Lamunan Bisu

Jumat, 25 Mei 2018

Orientasi, Sikap Dan Perilaku Keagamaan Ali Syariati

Oleh: 
Moh Anshory Lubis
Lalu Nabil Uzdy Mubarok
Difa Aidatul F
Orientasi keagamaan yang dipahami sebagai pemaknaan seseorang terhadap agamanya, dalam konteks hubungan antar umat beragama dapat mendorong seseorang yang beragama dalam dua kecenderungan; menjadi pribadi yang damai dan bersahabat atau menjadi pribadi yang menyimpan prasangka (prejudice) dan rasa permusuhan. Orientasi keagamaan ini selanjutnya dapat mengarahkan individu pada dua sikap pula, yang pertama sikap inklusif, moderat, dan respek terhadap keyakinan yang berbeda, sedangkan yang kedua adalah sikap eksklusif dan keras atau radikal. Demikian pula halnya kedua sikap tersebut pada gilirannya dapat mempengaruhi cara individu tersebut berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, termasuk ketika berinteraksi dengan orang lain, baik yang seagama maupun berbeda agama.[1]
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDzO8eQrJ2y92w-WTZkysQdH4lpyC2jJT57GtFXXwCVt8ciLY3OmohgdiwyPpQVak4ZxqbOErLOJDXGQ9957YN-hM7cmLDkpWsQ2s4FqBa2Y3K2T_1DugMC_MFotRm8oCT8lLYVa1WkUk/s1600/2+(1).jpg
Umat beragama cenderung terjebak dalam memahami agama secara definitif dan aplikatif, sedangkan unsur universal yang bisa dibawa dari zaman kezaman tidak menjadi hal paling fundamental yang dapat diambil dan aktualkan dalam kehidupan, Agama sebagai pegangan hidup yang seharusnya tidak hanya menjadi simbolik bagi pemeluknya. Walaupun pada tataran memahami agama tentu setiap umat beragama mempunyai orientasi agama berbeda-beda, tergantung pada pola pikir, sosial, budaya, politik dan ekonomi.
Ali Syariati memahami orientasi manusia, utamanya umat beragama pada dua struktur yang ada dalam seluruh masyarakat manusia-struktur Qabil dan struktur Habil.[2] Habil dikenal dengan ekspresi lembut dalam bersosial dan mementingkan sesamanya serta lebih mementingkan unsur kemanusiaan dan bersikap inklusif. Sedangkan Qobil dikenal dengan sosok frontal atau lebih pada ekslusifisme dalam bertidak.
Kerangka Teori
 Orientasi Beragama menurut Polutzian secara definitif merujuk pada makna iman atau agama dalam kehidupan seseorang. Mengingat beragamnya makna iman bagi manusia, maka secara garis besar Orientasi Beragama kemudian dibedakan dalam dua kategori, yaitu Orientasi Intrinsik dan Orientasi Ekstrinsik. Orientasi intrinsik adalah orang yang hidup berdasarkan agama sementara, ekstrinsik adalah orang yang hidup dengan menggunakan (memanfaatkan) agama.[3] Inilah yang kami dipahami bahwa orientasi keberagamaan Ali Syariati cenderung pada keagamaan ekstrinsik
Orientasi keagamaan ekstrinsik Ali Syariati dipahami sebagai kaum intelakual (Rushan Fekr), yakni individu-individu yang memiliki tanggung jawab dan misi sosial. Mereka bukanlah intelektual. Orang semacam ini mungkin saja dapat atau tidak dapat menjadi “Orang yang tercerahkan” (Rushan Fekr). Sebaliknya seseorang mungkin bukan golongan intelektual, tetapi ia tetap dianggap sebagai orang yang tercerahkan (Rushan Fekr).[4] Agama yang memiliki nilai universal seharusnya mampu memberi ketenangan baik internal diri atau sosial, tugas kaum intelektual adalah sekalipun ia cakap dan mempu membuat harmoni terhadap dirinya, namun ia mempunyai tanggungan dalam sosialnya. Maksudnya, harmonisnya dalam masyarakat harusnya menjadi tanggung jawab kaum intelektul, baik menertibkan masyarakat dan berfikir lebih maju.
Biografi
Ali Syari‟ati dilahirkan pada 1933 di Mazinan dekat kota Sabzivar, tepi gurun pasir Dast-I Kavir, dengan nama lengkap Ali Syari’ati Mazinani. Mazinan merupakan salah satu wilayah dalam propnsi Khurazan negeri Iran. Namanya pernah diganti dengan identitas lain, untuk menghindari pencarian pihak inteligen yang mencatat nama Syariati sebagai tokoh yang menentang pemerintahan.[5] Syari’ati dilahirkan dari kalangan keluarga tokoh agama di Iran. Moyangnya Allama Bahmanamadi mengajarkan Ilmu Kalam, Filsafat, dan Fiqh kepada Akhun Hakim; kakeknya dari pihak ibu. Pamannya juga seorang tokoh agama, merupakan murid seorang ulama mahsyur Adip Nisyapuri. Ayahnya Aqa Muhammad Taqi Syari’ati seorang guru besar, mujtahid dan pendiri “Pusat Da’wah Islam” di Mashad dan salah seorang pemuka gerakan intelektual Islam di Iran.[6]
Pengakuan Ali Syariati bahwa pada tahun 1964 kemunculan gnostisisme yang telah dialami sejak kanak-kanak, pada akhirnya menjadi sebuah halilintar yang mentransformasikan hidupnya dan memikatnya pada sufisme.[7] Ali Syariati percaya bahwa agama monoteisme merupakan agama revolusioner, menurutnya, agama revolusionir adalah agama yang mampu membuat individu beriman padanya, termaktub dalam pengetahuan dan teks sucinya. Maksudnya agama revolusioner adalah agama yang mampu dikritik dari sisi materil, spritual dan sosial. Menurutnya agama monoteisme ia tidak memperlihatkan ketidakpedulian terhadap apa yang ada di hadapannya; suatu revolusi suatu perhambaan terhadap sang pencipta, yaitu yang menyebabkan penciptaan, serta ketundukan padanya [8]
Ali Syariati menyadari dari hasil observasi dan mengapresiasi karya agung sang pencipta. Dalam hubungan eratnya dengan alam, dia datang untuk menemukan kembali intelegensinya. Dengan seperangkat organ-organ persepsi yang berbeda, dia datang untuk memiliki visi baru, melihat apa yang bisa terlihat sebelumnya. Ali Syariati menjadi terseret secara total dalam kesucian, kemuliaan dan kecantikan Tuhan yang membuatnya jatuh cinta.[9] Pemahaman keagamaan inilah yang menyebabkan dia berpadangan bahwa agama menjadi titik sentral untuk menjawab permasalahan yang timbul dan memecahkan masalah dalam masyarakat.  
Perkembangan  Keagamaan Ali Syariati
            Sebagai seorang sosialis, Ali Syariati percaya bahwa umat Islam seharusnya menggunakan hati dalam bertindak dan lebih dihargai daripada otak dan bagian dalam lebih mulia daripada bagian luar.[10] Mencari Tuhan merupakan subjek dan agama hanyalah predikat, ia menyatakan pilihannya pada tarikat sufi menuju Tuhan daripada mazhab pemikiran yang mainstrem untuk mendapatkan belaian Tuhan melalui penyerahan kepadanya dan melaksanakan peraturan dan regulasi Islam.[11] Maksudnya dalam wacana sosial-masyarakat seharusnya manusia mementingkan intuisi tampil sebagai penggerak masyarakat, tidak serta-merta menggunakan rasional yang terkadang bertindak semena-mena. Oleh karena itu, untuk menanamkan intuisi diperlukan pemahaman keagamaan yang kuat sehingga mampu mengekspresikan agama dalam hidupnya.
Ali Syari’ati ingin menawarkan gagasan kemanusiaan sendiri dalam butir-butir pemikiran sosiologisnya. Sosiologi mazhab Syari’ati pertama-pertama mendefinisikan apa yang dikenalnya sebagai realitas masyarakat; dan kedua, bagaimana ia mengetahuinya dari sisi-pandang intelektual dan teologis. Dalam proyek pandangan sosial mazhab pemikirannya, pemikiran yang dihasilkan ingin dibangun tetap dengan tanggungjawab mengemban komitmen pada mayarakat berdasarkan teologisnya. Realitas masyarakat akan dilihat tidak sekedar masalah analisis tentang masyarakat tanpa tujuan[12].
Ummah Sebagai Masyarakat Ideal
            Dalam proyek ilmiahnya, Ia justru ingin meletakkan sosiologi harus mengarah pada tujuan-tujuan yang diyakininya. Walhasil, ilmu-di samping mencari kebenaran apapun secara objektif– juga harus dipaksa mencari hasil-hasil yang direncanakan, yang melayani serta meneguhkan sistem keyakinan. Konsep-konsep kemanusiaan dan kemasyarakatan yang dianggap Barat sebagai objektif sekalipun tidak menutup pintu bahwa terdapat agenda tersembunyi di baliknya. Untuk itulah, seorang ilmuwan Islam juga harus bangga menegaskan perspektif Islamnya asalkan hasil pemikirannya memang menjadi kebaikan bagi kemanusiaan.[13]
Masyarakat dalam Islam dinamakan ummah. Kata tunggal ummah menggantikan segala konsep pengkelompokkan manusia atau masyarakat seperti “masyarakat”, “bangsa”, “ras”, “suku” dan “klan”. Ia merupakan sebuah kata dengan semangat progresif dan menyiratkan sisi sosial yang dinamis, berkomitmen dan ideologis. Kata ummah berasal dari akar kata amm yang memiliki pengertian jalan dan tujuan. Ummah, karenanya, suatu masyarakat yang di dalamnya sejumlah individu yang memiliki keimanan dan tujuan bersama, melangkah bersama sejalan dengan tujuan untuk memajukan, dan bergerak menuju tujuan bersama mereka.
Walaupun ungkapan-ungkapan lain yang menunjukkan pengelompokan-pengelompokkan manusia telah menjadi kesatuan darah atau tanah serta berbagai manfaat materi sebagai kriteria dari masyarakat, Islam dengan pemilik kata ummah telah menjadi tanggung jawab intelektual dan berbagai gerakan menuju tujuan bersama yang merupakan dasar dari filsafat sosialnya.
Sistem sosialnya didasarkan pada persamaan hak, keadilan, dan kepemilikan oleh manusia di atas kebangkitan kembali “sistem Habil”, kesetaraan masyarakat dan juga persaudaraan masyarakat tanpa kelas. Ini merupakan prinsip fundamental, tetapi dia bukan tujuan sebagaimana dalam sosialisme Barat yang telah mempertahankan pandangan kaum borjuis Barat. Filsafat politik dan bentuk rezim dari ummah bukanlah demokrasi para pemimpin, bukanlah liberalisme tidak bertanggung jawab dan tanpa arah yang menjadi alat permainan dari kekuatan-kekuatan sosial yang berlaga, bukan aristokrasi busuk, bukan kediktatoran anti rakyat. Ia sebaliknya meliputi “kesucian kepemimpinan”, kepemimpinan yang berkomitmen dan revolusioner, bertanggung jawab bagi gerakan dan pertumbuhan masyarakat atas dasar pandangannya dan ideologi, serta bagi perwujudan nasib manusia ilahi dalam rencana penciptaan. Inilah makna yang benar dari Imamah.[14]




[1] Sekar Ayu Aryani, “Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan (Studi Kasus Mahasiswa Salah Satu Perguruan Tinggi Negeri di DIY”, Religi, Vol. XI, No. 1, Januari 2015, hal. 59
[2] Ali Syariati,  Sosiologi Islam Pandangan Dunia Islam Dalam Kajian Sosilogi untuk Gerakan Sosial Baru , terj. Arif Mulyadi (Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2017), hal. 163
[3] Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan (Studi Kasus Mahasiswa Salah Satu Perguruan Tinggi Negeri di DIY, Religi, Vol. XI, No. 1, Januari 2015, hal. 61
[4] Sangkot Nasution,Ali Syari’ati dan Rushan Fekr: Studi Tokoh dalam Penelitian Kepustakaan”,  Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumatera Utara Medan, hal 66.
[5] Ernita Dewi , “Pemikiran Filosofi Ali Syari’ati”, Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012, hal 233
[6] Ali Syariati,  Sosiologi Islam Pandangan Dunia Islam Dalam Kajian Sosilogi untuk Gerakan Sosial Baru , terj. Arif Mulyadi (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2017), hal. 14.
[7] Ali Rahnema,  Ali Syari’ati Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2002), hal. 219
[8] Ali Syariati,  Agama Versus Agama, terj. (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994), hal.36
[9] Ali Rahnema,  Ali Syari’ati Biografi Politik Intelektual Revolusioner, hal. 221
[10] Ali Rahnema,  Ali Syari’ati Biografi Politik Intelektual Revolusioner, hal. 229
[11] Ali Rahnema,  Ali Syari’ati Biografi Politik Intelektual Revolusioner, hal. 230
[12] Faiq Tobroni, “Pemikiran Ali Syari’ati dalam Sosiologi (Dari Teologi Menuju Revolusi)”, UII Yogyakarta, Sosiologi Reflektif, Vol. 10, N0. 1, Oktober 2015, hal. 249
[13] Faiq Tobroni, “Pemikiran Ali Syari’ati dalam Sosiologi (Dari Teologi Menuju Revolusi)”, UII Yogyakarta, Sosiologi Reflektif, Vol. 10, N0. 1, Oktober 2015, hal 250
[14] Ali Syariati,  Sosiologi Islam Pandangan Dunia Islam Dalam Kajian Sosilogi untuk Gerakan Sosial Baru, terj. Arif Mulyadi (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2017), hal. 175-176.