuan Uang Panai’ yang jumlahnya ditentukan
terlebih dahulu oleh pihak calon mempelai wanita yang dilamar dan jika pihak
calon mempelai laki-laki menyanggupi maka tahap perkawinan selanjutnya bisa
segera di dilangsungkan. Walaupun terkadang terjadi tawar-menawar sebelum tercapainya
kesepakatan jika pihak calon mempelai laki-laki keberatan dengan jumlah Uang Panai’
k yang dipatok oleh pihak keluarga calon mempelai perempuan. Jika Uang Panai’
yang diminta oleh pihak
keluraga calon mempelai perempuan dan disanggupi oleh pihak calon mempelai
laki-laki maka ini sebagai penghormatan bagi pihak keluarga calon mempelai
perempuan. Penghormatan yang dimaksudkan disini adalah rasa penghargaan yang
diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada perempuan yang ingin
dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui Uang Panai’ [7].
Adapun akibat hukum jika pihak calon laki-laki tidak mampu
menyanggupi jumlah Uang Panai’ yang di targetkan, maka secara
otomatis perkawinan akan batal dan pada umumnya implikasi yang muncul adalah
pihak keluarga laki-laki dan perempuan akan mendapat cibiran atau hinaan di
kalangan masyarakat setempat.
Asal muasal Uang Panai’ adalah apa yang terjadi pada zaman
penjajahan Belanda dulu. Pemuda Belanda seenaknya menikahi perempuan Bugis yang ia inginkan, setelah menikah ia kembali
menikahi perempuan lain dan meninggalkan istrinya itu karena melihat perempuan
lain yang lebih cantik daripada istrinya. Budaya seperti itu membekas di Bugis
setelah Indonesia Merdeka dan menjadi doktrin bagi pemuda Indonesia sehingga
mereka juga dengan bebas menikah lalu meninggalkan perempuan yang telah
dinikahinya seenaknya. Itu membuat perempuan Bugis seolah-olah tidak berarti.
Budaya itu berubah sejak seorang pemuda mencoba menikahi seorang perempuan dari
keluarga bangsawan. Pihak keluarga tentu saja menolak karena mereka beranggapan
bahwa laki-laki itu merendakan mereka karena melamar anak mereka tanpa
keseriusan sama sekali. Mereka khawatir nasib anak mereka akan sama dengan
perempuan yang lainnnya sehingga pihak keluarga meminta bukti keseriusan pada
pemuda atas niatannnya datang melamar. Jadi pada saat itu orang tua si gadis
ini mengisyaratkan kepada sang pemuda kalau ia ingin menikahi anak gadisnya dia
harus menyediakan mahar yang telah ditentukannya. mahar yang diajukan sangatlah
berat sang pemuda harus menyediakan material maupun non material. hal ini
dilakukannya untuk mengangkat derajat kaum wanita pada saat itu. Pergilah sang
pemuda itu mencari persyaratan yang diajukan oleh orang tua si gadis.
Bertahun-tahun merantau mencari mahar demi pujaan hatinya ia rela melakukan apa
saja asalkan apa yang dilakukannya dapat menghasilkan tabungan untuk meminang
gadis pujaannya. setelah mencukupi persyaratan yang diajukan oleh orang tua si
gadis sang pemuda pun kembali meminang gadis pujaannya dan pada saat itu
melihat kesungguhan hati sang pemuda orangtua si gadis merelakan anaknya
menjadi milik sang pemuda tersebut.[8]
Adanya persyaratan yang diajukan memeberikannya sebuah
pelajaran yakni menghargai wanita karena wanita memang sangat mahal untuk
disakiti apalagi sang pemuda itu mendapatkan istrinya dari hasil jeri payahnya
sendiri itulah sebabnya ia begitu menyanyangi istrinya. Jadi mahalnya mahar
gadis Bugis bukan seperti barang yang diperjual belikan, tapi sebagai bentuk
penghargaan kepada sang wanita, jadi ketika tersirat dihati ingin bercerai dan
menikah lagi maka sang pemuda akan berpikir berkali-kali untuk melakukannya
karena begitu sulitnya ia mendapatkan si gadis ini.
Upacara pesta
perkawinan merupakan media utama bagi orang Bugis untuk menunjukkan posisinya
dalam masyarakat. Misalnya, dengan menjalankan ritual-ritual,mengenakan
pakaian,perhiasan,dan pernak pernik lain tertentu sesuai dengan tingkat
kebangsawanan dan status sosial mereka. Selain itu, identitas, status, dan
jumlah tamu yang hadir juga merupakan
gambaran luasnya hubungan dan pengaruh sosial seseorang . Pesta perkawinan juga
merupakan ajang bagi keluarga pihak calon mempelai laki-laki dan calon mempelai
wanita untuk mempertontonkan harta kekayaan mereka. Kekayaan keluarga calon
mempelai laki-laki dapat dilihat dari
besarnya jumlah Uang Panai’ yang mereka persembahkan kepada calon
mempelai perempuan ( Milliar, Bugis
Wedding: 105-8)[9] .
Dalam adat
orang Bugis ada yang disebut Uang Panai’ atau uang belanja yang biasanya puluhan juta
rupiah bahkan ratusan juta rupiah, apa standartnya sehingga seorang -gadis
Bugis biasanya Uang Panai’-nya tinggi bisa
dilihat dari status sosialnya seperti latar belakang pendidikan, latar belakang
keluarga bahkan jika sudah menyandang status hajjah maka akan lebih mahal,
akhirnya kesannya anaknya dijual padahal bukan itu maksudnya, Uang Panai’ atau uang belanja memang murni digunakan untuk
membiayai pesta pernikahan pihak perempuan.
Uang Panai’ atau Uang Belanja berbeda dengan
mahar atau dalam bahasa bugis disebut Sompa.
Pada akhir abad
ke- 19, besarnya mahar atau sompa
ditetapkan sesuai dengan status seseorang. Setiap satuan mas kawin disebut kati (mata uang “kuno”): satu kati senilai 66 ringgit, sama dengan 88
rial, 8 uang (8/20 rial) dan 8 duit (8/12 uang), dan setiap kati harus ditambah satu orang budak
yang bernilai 40 rial dan seekor kerbau yang berharga 25 rial. Sompa bagi[10] perempuan
bangsawan kelas tinggi sompa bocco atau
sompa puncak bisa mencapai 14 kati, sedang perempuan bangsawan tingkat
terendah hanya 1 kati, orang
baik-baik (tau deceng) setengah kati, dan kalangan biasa hanya
seperempat kati. Sistem perhitungan
ini masih dipergunakan hingga sekarang, tetapi sejak masa kemerdekaan Indonesia
mata uang ringgit dulu senilai 2,5 rupiah atau 2,5 gulden Belanda yang dijadikan
satuan perhitunagan. Jadi, satu kati
yang bernilai 66 ringgit, sama dengan 165 rupiah. Mengingat kadar inflasi
Indonesia sejak tahun 1960-an dan turunnya nilai rupiah, sudas jelas sompa tidak lagi berharga. Namun, sompa itu masih penting artinya,
khususnya bagi keluarga yang berstatus tinggi karena hadiah-hadiah tambahannya,
termaksud didalamnya hadiah simbolis (batang tebu,labu,buah
nangka,anyaman-anyaman,dan bermacam-macam kue tradisional) yang pada pesta
perkawinan besar diarak bersama mempelai laki-laki ke rumah mempelai perempuan oleh pengantar berpakain
adat. Disamping itu, jumlah uang antaran atau Uang Panai’
makin cenderung naik. Angka yang dicatat
oleh Susan Millar, dalam studinya tentang perkawinan suku Bugis pada tahun 1975
menunjukkan bahwa besarnya mas kawin sebenarnya dibulatkan, sementara Uang Panai’
berkisar antara Rp. 2.000
sampai Rp.500.000 (Millar, Bugis Wedding:
105-). Sejak memudarnya kekuasaan politik tradisional, tak ada lagi yang
berwenang menegakkan aturan adat, sehingga banyak orang kaya dari kalangan
biasa, yang cukup “tebal muka” menghadapi gunjingan masyarakat, mulai memakai
simbol-simbol sosial dalam perkawinan yang dulunya hanya berlaku bagi kalangan
bangsawan.
Sebagian
orang Bugis masih
banyak yang keliru tentang pengertian. Dalam adat perkawinan Bugis, terdapat
dua istilah yaitu Sompa dan Uang Panai’ . Sompa adalah
pemberian berupa uang atau harta dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak
keluarga perempuan sebagai syarat sahnya pernikahan menurut ajaran Islam. Uang Panai’
adalah uang antaran yang
harus diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak
keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta pernikahan.
Secara sepintas, kedua istilah di atas memang memiliki pengertian dan makna
yang sama, yaitu keduanya sama-sama merupakan kewajiban. Namun, jika dilihat
dari sejarah yang melatarbelakanginya, pengertian kedua istilah tersebut jelas
berbeda. Sompa atau yang lebih dikenal sebagai mas kawin adalah
kewajiban dalam tradisi Islam, sedangkan Uang Panai’ adalah kewajiban menurut adat
masyarakat setempat. Tetapi, sebagian orang Bugis memandang bahwa nilai
kewajiban dalam adat lebih tinggi daripada nilai kewajiban dalam syariat Islam.
Sejatinya, sebagai salah satu masyarakat yang dikenal paling kuat identitas keislamannya di Nusantara (Pelras, 2006: 4), seharusnya mereka lebih mementingkan nilai kewajiban syariat Islam
daripada kewajiban menurut adat. Kewajiban
memberikan mahar dalam syariat Islam merupakan syarat sah dalam perkawinan,
sedangkan kewajiban memberikan Uang
Panai’ menurut adat, terutama dalam hal penentuan
jumlah Uang Panai’, merupakan
konstruksi dari masyarakat itu sendiri tanpa memiliki dasar acuan yang jelas[11].
Apa sebenarnya yang melandasi jumlah Uang Panai’ tersebut cenderung semakin
meningkat? Ada dua faktor utama yang menyebabkan kecenderungan tersebut yaitu,
pertama, disebabkan oleh semakin memudarnya kekuasaan politik tradisional sejak
30 tahun terakhir sehingga tidak ada lagi aturan maupun pihak-pihak yang
berwenang menegakkan aturan adat. Faktor kedua disebabkan oleh munculnya
paradigma berpikir dalam masyarakat Bugis yang menganggap bahwa keberhasilan
mematok jumlah Uang Panai’ yang
tinggi merupakan sebuah prestise.
Pembayaran Uang Panai’ ini dapat dilakukan pada saat lamaran
telah diterima atau penentuan hari
perkawinan atau pada saat appanai balanja (hari memberikan uang belanja),
ataupun pada saat akad nikah akan dilangsungkan. Adapula yang melakukan
pembayaran sekaligus dan ada yang melakukan pembayaran sebagian dan di
selesaikan pada saat akad nikah akan dilangsungkan. Tetapi jika melihat
realitas yang ada, arti Uang Panai’ ini
sudah bergeser dari maksud sebenarnya, Uang Panai’ sudah menjadi ajang gengsi untuk memperlihatkan kemampuan
ekonomi secara berlebihan, tak jarang
untuk memenuhi permintaan Uang
Panai’ tersebut maka calon mempelai pria harus rela
berutang, karena apabila prasyarat Uang Panai’
tersebut tidak terpenuhi akan
dianggap sebagai malu atau “Siri ” (rasa malu atau merasa harga diri
dipermalukan). Bahkan tak jarang permintaan Uang Panai’ dianggap sebagai senjata
penolakan pihak perempuan bagi pihak laki-laki yang datang meminang jika pihak
laki-laki tersebut tidak di restui oleh orang tua pihak perempuan dengan modus
meminta Uang Panai’ yang setinggi-tingginya yang mereka anggap
bahwa laki-laki yang bermaksud meminang tersebut tidak mampu memenuhi
permintaan Uang Panai’ tersebut[12].
Dalam adat perkawinan Bugis terdapat beberapa tahapan untuk
melangsungkan perkawinan dan salah satunya adalah penyerahan uang
panaik. Adapun proses pemberian Uang Panai’
k tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Pihak keluarga
laki-laki mengirimkan utusan kepada pihak keluarga perempuan untuk membicarakan perihal jumlah
nominal Uang Panai’. Pada umumnya yang menjadi utusan adalah tomatoa
(orang yang dituakan) dalam garis keluarga dekat seperti ayah, kakek, paman,
dan kakak tertua.
2.
Setelah utusan
pihak keluarga laki-laki sampai di rumah tujuan. Selanjutnya pihak keluarga
perempuan mengutus orang yang dituakan
dalam garis keluarganya untuk menemui utusan dari pihak laki-laki. Setelah
berkumpul maka pihak keluarga perempuan
menyebutkan harga Uang Panai’ yang dipatok. Jika -pihak keluarga calon
suami menyanggupi maka selesailah proses -tersebut. Akan tetapi jika merasa terlalu mahal maka terjadilah tawar
menawar berapa nominal yang disepakati antara kedua belah pihak.
3.
Setelah terjadi
kesepakatan antara kedua belah pihak, maka tahap selanjutnya adalah
membicarakan tanggal kedatangan pihak keluarga lakilaki untuk menyerahkan
sejumlah Uang Panai’ yang telah
disepakati.
4.
Tahap
selanjutnya adalah pihak keluarga laki-laki datang ke rumah pihak keluarga
perempuan pada waktu yang telah disepakati sebelumnya dan menyerahkan Uang Panai’
tersebut.
5.
Setelah Uang Panai’ diserahkan selanjutnya
membahas mahar apa yang akan diberikan kepada calon istri nantinya. Adapun
masalah mahar tidak serumit proses Uang Panai’. Mahar pada umumnya
disesuaikan pada kesanggupan calon suami yang akan langsung disebutkan saat itu
juga. Dalam perkawinan suku Bugis pada
era sekarang ini umunya mahar tidak berupa uang, akan tetapi berupa barang
seperti tanah, rumah, atau perhiasan.
Itulah rentetan
proses penentuan hingga penyerahan Uang Panai’ dan mahar. Dalam buku Adat dan
Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan disebutkan bahwa besar kecilnya Uang Panai’ dalam tradisi perkawinan suku
Bugis ditentukan berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak[13].
Secara sederhana, Uang Panai’ dapat diartikan sebagai uang
belanja, yakni sejumlah uang yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki
kepada pihak keluarga mempelai perempuan.
Uang Panai’ tersebut ditujukan
untuk belanja kebutuhan pesta pernikahan. Satu hal yang harus dipahami bahwa Uang Panai’ yg diserahkan oleh calon suami
diberikan kepada orang tua calon istri. Sehingga dapat dikatakan bahwa hak
mutlak pemegang Uang Panai’ tersebut adalah orang tua si calon istri.
Orang tua
mempunyai kekuasaan penuh terhadap uang tersebut dan begitupun penggunaanya.
Penggunaan yang dimaksud adalah membelanjakan untuk keperluan pernikahan mulai
dari penyewaan gedung atau tenda, menyewa grup musik atau masyarakat setempat
menyebutnya electone, membeli kebutuhan konsumsi dan semua yang berkaitan
dengan jalannya resepsi perkawinan . Adapun kelebihan Uang Panai’ yang tidak habis
terpakai akan dipegang oleh orang tua. Akan
tetapi pada umumnya semua Uang Panai’ tersebut akan habis terpakai untuk
keperluan pesta pernikahan. Adapun anaknya akan mendapat sebagian dari total Uang
Panai’ tersebut jika tidak habis terpakai. Bagian anak pun terserah orang
tuanya. Apakah akan memberikan semuanya
atau tidak, itu menjadi otoritas orang tua si calon istri. Walaupun
dalam kenyataanya orang tua tetap memberikan sebagian kepada anaknya untuk
dipergunakan sebagai bekal kehidupannya yang baru. Secara sosial wanita
mempunyai kedudukan yang tinggi dan dihormati. Secara keseluruhan Uang Panai’
merupakan hadiah yang diberikan calon mempelai laki-laki kepada calon
istrinya sebagai keperluan pekawinan dan rumah tangga. Fungsi lain dari Uang Panai’ tersebut adalah sebagai
imbalan atau ganti terhadap jerih payah orang tua membesarkan anaknya[14].
Pernikahan suku
Bugis dipandang sebagai suatu hal yang
sakral, religius dan sangat dihargainya. Oleh sebab itu, lembaga adat yang
telah lama ada, mengaturnya dengan cermat. Sesuai dengan kenyataan dalam
masyarakat, suku bugis yang terbesar
menganut agama islam sehingga pernikahan bukan saja berarti ikatan lahir batin
antara seorang pria sebagai seorang suami dengan seorang wanita sebagai seorang
isteri, tetapi juga lebih dari itu, pernikahan merupakan pertalian hubungan
kekeluargaan antara pihak pria dan pihak wanitayang akan membentuk rukun
keluarga yang lebih besar lagi. Tatacara pernikahan suku bugis- diatur sesuai
dengan adat dan agama sehingga merupakan rangkaian acara yang menarik, penuh
tatakrama dan sopan santun serta saling mengharga. Pengaturan atau tatacara
diatur mulai dari pakaian atau busana yang digunakan sampai kepada
tahpan-tahapan pelaksanaan adat perkawinan. Keseluruhannya ini mengandung arti
dan makna[15].
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi (Diakses pada jam 10:23 tgl 7 Desember 2016)
[2] Saifullah, sejarah
dan Kebudayaan Islamdi Asia Tenggara, (Celeban Timur; Pustaka Pelajar,
2010), hal 19
[3] Christian
Pelras, Manusia Bugis, Jakarta: Nalar Bekerja sama dengan Forum
Jakarta-Paris,EFEO, 2005 hlm 159
[4] https://rahempty.wordpress.com/2012/09/28/sejarah-perkembangan-Islam-di-sulawesi/ (Diakses pada jam 10:26 tgl 7 Desember 2016)
[5]
Koentjaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia (Jakarta:
Djambata, 2004), Hal 277, Cet 281
[6] https://fridayaniabdulkarim.wordpress.com/2015/05/08/ngeri-nya-uang-panai-untuk-melamar-wanita-bugis-/.html (diakses pada
jam 13:27 tgl 8 desember 2016)
[7] http://fajar.co.id/2016/05/27/uang-panai-tradisi-atau-gengsi.html (diakses pada
jam 13:46 tgl 8 desember 2016)
[8] http://www.blibuku.com/index.php?page=news-details&id=20160317101753&judul=NGERI%20-%20nya%20Uang%20Panai%E2%80%99%20untuk%20Mereka%20yang%20Melamar%20Wanita%20Bugis-.html (diakses pada
jam 12:48 pada tgl 8 desember 2016)
[9] Christian
Pelras, Manusia Bugis, Jakarta: Nalar Bekerja sama dengan Forum
Jakarta-Paris,EFEO, 2005 hlm 184
5 Christian Pelras, Manusia Bugis, Jakarta:
Nalar Bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris,EFEO, 2005 hlm 185
[11] http://digilib.uinsby.ac.id/10229/5/bab4.pdf.html (diakses pada
jam 14:55 pada tgl 10 desember 2016)
[12]http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/12824/Skripsi%20PDF.pdf;sequence=1.html (diakses pada
jam 15:15 tgl 10 desember 2016)
[13] http://digilib.uinsby.ac.id/10229/4/bab3.pdf.html (Diakses pada jam 19:45 tgl 10 desember 2016)
[14] http://digilib.uinsby.ac.id/10229/4/bab3.pdf.html (Diakses pada
jam 20:15 tgl 15 desember 2016 )
[15]http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/12824/Skripsi%20PDF.pdf;sequence=1.html (diakses pada
jam 16:45 pada tgl 15 desember 2016)