Feminisme, mendengar kata Feminis dengan tambahan Isme seakan membuat kaum Adam naik tekanan darah. Secara, kaum Feminis banyak menentang kebiasaan yang
sudah dianggap hakiki oleh mayoritas, utama laki-laki, terlebih konstruk sosial-budaya
seakan memojokan wanita bahkan menggap wanita bak barang jualan, siapa saja
bisa membeli dan jika tidak cocok dikembalikan pada penjual. Misalnya, pernah
beredar berita bahwa ada salah satu bupati, di salah satu daerah yang pernikahanya
bertahan semalam, alasan cerai adalah karena si istri tidak sesuai dengan perjanjian,
maka dikembalikanlah pada orang tuanya.
Dalam islam, semua manusia setara, semua sama, tidak ada
lebih tinggi drajatnya bahkan dalam Al-Quran tidak menyatakan bahwa perempuan
menjadi pelengkap laki-laki, tetapi mereka diciptakan untuk berpasang-pasangan.
“dan bahwasanya Dialah yang
menciptakan berpasang-pasangan pria dan
wanita”
(53:45). Semua manusia disama-ratakan, pembedanya adalah amal
perbuatan dan iman. Tokoh Faminisme Islam Fatimah Mernissi, salah satu sosiolog
kelahiran Maroko meyatakan bahwa, Ada empat prinsip dalam Faminisme Islam. Pertama adalah Tauhid bahwa semua mahluk
sama disisi-Nya, hanya Allah pemilik tingkatan tertinggi, Manusia tidak punya
hak untuk meninggikan atau merendahkan satu sama lain. Kedua Keadilan, bahwa dalam keadilan siapapun berhak mendapatkanya,
entah dia cewek atau cowok, entah dia Profesor atau Doktor, dan Budak juga mempunyai
hak keadilan yang sama, tidak ada pembeda diantara mereka. Ketiga Taqwa, Hati mempunyai kewaspadaan kepada Allah serta sadar
atas keberadaanya, siapapun bertakwa entah dia laki-laki atau perempuan akan
mendapatkan balasan setimpal dari-Nya tanpa melihat gender. Keempat kebaikan, siapapun berlaku baik akan mendapat timbal
balik dari Pencipta.
Dalam perkembanganya, pemahaman agama seakan memojokan
kaum perempuan dan hanya lelakilah yang selalu benar, menjadi pertama dan
dikedepankan. Padahal sebenarnya paham seperti ini dibentuk oleh kontruk
budaya, sejarah dan bahasa. Kita ketahui mayoritas pemegang sejarah adalah pria
sehingga segala sesuatu yang dipikirkan hanya masalah pria, konstruk kebudayaan
terbangun lebih menguntungkan Pria. Misalnya, pemahaman terhadap hadist nabi, mayoritas
sanad hadis nabi adalah Pria sehingga mereka memegang kendali atas penonjolan
masalah. Maksudanya pada Islam Klasik, laki-laki menjadi pemegang kendali atas permasalahan
terkait perempuan, seperti pemahaman Poligami adalah Sunah Rosul. jika dalu kala,
mungkin sangat dianjurkan poligami. Sosial-budaya pada saat itu, perempuan
merasa diangkat martabatnya jika dinikahi oleh orang muslim. Sedangkan pada
pra-islam perempuan dianggap pembawa sial, sehingga jika ada suatu keluarga mempunyai
anak perempuan, mereka akan kubur hidup-hidup. Maka sangat wajar jika Rosul membolehkan
menikahi perempuan lebih dari satu.
Berangkat dari pemahaman Islam Politik dan Islam Risalah.
Pemahaman Islam Politik adalah Islam sebagai praktek kekuasaan pada tindakan-tindakan manusia yang digerakkan oleh
nafsu dan didorong kepentingan pribadi. konstruk
pemahaman terhadap Al-Quran dan Hadits bergantung pada kepentingan politik,
digerakkan oleh hawa nafsu untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Misalnya pemahaman
tentang surat Ar-rahman, ayat 56 “Di
dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh
manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi suami mereka),
dan tidak pula oleh jin”. Al-Qur’an tidak pernah secara
jelas menyatakan bahwa
bidadari di surga sebagai balasan bagi orang yang beriman. Tapi anehnya
orang-orang Islam (tepatnya Muslim laki-laki) berebutan untuk menentukan
sendiri banyaknya bidadari yang akan dia dapatkan di surga. Dalam surga, Imâm
al-Sindî misalnya mengatakan terdapat 73 bidadari (untuk satu orang laki-laki).
Menurut versi al-Suyûtî di surga seorang laki-laki memiliki jatah 70 bidadari.
Imâm Qadî bahkan menentukan jumlah yang lebih banyak lagi, yaitu 4.900 bidadari
untuk tiap penghuni laki-laki di surga, di setiap ranjang ada 70, dan setiap
bidadari mempunyai 1.000 dayang-dayang, Imâm al-Bukhârî pun juga tidak
ketinggalan, tapi ia hanya memberi untuk dirinya sendiri dan juga orang beriman
yang lainnya jatah dua istri (Fahrudin Faiz). Meraka menggunakan perspektifnya sesuai
kekuatan nalar, terhadap permasalahan terjadi. Pada dasarnya mereka para penafsir
adalah kaum Pria, bisa jadi jika penafsirnya wanita akan didapati pemahaman
berbeda.
Islam Risalah adalah pesan Ilahi yakni cita-cita yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Islam risalah ini dapat disebut sebagai Islam Spiritual. Karena pemahamannya benar-benar berpegang teguh pada isi nyata dalam teks Al-Quran tanpa didasari oleh kepentingan tertentu. Karena Terkadang banyak orang menggunakan salah penafsiran antara tafsiran manusia, hadis Nabi dan isi dalam al-Quran. Terkadang, Meraka tidak bisa membedakan, penfsiran manusia dianggap isi Al-Quran dan Hadis dianggap Penafsiran manusia terhadap ayat. Bahkan ada hadits yang secara eksplisit penonjolan terhadap farik gender yang cendrung kaum wanita menjadi kambing hitamnya. Misalnya Hadis Misoginis, secara eksplisit mengucilkan perempuan seperti hadis batalnya Sholat, Al-Bukhârî meriwayatkan hadis dari Abû Hurayrah, yang mengatakan bahwa Rasûlullâh saw. bersabda: “Anjing, keledai dan wanita akan membatalkan shalat seseorang apabila ia melintas di depan mereka dan menyela dirinya antara orang-orang yang shalat dengan kiblat”. Konstruk pemahaman dibangun seakan melecehkan martabat perempuan, bahkan konstruk pemahaman seperti ini dibangun dengan latar Islam Politik. Beda halnya ketika ditanya pada Aisyah, bahwa sebenarnya hurairah menghilangkan redaksi didepanya yang berbunyi “celakalah orang yahudi, Anjing, keledai dan wanita akan membatalkan shalat seseorang apabila ia melintas di depan mereka dan menyela dirinya antara orang-orang yang shalat dengan kiblat”.
Perlu kita tekankan kembali bahwa dalam menyikapi Hadits
Misoginis, kita harus menggunakan beberapa analisis. Pertama, Analisis Historis, Melihat sejarahnya. Bagaimana sejarah
pada saaat itu dibentuk, bagaimana keadaan sosial budayanya. Bahwa sebenarnya
ada banyak peran serta partisipasi peremuan baik langsung maupun tidak
langsung. Kedua, analisis Gender,
sebenarnya perempuan memang benar-benar disalahkan atau memang ada unsur
tersurat teks Al-Quran dan Hadis. adanya
budaya Patrialkhal yang menimbulkan subordinasi perempuan. Dari penelitian Fatimah
Mernissi tidak
menemukan ajaran Islam yang merendahkan perempuan. Subordinasi perempuan bukan
karena kelemahan biologis perempuan atau karena ajaran agama, namun lebih
banyak disebabkan oleh konstruksi sosial tentang peran perempuan yang sering menimbulkan ketimpangan. Ketiga, Kritik
Hadi,
Perhatikan aspek asbab-al wurud, yaitu sebab timbulnya hadis tersebut, pada
waktu apa? kapan? dan kenapa?. Sehingga Fatimah Mernissi memberi pandangan dalam
menghadapi teks sakral. Pertama,
bacalah teks secara heloistik, lihatlah visi besarnya apa, dan bertujuan untuk
apa. Kedua, telusuri dulu dalam
al-quran dan hadis Nabi yang berbicara tentang kesetaraan laki-laki dan
perempuan. teks yang berkaitan baik pro
atau kontara, Ketiga carilah
relevansi dan validitasnya melalui analisis terhadap Ashbab al-Nuzul, Ashbab
al-Wurud, sosio-historis yang melengkapi, pribadi para penfsir, perawi,
motif-motif yang mempengaruhi maupun perkembangan per periode. Keempat, kritik matan dan sanad jika penyampaianya
kurang relevan dan valid, karena bagaimanapun mereka juga manusia tidak luput
dari kesalahan. Dari penelitian teks suci ini akan terbuka wawasan baru
terhadap agama dan akan tersingkap antara yang sakral dan profan, antara yang
sekedar tradisi dan ajaran murni.
*pernah terbit di http://penelehnews.com/id-542-post-feminismenbspislam-fatimah-mernissi-kritik-farik-gender.html