Lamunan Bisu

Rabu, 03 Mei 2017

Feminisme Islam: Fatimah Mernissi Kritik Farik Gender *


            Feminisme, mendengar kata Feminis dengan tambahan Isme seakan membuat kaum Adam naik tekanan darah. Secara,  kaum Feminis banyak menentang kebiasaan yang sudah dianggap hakiki oleh mayoritas, utama laki-laki, terlebih konstruk sosial-budaya seakan memojokan wanita bahkan menggap wanita bak barang jualan, siapa saja bisa membeli dan jika tidak cocok dikembalikan pada penjual. Misalnya, pernah beredar berita bahwa ada salah satu bupati, di salah satu daerah yang pernikahanya bertahan semalam, alasan cerai adalah karena si istri tidak sesuai dengan perjanjian, maka dikembalikanlah pada orang tuanya.


            Dalam islam, semua manusia setara, semua sama, tidak ada lebih tinggi drajatnya bahkan dalam Al-Quran tidak menyatakan bahwa perempuan menjadi pelengkap laki-laki, tetapi mereka diciptakan untuk berpasang-pasangan. “dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita” (53:45). Semua manusia disama-ratakan, pembedanya adalah amal perbuatan dan iman. Tokoh Faminisme Islam Fatimah Mernissi, salah satu sosiolog kelahiran Maroko meyatakan bahwa, Ada empat prinsip dalam Faminisme Islam. Pertama adalah Tauhid bahwa semua mahluk sama disisi-Nya, hanya Allah pemilik tingkatan tertinggi, Manusia tidak punya hak untuk meninggikan atau merendahkan satu sama lain. Kedua Keadilan, bahwa dalam keadilan siapapun berhak mendapatkanya, entah dia cewek atau cowok, entah dia Profesor atau Doktor, dan Budak juga mempunyai hak keadilan yang sama, tidak ada pembeda diantara mereka. Ketiga Taqwa, Hati mempunyai kewaspadaan kepada Allah serta sadar atas keberadaanya, siapapun bertakwa entah dia laki-laki atau perempuan akan mendapatkan balasan setimpal dari-Nya tanpa melihat gender. Keempat kebaikan,  siapapun berlaku baik akan mendapat timbal balik dari Pencipta.

            Dalam perkembanganya, pemahaman agama seakan memojokan kaum perempuan dan hanya lelakilah yang selalu benar, menjadi pertama dan dikedepankan. Padahal sebenarnya paham seperti ini dibentuk oleh kontruk budaya, sejarah dan bahasa. Kita ketahui mayoritas pemegang sejarah adalah pria sehingga segala sesuatu yang dipikirkan hanya masalah pria, konstruk kebudayaan terbangun lebih menguntungkan Pria. Misalnya, pemahaman terhadap hadist nabi, mayoritas sanad hadis nabi adalah Pria sehingga mereka memegang kendali atas penonjolan masalah. Maksudanya pada Islam Klasik, laki-laki menjadi pemegang kendali atas permasalahan terkait perempuan, seperti pemahaman Poligami adalah Sunah Rosul. jika dalu kala, mungkin sangat dianjurkan poligami. Sosial-budaya pada saat itu, perempuan merasa diangkat martabatnya jika dinikahi oleh orang muslim. Sedangkan pada pra-islam perempuan dianggap pembawa sial, sehingga jika ada suatu keluarga mempunyai anak perempuan, mereka akan kubur hidup-hidup. Maka sangat wajar jika Rosul membolehkan menikahi perempuan lebih dari satu.

            Berangkat dari pemahaman Islam Politik dan Islam Risalah. Pemahaman Islam Politik adalah Islam sebagai praktek kekuasaan pada tindakan-tindakan manusia yang digerakkan oleh nafsu dan didorong kepentingan pribadi.  konstruk pemahaman terhadap Al-Quran dan Hadits bergantung pada kepentingan politik, digerakkan oleh hawa nafsu untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Misalnya pemahaman tentang surat Ar-rahman, ayat 56 Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin.  Al-Qur’an tidak pernah secara jelas menyatakan bahwa bidadari di surga sebagai balasan bagi orang yang beriman. Tapi anehnya orang-orang Islam (tepatnya Muslim laki-laki) berebutan untuk menentukan sendiri banyaknya bidadari yang akan dia dapatkan di surga. Dalam surga, Imâm al-Sindî misalnya mengatakan terdapat 73 bidadari (untuk satu orang laki-laki). Menurut versi al-Suyûtî di surga seorang laki-laki memiliki jatah 70 bidadari. Imâm Qadî bahkan menentukan jumlah yang lebih banyak lagi, yaitu 4.900 bidadari untuk tiap penghuni laki-laki di surga, di setiap ranjang ada 70, dan setiap bidadari mempunyai 1.000 dayang-dayang, Imâm al-Bukhârî pun juga tidak ketinggalan, tapi ia hanya memberi untuk dirinya sendiri dan juga orang beriman yang lainnya jatah dua istri (Fahrudin Faiz). Meraka menggunakan perspektifnya sesuai kekuatan nalar, terhadap permasalahan terjadi. Pada dasarnya mereka para penafsir adalah kaum Pria, bisa jadi jika penafsirnya wanita akan didapati pemahaman berbeda.

            Islam Risalah adalah pesan Ilahi yakni cita-cita yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Islam risalah ini dapat disebut sebagai Islam Spiritual. Karena pemahamannya benar-benar berpegang teguh pada isi nyata dalam teks Al-Quran tanpa didasari oleh kepentingan tertentu. Karena Terkadang banyak orang menggunakan salah penafsiran antara tafsiran manusia, hadis Nabi dan isi dalam al-Quran. Terkadang, Meraka tidak bisa membedakan, penfsiran manusia dianggap isi Al-Quran dan Hadis dianggap Penafsiran manusia terhadap ayat. Bahkan ada hadits yang secara eksplisit penonjolan terhadap farik gender yang cendrung kaum wanita menjadi kambing hitamnya. Misalnya Hadis Misoginis, secara eksplisit mengucilkan perempuan seperti hadis batalnya Sholat, Al-Bukhârî meriwayatkan hadis dari Abû Hurayrah, yang mengatakan bahwa Rasûlullâh saw. bersabda: “Anjing, keledai dan wanita akan membatalkan shalat seseorang apabila ia melintas di depan  mereka dan menyela dirinya antara orang-orang yang shalat dengan kiblat”. Konstruk pemahaman dibangun seakan melecehkan martabat perempuan, bahkan konstruk pemahaman seperti ini dibangun dengan latar Islam Politik. Beda halnya ketika ditanya pada Aisyah, bahwa sebenarnya hurairah menghilangkan redaksi didepanya yang berbunyi “celakalah orang yahudi, Anjing, keledai dan wanita akan membatalkan shalat seseorang apabila ia melintas di depan  mereka dan menyela dirinya antara orang-orang yang shalat dengan kiblat”.



            Perlu kita tekankan kembali bahwa dalam menyikapi Hadits Misoginis, kita harus menggunakan beberapa analisis. Pertama, Analisis Historis, Melihat sejarahnya. Bagaimana sejarah pada saaat itu dibentuk, bagaimana keadaan sosial budayanya. Bahwa sebenarnya ada banyak peran serta partisipasi peremuan baik langsung maupun tidak langsung. Kedua, analisis Gender, sebenarnya perempuan memang benar-benar disalahkan atau memang ada unsur tersurat teks Al-Quran dan Hadis. adanya budaya Patrialkhal yang menimbulkan subordinasi perempuan. Dari penelitian Fatimah Mernissi tidak menemukan ajaran Islam yang merendahkan perempuan. Subordinasi perempuan bukan karena kelemahan biologis perempuan atau karena ajaran agama, namun lebih banyak disebabkan oleh konstruksi sosial tentang peran perempuan yang sering menimbulkan ketimpangan. Ketiga, Kritik Hadi, Perhatikan aspek asbab-al wurud, yaitu sebab timbulnya hadis tersebut, pada waktu apa? kapan? dan kenapa?. Sehingga Fatimah Mernissi memberi pandangan dalam menghadapi teks sakral. Pertama, bacalah teks secara heloistik, lihatlah visi besarnya apa, dan bertujuan untuk apa. Kedua, telusuri dulu dalam al-quran dan hadis Nabi yang berbicara tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan. teks yang  berkaitan baik pro atau kontara, Ketiga carilah relevansi dan validitasnya melalui analisis terhadap Ashbab al-Nuzul, Ashbab al-Wurud, sosio-historis yang melengkapi, pribadi para penfsir, perawi, motif-motif yang mempengaruhi maupun perkembangan per periode. Keempat, kritik matan dan sanad jika penyampaianya kurang relevan dan valid, karena bagaimanapun mereka juga manusia tidak luput dari kesalahan. Dari penelitian teks suci ini akan terbuka wawasan baru terhadap agama dan akan tersingkap antara yang sakral dan profan, antara yang sekedar tradisi dan ajaran murni.

*pernah terbit di http://penelehnews.com/id-542-post-feminismenbspislam-fatimah-mernissi-kritik-farik-gender.html