Membutuhkan
atau berbagi terhadap sesama merupakan
sifat dasar manusia dalam hidupanya, saling membutuhkan telah menjadi satu
kebutuhan yang selalu menghiasi dalam kehidupan manusia, sehingga muncul
istilah saling berbagi antar sesama atau berderma. Pada hakikatnya berderma
adalah sifat manusia yang tumbuh dari sifat sayang. Maksudnya, memberikan amal dan berbagi pada yang lain
merupakan suatu bentuk perbuatan mulia dalam kehidupan manusia, yang tumbuh
dari rasa peduli terhadap sesama yang bermuara dari rasa peduli dan ketukan
hati untuk berbagi.
Sebagai
mahluk sosial, manusia memliki kecenderungan untuk berbagi kesesamanya, budaya
berderma atau memberi (culture of giving), menjadi tradisi agama yang
biasa disebut dengan kariti adalah didasarkan oleh pandangan untuk
mempromosikan keadilan sosial dan kebaikan publik yang bersumber dari agama.
Namun dalam perkembanganya, berderma ini menjadi satu konsep yang lebih pelik
atau yang biasa disebut dengan istilah ‘filantropi’, banyak dari akademisi mencoba menggali
terkait konsep ideal filantropi.
Kata filantropi (dalam bahasa inggris philanthropy) secara
etimologis berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang artinya
cinta dan anthropos yang berarti manusia.[1]
filantropi berarti “cinta kepada kemanusiaan” atau “charity” atau sering
diterjemahkan dengan “kedermawanan”.[2]
Dalam perkembanganya filantropi memiliki pemaknaan yang merujut pada kecintaan
pada sesama dan unsur kemanusiaan, yakni peduli pada kondisi manusia lainya
dalam upaya menciptakan kehidupan sosial yang lebih bermakna da menyayangi
sesama, serta mampu tanggung jawab atas orang lain yang membutuhkan aluran tangan
sesamanya.
Istilah filantropi, dalam bahasa Indonesia
dimaknai kedermawanan dan cinta kasih terhadap sesama. Istilah filantropi belum terlalu dikenal oleh
khalayak luas, secara praktis kegiatan filantropi telah menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Islam Indonesia. Istilah filantropi
merupakan konsep filosofis yang dirumuskan dalam rangka memaknai hubungan
antar-manusia dan rasa cinta seseorang atau sekelompok orang kepada sesamanya.[3] Dawam
raharjo memaparkan filantropi adalah lebih mendekati pada filosofis, khususnya
filsafat moral, dan juga praktek yang bersifat sosial. [4]
Maksudnya, sebagai suatu konsep filosofis yang memiliki makna dalam tataran
aksiologi, filantropi seharusnya menumbuhakn etika dan estetika yang mampu mengayomi
sesama manusia tanpa memandang latar belakang orang tersebut, karena pada
hakikatnya konsep filosofis filantropi mencoba berbuat kebajikan dengan cara
yang lebih lembut dan penuh kasih sayang terhadap sesama.
Filantropi sedikit berbeda dengan tradisi
memberi dalam Islam [seperti zakat, infaq maupun shadaqah]. Filantropi
lebih bermotif moral yakni berorientasi pada ‘kecintaan terhadap manusia’,
sementara dalam Islam, basis filosofisnya adalah ‘kewajiban’ dari ‘ Yang di
Atas’ untuk mewujudkan keadilan sosial di muka bumi.[5] Walaupun
tidak menutup kemungkinan bahwa spirit agama munumbukan adanya praktek
filantropi, namun pada hakikatnya berbagi kesema yang diterapkan oleh agama
(kariti) merupakan lebih pada berbagi kesesama agamanya. Namun filantropi
mencoba tidak lagi memandang fraksi-fraksi antar manusia. Rasa cinta
diekspresikan sebagai budaya berderma yang biasa melekat dalam masyarakat atas
kepedulian sosial dan solidaritas agar mampu terciptanya relasi antara yang
kuat dan yang lemah serta tidak lagi terjadi dikotomi antara keduanya.
Menilik dari sejarahnya, sikap solidaritas
untuk mencintai sesama manusia ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Awalnya
merupakan sebuah sikap yang erat kaitannya dengan semangat kebebasan manusia.
Dalam cerita dewa-dewa Yunani, dikisahkan bahwa tirani dewa tertinggi Yunani,
yaitu Zeus terus membelenggu manusia dalam kondisi bodoh, selalu dirundung
ketakutan, kegelapan, dan tak berdaya. Hingga akhirnya, seorang dewa bernama Promotheus
pun turun tangan menanggapi kondisi yang terjadi. Ia menyelamatkan manusia dan
memberi mereka api dan harapan agar terlepas dari kondisi yang mengenaskan
tersebut. Kecintaan Promotheus pada manusia ini membuat awal munculnya sebuah
rasa solidaritas untuk menolong pihak lain yang sedang berada dalam kondisi
susah. Semangat perbaikan peradaban manusia dan menolongnya dengan memanfaatkan
ilmu pengetahuan dan teknologi pun terus lestari hingga kini.[6]
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa tujuan dari kegiatan
filantropi, saat ini dimaknai sebagai gerakan/upaya menciptakan kebaikan atau
kesejahteraan bersama (the public good), dan dampak yang diharapkan
dalam sebuah gerakan/aktivisme filantropi dalam pengertian „kerelawanan‟ dan
„kedermawanan‟ adalah terciptanya perubahan kolektif (collective change)
dari sebuah komunitas.[7]
Oleh karena itu, memang harus dibedakan filantropi yang bersumber dari keadilan
sosial sebagai reaksi terhadap kondisi sosial tertentu yang menimbulkan pemikiran
yang rasional dan sistemik, sehingga mewujudkan keadilan sosial, dengan konsep
keagamaan yang bersifat individual, karena yang terakhir ini menyangkut juga
pahala dan dosa, yang pada akhirnya menyangkut kepercayaan kepada tuhan. Jadi,
ada dua macam filantropi. Filantropi yang besumber dari doktrin keagamaan
inilah yang kemudian menimbulkan kariti [8]
jika dilihat berdasarkan sifatnya, dikenal dua bentuk filantropi,
yaitu filantropi tradisional dan filantropi untuk keadilan sosial. Filantropi
tradisional adalah filantropi yang berbasis karitas. Praktek filantropi
tradisional berbentuk pemberian untuk kepentingan pelayanan sosial, misalkan
pemberian langsung para dermawan untuk kalangan miskin dalam rangka memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Namun, kelemahannya adalah tidak bisa mengembangkan
taraf kehidupan masyarakat miskin atau dalam istilah sehari-hari hanya memberi
ikan tapi tidak memberi pancing (kail). Berbeda dengan bentuk filantropi untuk
keadilan sosial (social justice philanthropy), bentuk filantropi seperti ini
dapat menjembatani jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Jembatan
tersebut diwujudkan dengan upaya memobilisasi sumber daya untuk mendukung
kegiatan yang menggugat ketidakadilan struktur yang menjadi penyebab
langgengnya kemiskinan.[9]
Dinamika filantropi Islam di Indonesia dapat digambarkan dari
beberapa periode sejarahnya. Sejak awal abad ke-20, kemunculan
organisasi-organisasi Islam baik dalam lingkaran modernis maupun tradisionalis
diwarnai oleh pelbagai aktivitas sosial. [10]
jika yang dibicarakan adalah keadilan sebagai fenomina sosiologis yang pasti
akan berimplikasi pada tindakan filantropi maka keadilan itu sudah tidak lagi
bersifat individual, melainkan sosial bahkan struktural. Maka disebutlah dengan
keadilan sosial yang pelaksanaannya tidak lagi tergantung pada kehendak
pribadi, atau pada kebaikan-kebaikan individu yang bersikap adil, tetapi sudah
bersifat struktural.[11]
Potensi filantropi Islam Indonesia sangat besar
mengingat jumlah penganut Muslim Indonesia yang juga amat besar—bahkan terbesar
di dalam cakupan wilayah sebuah negara mana pun di muka bumi. Menurut Sensus
Penduduk 2010, kaum Muslimin mencapai 88,2 persen dari keseluruhan penduduk
Indonesia yang kini diperkirakan 240 juta jiwa. Lebih dari separuh kaum
Muslimin Indonesia dapat diasumsikan termasuk ke dalam kelas menengah
yang—menurut laporan Kompas, beberapa waktu lalu—mencapai sekitar 152 juta
jiwa.
Dalam konteks filantropi Islam Indonesia pada
perspektif komparatif, menarik mengutip beberapa hasil survei Global@dvisor
bertajuk ”Views on Globalisation and Faith” yang dilakukan Ipsos MORI di 24
negara pada April 2011. Survei itu melibatkan hampir 20.000 responden
berdasarkan garis keagamaan: Kristiani (Katolik dan Protestan di 19 negara);
Islam di tiga negara (Indonesia, Arab Saudi, dan Turki); Hindu (India); serta
Buddha di tiga negara (China, Jepang, dan Korea Selatan).
Terkait filantropi Islam, juga menarik mengutip
hasil survei tentang agama sebagai motivator dalam melakukan pemberian (giving)
dan berbagi (sharing), yaitu kedermawanan dalam bentuk pemberian waktu dan uang
—untuk membantu mereka yang membutuhkan. Hasilnya, di antara penganut Kristiani
secara keseluruhan 24 persen, Muslim 61 persen, Buddhis 20 persen, dan Hindu 33
persen. Ternyata kaum Muslim paling dermawan —dan penting dicatat—di tiga
negara yang disurvei itu atas dasar motivasi agama adalah Muslim Indonesia (91
persen), diikuti Muslim Arab Saudi (71 persen), dan Muslim Turki (33 persen).
Menarik pula, 83 persen Muslim Indonesia di bawah usia 35 tahun percaya agama
merupakan motivator lebih besar dalam memberi dan berbagi. Ini adalah
persentase tertinggi di dunia. Selanjutnya Arab Saudi 78 persen, Afrika Selatan
(51 persen), India (42 persen), AS (41 persen), Turki (39 persen), Brasil (32
persen), Korea Selatan (31 persen), Meksiko dan Australia masing-masing 30
persen. Sisanya di bawah 30 persen dan Jepang terbawah dengan 12 persen saja.[12]
Hilman Latief , Politik Filantropi islam di Indonesia,
Yogyakarta: Ombak, 2013
Azyumardi Azra – Dawam Rahardjo, Berderma untuk Semua,
Jakarta: Teraju Mizan, 2003
Nur Kholis. dkk , Potret Filantropi Islam Potret Filantropi
Islamdi Propinsi Di Propinsi Di Propinsi Di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, La-Riba, vol. Vii, no. 1, Juli 2013
Agung Sasongko, Melacak
Sejarah Filantropi, Jumat 28 July 2017
16:30 WIB,
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/17/07/28/otsja0313-melacak-sejarah-filantropi, diakses pada jam 13:45, 18 april 2018.
Gerakan
Filantropi Islam di Indonesia, 16 April 2012.
00:00:00 WIB, http://interfidei.or.id/detailkegiatan-18-gerakan-filantropi-islam-di-indonesia.html, diakses pada 13:59, 18 April 2018.
Azyumardi Azra, Filantropi
untuk Kohesi Sosial, 18 Agustus 2012, 16:54
WIB, https://nasional.kompas.com/read/2012/08/18/1654224/Filantropi.untuk.Kohesi.Sosial, diakses pada 07:30, 19 April 2018.
[1] Agung Sasongko, Melacak Sejarah Filantropi, Jumat 28 July 2017 16:30 WIB, http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/17/07/28/otsja0313-melacak-sejarah-filantropi, diakses pada jam 13:45, 18 april 2018.
[12] Azyumardi Azra, Filantropi untuk Kohesi Sosial, Kompas.com - 18/08/2012, 16:54 WIB, https://nasional.kompas.com/read/2012/08/18/1654224/Filantropi.untuk.Kohesi.Sosial, diakses pada 07:30, 19 April 2018.
[2] Gerakan Filantropi Islam di Indonesia, 16 April 2012.
00:00:00 WIB, http://interfidei.or.id/detailkegiatan-18-gerakan-filantropi-islam-di-indonesia.html, diakses pada
13:59, 18 April 2018.
[3] Hilman Latief , Politik Filantropi islam
di Indonesia, (yogyakarta: Ombak, 2013), hal. 143
[4] Azyumardi Azra – Dawam Rahardjo, Berderma
untuk Semua, (Jakarta: Teraju Mizan, 2003), Hal. xxxiii
[5] Gerakan Filantropi Islam di Indonesia, 16 April 2012.
00:00:00 WIB, http://interfidei.or.id/detailkegiatan-18-gerakan-filantropi-islam-di-indonesia.html, diakses pada
13:59, 18 April 2018.
[6] Melacak
Sejarah Filantropi, Jumat 28 July 2017 16:30 WIB, http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/17/07/28/otsja0313-melacak-sejarah-filantropi, diakses pada
jam 13:45, 18 april 2018.
[7] Hilman Latief , Politik Filantropi islam di Indonesia,
hal. 148
[8] Azyumardi Azra
– Dawam Rahardjo, Berderma untuk Semua, hal. xxxv
[9]
Nur Kholis. dkk , Potret Filantropi Islam Potret Filantropi Islamdi Propinsi
Di Propinsi Di Propinsi Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, La-Riba,
vol. Vii, no. 1, Juli 2013
[10] Hilman Latief
, Politik Filantropi islam di Indonesia, hal. 145
[11] Azyumardi Azra
– Dawam Rahardjo, Berderma untuk Semua, hal. 8