Oleh:
Moh Anshory Lubis
Lalu Nabil Uzdy Mubarok
Difa Aidatul F
Orientasi
keagamaan yang dipahami sebagai pemaknaan seseorang terhadap agamanya, dalam
konteks hubungan antar umat beragama dapat mendorong seseorang yang beragama
dalam dua kecenderungan; menjadi pribadi yang damai dan bersahabat atau menjadi
pribadi yang menyimpan prasangka (prejudice) dan rasa permusuhan.
Orientasi keagamaan ini selanjutnya dapat mengarahkan individu pada dua sikap
pula, yang pertama sikap inklusif, moderat, dan respek terhadap keyakinan yang
berbeda, sedangkan yang kedua adalah sikap eksklusif dan keras atau radikal.
Demikian pula halnya kedua sikap tersebut pada gilirannya dapat mempengaruhi
cara individu tersebut berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, termasuk ketika
berinteraksi dengan orang lain, baik yang seagama maupun berbeda agama.[1]
Umat beragama
cenderung terjebak dalam memahami agama secara definitif dan aplikatif,
sedangkan unsur universal yang bisa dibawa dari zaman kezaman tidak menjadi hal
paling fundamental yang dapat diambil dan aktualkan dalam kehidupan, Agama
sebagai pegangan hidup yang seharusnya tidak hanya menjadi simbolik bagi
pemeluknya. Walaupun pada tataran memahami agama tentu setiap umat beragama
mempunyai orientasi agama berbeda-beda, tergantung pada pola pikir, sosial,
budaya, politik dan ekonomi.
Ali Syariati
memahami orientasi manusia, utamanya umat beragama pada dua struktur yang ada
dalam seluruh masyarakat manusia-struktur Qabil dan struktur Habil.[2] Habil
dikenal dengan ekspresi lembut dalam bersosial dan mementingkan sesamanya serta
lebih mementingkan unsur kemanusiaan dan bersikap inklusif. Sedangkan Qobil
dikenal dengan sosok frontal atau lebih pada ekslusifisme dalam bertidak.
Kerangka
Teori
Orientasi Beragama menurut Polutzian secara
definitif merujuk pada makna iman atau agama dalam kehidupan seseorang.
Mengingat beragamnya makna iman bagi manusia, maka secara garis besar Orientasi
Beragama kemudian dibedakan dalam dua kategori, yaitu Orientasi Intrinsik dan
Orientasi Ekstrinsik. Orientasi intrinsik adalah orang yang hidup berdasarkan
agama sementara, ekstrinsik adalah orang yang hidup dengan menggunakan
(memanfaatkan) agama.[3] Inilah
yang kami dipahami bahwa orientasi keberagamaan Ali Syariati cenderung pada
keagamaan ekstrinsik
Orientasi
keagamaan ekstrinsik Ali Syariati dipahami sebagai kaum intelakual (Rushan Fekr), yakni individu-individu
yang memiliki tanggung jawab dan misi sosial. Mereka bukanlah intelektual.
Orang semacam ini mungkin saja dapat atau tidak dapat menjadi “Orang yang
tercerahkan” (Rushan Fekr). Sebaliknya seseorang mungkin bukan golongan
intelektual, tetapi ia tetap dianggap sebagai orang yang tercerahkan (Rushan
Fekr).[4]
Agama yang memiliki nilai universal seharusnya mampu memberi ketenangan baik
internal diri atau sosial, tugas kaum intelektual adalah sekalipun ia cakap dan
mempu membuat harmoni terhadap dirinya, namun ia mempunyai tanggungan dalam
sosialnya. Maksudnya, harmonisnya dalam masyarakat harusnya menjadi tanggung
jawab kaum intelektul, baik menertibkan masyarakat dan berfikir lebih maju.
Biografi
Ali Syari‟ati
dilahirkan pada 1933 di Mazinan dekat kota Sabzivar, tepi gurun pasir Dast-I
Kavir, dengan nama lengkap Ali Syari’ati Mazinani. Mazinan merupakan salah satu
wilayah dalam propnsi Khurazan negeri Iran. Namanya pernah diganti dengan
identitas lain, untuk menghindari pencarian pihak inteligen yang mencatat nama
Syariati sebagai tokoh yang menentang pemerintahan.[5] Syari’ati
dilahirkan dari kalangan keluarga tokoh agama di Iran. Moyangnya Allama
Bahmanamadi mengajarkan Ilmu Kalam, Filsafat, dan Fiqh kepada Akhun Hakim;
kakeknya dari pihak ibu. Pamannya juga seorang tokoh agama, merupakan murid
seorang ulama mahsyur Adip Nisyapuri. Ayahnya Aqa Muhammad Taqi Syari’ati
seorang guru besar, mujtahid dan pendiri “Pusat Da’wah Islam” di Mashad dan
salah seorang pemuka gerakan intelektual Islam di Iran.[6]
Pengakuan Ali Syariati bahwa pada tahun 1964 kemunculan
gnostisisme yang telah dialami sejak kanak-kanak, pada akhirnya menjadi sebuah
halilintar yang mentransformasikan hidupnya dan memikatnya pada sufisme.[7] Ali
Syariati percaya bahwa agama monoteisme merupakan agama revolusioner,
menurutnya, agama revolusionir adalah agama yang mampu membuat individu beriman
padanya, termaktub dalam pengetahuan dan teks sucinya. Maksudnya agama
revolusioner adalah agama yang mampu dikritik dari sisi materil, spritual dan
sosial. Menurutnya agama monoteisme ia tidak memperlihatkan ketidakpedulian
terhadap apa yang ada di hadapannya; suatu revolusi suatu perhambaan terhadap
sang pencipta, yaitu yang menyebabkan penciptaan, serta ketundukan padanya [8]
Ali Syariati menyadari dari hasil observasi dan mengapresiasi
karya agung sang pencipta. Dalam hubungan eratnya dengan alam, dia datang untuk
menemukan kembali intelegensinya. Dengan seperangkat organ-organ persepsi yang
berbeda, dia datang untuk memiliki visi baru, melihat apa yang bisa terlihat
sebelumnya. Ali Syariati menjadi terseret secara total dalam kesucian,
kemuliaan dan kecantikan Tuhan yang membuatnya jatuh cinta.[9] Pemahaman
keagamaan inilah yang menyebabkan dia berpadangan bahwa agama menjadi titik
sentral untuk menjawab permasalahan yang timbul dan memecahkan masalah dalam
masyarakat.
Perkembangan Keagamaan Ali Syariati
Sebagai seorang sosialis, Ali Syariati percaya bahwa
umat Islam seharusnya menggunakan hati dalam bertindak dan lebih dihargai
daripada otak dan bagian dalam lebih mulia daripada bagian luar.[10]
Mencari Tuhan merupakan subjek dan agama hanyalah predikat, ia menyatakan
pilihannya pada tarikat sufi menuju Tuhan daripada mazhab pemikiran yang
mainstrem untuk mendapatkan belaian Tuhan melalui penyerahan kepadanya dan melaksanakan
peraturan dan regulasi Islam.[11]
Maksudnya dalam wacana sosial-masyarakat seharusnya manusia mementingkan
intuisi tampil sebagai penggerak masyarakat, tidak serta-merta menggunakan
rasional yang terkadang bertindak semena-mena. Oleh karena itu, untuk menanamkan
intuisi diperlukan pemahaman keagamaan yang kuat sehingga mampu mengekspresikan
agama dalam hidupnya.
Ali Syari’ati ingin menawarkan gagasan kemanusiaan sendiri
dalam butir-butir pemikiran sosiologisnya. Sosiologi mazhab Syari’ati
pertama-pertama mendefinisikan apa yang dikenalnya sebagai realitas masyarakat;
dan kedua, bagaimana ia mengetahuinya dari sisi-pandang intelektual dan
teologis. Dalam proyek pandangan sosial mazhab pemikirannya, pemikiran yang
dihasilkan ingin dibangun tetap dengan tanggungjawab mengemban komitmen pada
mayarakat berdasarkan teologisnya. Realitas masyarakat akan dilihat
tidak sekedar masalah analisis tentang masyarakat tanpa tujuan[12].
Ummah
Sebagai Masyarakat Ideal
Dalam proyek ilmiahnya, Ia
justru ingin meletakkan sosiologi harus mengarah pada tujuan-tujuan yang
diyakininya. Walhasil, ilmu-di samping mencari kebenaran apapun secara
objektif– juga harus dipaksa mencari hasil-hasil yang direncanakan, yang
melayani serta meneguhkan sistem keyakinan. Konsep-konsep kemanusiaan dan
kemasyarakatan yang dianggap Barat sebagai objektif sekalipun tidak menutup
pintu bahwa terdapat agenda tersembunyi di baliknya. Untuk itulah, seorang
ilmuwan Islam juga harus bangga menegaskan perspektif Islamnya asalkan hasil
pemikirannya memang menjadi kebaikan bagi kemanusiaan.[13]
Masyarakat dalam
Islam dinamakan ummah. Kata tunggal ummah menggantikan segala
konsep pengkelompokkan manusia atau masyarakat seperti “masyarakat”, “bangsa”,
“ras”, “suku” dan “klan”. Ia merupakan sebuah kata dengan semangat progresif
dan menyiratkan sisi sosial yang dinamis, berkomitmen dan ideologis. Kata ummah
berasal dari akar kata amm yang memiliki pengertian jalan dan tujuan. Ummah,
karenanya, suatu masyarakat yang di dalamnya sejumlah individu yang memiliki
keimanan dan tujuan bersama, melangkah bersama sejalan dengan tujuan untuk
memajukan, dan bergerak menuju tujuan bersama mereka.
Walaupun
ungkapan-ungkapan lain yang menunjukkan pengelompokan-pengelompokkan manusia
telah menjadi kesatuan darah atau tanah serta berbagai manfaat materi sebagai
kriteria dari masyarakat, Islam dengan pemilik kata ummah telah menjadi
tanggung jawab intelektual dan berbagai gerakan menuju tujuan bersama yang
merupakan dasar dari filsafat sosialnya.
Sistem
sosialnya didasarkan pada persamaan hak, keadilan, dan kepemilikan oleh manusia
di atas kebangkitan kembali “sistem Habil”, kesetaraan masyarakat dan juga persaudaraan
masyarakat tanpa kelas. Ini merupakan prinsip fundamental, tetapi dia bukan
tujuan sebagaimana dalam sosialisme Barat yang telah mempertahankan pandangan
kaum borjuis Barat. Filsafat politik dan bentuk rezim dari ummah bukanlah
demokrasi para pemimpin, bukanlah liberalisme tidak bertanggung jawab dan tanpa
arah yang menjadi alat permainan dari kekuatan-kekuatan sosial yang berlaga,
bukan aristokrasi busuk, bukan kediktatoran anti rakyat. Ia sebaliknya meliputi
“kesucian kepemimpinan”, kepemimpinan yang berkomitmen dan revolusioner,
bertanggung jawab bagi gerakan dan pertumbuhan masyarakat atas dasar
pandangannya dan ideologi, serta bagi perwujudan nasib manusia ilahi dalam
rencana penciptaan. Inilah makna yang benar dari Imamah.[14]
[1] Sekar
Ayu Aryani, “Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan (Studi Kasus Mahasiswa Salah Satu Perguruan
Tinggi Negeri di DIY”, Religi, Vol. XI, No. 1, Januari 2015, hal.
59
[2] Ali
Syariati, Sosiologi Islam Pandangan
Dunia Islam Dalam Kajian Sosilogi untuk Gerakan Sosial Baru , terj. Arif
Mulyadi (Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2017), hal. 163
[3] Sekar
Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku
Keagamaan (Studi Kasus Mahasiswa Salah Satu Perguruan Tinggi Negeri di DIY, Religi, Vol. XI, No. 1, Januari 2015,
hal. 61
[4] Sangkot
Nasution, “Ali Syari’ati dan
Rushan Fekr: Studi Tokoh dalam Penelitian Kepustakaan”, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sumatera Utara Medan, hal 66.
[5] Ernita
Dewi , “Pemikiran Filosofi Ali
Syari’ati”, Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012, hal
233
[6] Ali
Syariati, Sosiologi Islam Pandangan
Dunia Islam Dalam Kajian Sosilogi untuk Gerakan Sosial Baru , terj. Arif
Mulyadi (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2017), hal. 14.
[7] Ali
Rahnema, Ali Syari’ati Biografi
Politik Intelektual Revolusioner, terj. (Jakarta : Penerbit Erlangga,
2002), hal. 219
[8] Ali
Syariati, Agama Versus Agama,
terj. (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994), hal.36
[9] Ali
Rahnema, Ali Syari’ati Biografi
Politik Intelektual Revolusioner, hal. 221
[10] Ali
Rahnema, Ali Syari’ati Biografi
Politik Intelektual Revolusioner, hal. 229
[11] Ali
Rahnema, Ali Syari’ati Biografi
Politik Intelektual Revolusioner, hal. 230
[12] Faiq Tobroni, “Pemikiran Ali Syari’ati dalam Sosiologi
(Dari Teologi Menuju Revolusi)”, UII Yogyakarta, Sosiologi Reflektif,
Vol. 10, N0. 1, Oktober 2015, hal. 249
[13] Faiq Tobroni, “Pemikiran Ali Syari’ati dalam Sosiologi
(Dari Teologi Menuju Revolusi)”, UII Yogyakarta, Sosiologi Reflektif, Vol. 10, N0. 1, Oktober 2015, hal 250
[14] Ali
Syariati, Sosiologi Islam Pandangan
Dunia Islam Dalam Kajian Sosilogi untuk Gerakan Sosial Baru, terj. Arif
Mulyadi (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2017), hal. 175-176.