Lamunan Bisu

Rabu, 25 April 2018

Filantropi Agama


Membutuhkan atau berbagi  terhadap sesama merupakan sifat dasar manusia dalam hidupanya, saling membutuhkan telah menjadi satu kebutuhan yang selalu menghiasi dalam kehidupan manusia, sehingga muncul istilah saling berbagi antar sesama atau berderma. Pada hakikatnya berderma adalah sifat manusia yang tumbuh dari sifat sayang. Maksudnya,  memberikan amal dan berbagi pada yang lain merupakan suatu bentuk perbuatan mulia dalam kehidupan manusia, yang tumbuh dari rasa peduli terhadap sesama yang bermuara dari rasa peduli dan ketukan hati untuk berbagi.
http://beritamks.com/bm/wp-content/uploads/2015/07/orang_dermawan-860x450.png
Sebagai mahluk sosial, manusia memliki kecenderungan untuk berbagi kesesamanya, budaya berderma atau memberi (culture of giving), menjadi tradisi agama yang biasa disebut dengan kariti adalah didasarkan oleh pandangan untuk mempromosikan keadilan sosial dan kebaikan publik yang bersumber dari agama. Namun dalam perkembanganya, berderma ini menjadi satu konsep yang lebih pelik atau yang biasa disebut dengan istilah ‘filantropi’,  banyak dari akademisi mencoba menggali terkait konsep ideal filantropi.
Kata filantropi (dalam bahasa inggris philanthropy) secara etimologis berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang artinya cinta dan anthropos yang berarti manusia.[1] filantropi berarti “cinta kepada kemanusiaan” atau “charity” atau sering diterjemahkan dengan “kedermawanan”.[2] Dalam perkembanganya filantropi memiliki pemaknaan yang merujut pada kecintaan pada sesama dan unsur kemanusiaan, yakni peduli pada kondisi manusia lainya dalam upaya menciptakan kehidupan sosial yang lebih bermakna da menyayangi sesama, serta mampu tanggung jawab atas orang lain yang membutuhkan aluran tangan sesamanya.
Istilah filantropi, dalam bahasa Indonesia dimaknai kedermawanan dan cinta kasih terhadap sesama.  Istilah filantropi belum terlalu dikenal oleh khalayak luas, secara praktis kegiatan filantropi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Islam Indonesia. Istilah filantropi merupakan konsep filosofis yang dirumuskan dalam rangka memaknai hubungan antar-manusia dan rasa cinta seseorang atau sekelompok orang kepada sesamanya.[3] Dawam raharjo memaparkan filantropi adalah lebih mendekati pada filosofis, khususnya filsafat moral, dan juga praktek yang bersifat sosial. [4] Maksudnya, sebagai suatu konsep filosofis yang memiliki makna dalam tataran aksiologi, filantropi seharusnya menumbuhakn etika dan estetika yang mampu mengayomi sesama manusia tanpa memandang latar belakang orang tersebut, karena pada hakikatnya konsep filosofis filantropi mencoba berbuat kebajikan dengan cara yang lebih lembut dan penuh kasih sayang terhadap sesama.
Filantropi sedikit berbeda dengan tradisi memberi dalam Islam [seperti zakat, infaq maupun shadaqah]. Filantropi  lebih bermotif moral yakni berorientasi pada ‘kecintaan terhadap manusia’, sementara dalam Islam, basis filosofisnya adalah ‘kewajiban’ dari ‘ Yang di Atas’ untuk mewujudkan keadilan sosial di muka bumi.[5] Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa spirit agama munumbukan adanya praktek filantropi, namun pada hakikatnya berbagi kesema yang diterapkan oleh agama (kariti) merupakan lebih pada berbagi kesesama agamanya. Namun filantropi mencoba tidak lagi memandang fraksi-fraksi antar manusia. Rasa cinta diekspresikan sebagai budaya berderma yang biasa melekat dalam masyarakat atas kepedulian sosial dan solidaritas agar mampu terciptanya relasi antara yang kuat dan yang lemah serta tidak lagi terjadi dikotomi antara keduanya.
Menilik dari sejarahnya, sikap solidaritas untuk mencintai sesama manusia ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Awalnya merupakan sebuah sikap yang erat kaitannya dengan semangat kebebasan manusia. Dalam cerita dewa-dewa Yunani, dikisahkan bahwa tirani dewa tertinggi Yunani, yaitu Zeus terus membelenggu manusia dalam kondisi bodoh, selalu dirundung ketakutan, kegelapan, dan tak berdaya. Hingga akhirnya, seorang dewa bernama Promotheus pun turun tangan menanggapi kondisi yang terjadi. Ia menyelamatkan manusia dan memberi mereka api dan harapan agar terlepas dari kondisi yang mengenaskan tersebut. Kecintaan Promotheus pada manusia ini membuat awal munculnya sebuah rasa solidaritas untuk menolong pihak lain yang sedang berada dalam kondisi susah. Semangat perbaikan peradaban manusia dan menolongnya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi pun terus lestari hingga kini.[6]
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa tujuan dari kegiatan filantropi, saat ini dimaknai sebagai gerakan/upaya menciptakan kebaikan atau kesejahteraan bersama (the public good), dan dampak yang diharapkan dalam sebuah gerakan/aktivisme filantropi dalam pengertian „kerelawanan‟ dan „kedermawanan‟ adalah terciptanya perubahan kolektif (collective change) dari sebuah komunitas.[7] Oleh karena itu, memang harus dibedakan filantropi yang bersumber dari keadilan sosial sebagai reaksi terhadap kondisi sosial tertentu yang menimbulkan pemikiran yang rasional dan sistemik, sehingga mewujudkan keadilan sosial, dengan konsep keagamaan yang bersifat individual, karena yang terakhir ini menyangkut juga pahala dan dosa, yang pada akhirnya menyangkut kepercayaan kepada tuhan. Jadi, ada dua macam filantropi. Filantropi yang besumber dari doktrin keagamaan inilah yang kemudian menimbulkan kariti [8]
jika dilihat berdasarkan sifatnya, dikenal dua bentuk filantropi, yaitu filantropi tradisional dan filantropi untuk keadilan sosial. Filantropi tradisional adalah filantropi yang berbasis karitas. Praktek filantropi tradisional berbentuk pemberian untuk kepentingan pelayanan sosial, misalkan pemberian langsung para dermawan untuk kalangan miskin dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, kelemahannya adalah tidak bisa mengembangkan taraf kehidupan masyarakat miskin atau dalam istilah sehari-hari hanya memberi ikan tapi tidak memberi pancing (kail). Berbeda dengan bentuk filantropi untuk keadilan sosial (social justice philanthropy), bentuk filantropi seperti ini dapat menjembatani jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Jembatan tersebut diwujudkan dengan upaya memobilisasi sumber daya untuk mendukung kegiatan yang menggugat ketidakadilan struktur yang menjadi penyebab langgengnya kemiskinan.[9]
Dinamika filantropi Islam di Indonesia dapat digambarkan dari beberapa periode sejarahnya. Sejak awal abad ke-20, kemunculan organisasi-organisasi Islam baik dalam lingkaran modernis maupun tradisionalis diwarnai oleh pelbagai aktivitas sosial. [10] jika yang dibicarakan adalah keadilan sebagai fenomina sosiologis yang pasti akan berimplikasi pada tindakan filantropi maka keadilan itu sudah tidak lagi bersifat individual, melainkan sosial bahkan struktural. Maka disebutlah dengan keadilan sosial yang pelaksanaannya tidak lagi tergantung pada kehendak pribadi, atau pada kebaikan-kebaikan individu yang bersikap adil, tetapi sudah bersifat struktural.[11]
Potensi filantropi Islam Indonesia sangat besar mengingat jumlah penganut Muslim Indonesia yang juga amat besar—bahkan terbesar di dalam cakupan wilayah sebuah negara mana pun di muka bumi. Menurut Sensus Penduduk 2010, kaum Muslimin mencapai 88,2 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia yang kini diperkirakan 240 juta jiwa. Lebih dari separuh kaum Muslimin Indonesia dapat diasumsikan termasuk ke dalam kelas menengah yang—menurut laporan Kompas, beberapa waktu lalu—mencapai sekitar 152 juta jiwa.
Dalam konteks filantropi Islam Indonesia pada perspektif komparatif, menarik mengutip beberapa hasil survei Global@dvisor bertajuk ”Views on Globalisation and Faith” yang dilakukan Ipsos MORI di 24 negara pada April 2011. Survei itu melibatkan hampir 20.000 responden berdasarkan garis keagamaan: Kristiani (Katolik dan Protestan di 19 negara); Islam di tiga negara (Indonesia, Arab Saudi, dan Turki); Hindu (India); serta Buddha di tiga negara (China, Jepang, dan Korea Selatan).
Terkait filantropi Islam, juga menarik mengutip hasil survei tentang agama sebagai motivator dalam melakukan pemberian (giving) dan berbagi (sharing), yaitu kedermawanan dalam bentuk pemberian waktu dan uang —untuk membantu mereka yang membutuhkan. Hasilnya, di antara penganut Kristiani secara keseluruhan 24 persen, Muslim 61 persen, Buddhis 20 persen, dan Hindu 33 persen. Ternyata kaum Muslim paling dermawan —dan penting dicatat—di tiga negara yang disurvei itu atas dasar motivasi agama adalah Muslim Indonesia (91 persen), diikuti Muslim Arab Saudi (71 persen), dan Muslim Turki (33 persen). Menarik pula, 83 persen Muslim Indonesia di bawah usia 35 tahun percaya agama merupakan motivator lebih besar dalam memberi dan berbagi. Ini adalah persentase tertinggi di dunia. Selanjutnya Arab Saudi 78 persen, Afrika Selatan (51 persen), India (42 persen), AS (41 persen), Turki (39 persen), Brasil (32 persen), Korea Selatan (31 persen), Meksiko dan Australia masing-masing 30 persen. Sisanya di bawah 30 persen dan Jepang terbawah dengan 12 persen saja.[12]
Hilman Latief , Politik Filantropi islam di Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2013
Azyumardi Azra – Dawam Rahardjo, Berderma untuk Semua, Jakarta: Teraju Mizan, 2003
Nur Kholis. dkk , Potret Filantropi Islam Potret Filantropi Islamdi Propinsi Di Propinsi Di Propinsi Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, La-Riba, vol. Vii, no. 1, Juli 2013
Agung Sasongko, Melacak Sejarah Filantropi, Jumat 28 July 2017 16:30 WIB,  http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/17/07/28/otsja0313-melacak-sejarah-filantropi, diakses pada jam 13:45, 18 april 2018.
Azyumardi Azra, Filantropi untuk Kohesi Sosial, 18 Agustus 2012, 16:54 WIB, https://nasional.kompas.com/read/2012/08/18/1654224/Filantropi.untuk.Kohesi.Sosial, diakses pada 07:30, 19 April 2018.

[1] Agung SasongkoMelacak Sejarah FilantropiJumat 28 July 2017 16:30 WIB,  http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/17/07/28/otsja0313-melacak-sejarah-filantropi, diakses pada jam 13:45, 18 april 2018.


[12] Azyumardi AzraFilantropi untuk Kohesi Sosial, Kompas.com - 18/08/2012, 16:54 WIBhttps://nasional.kompas.com/read/2012/08/18/1654224/Filantropi.untuk.Kohesi.Sosial, diakses pada 07:30, 19 April 2018.


[3]  Hilman Latief , Politik Filantropi islam di Indonesia, (yogyakarta: Ombak, 2013), hal. 143
[4]  Azyumardi Azra – Dawam Rahardjo, Berderma untuk Semua, (Jakarta: Teraju Mizan, 2003), Hal.  xxxiii
[6] Melacak Sejarah Filantropi, Jumat 28 July 2017 16:30 WIB,  http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/17/07/28/otsja0313-melacak-sejarah-filantropi, diakses pada jam 13:45, 18 april 2018.
[7] Hilman Latief , Politik Filantropi islam di Indonesia, hal. 148
[8] Azyumardi Azra – Dawam Rahardjo, Berderma untuk Semua, hal. xxxv
[9] Nur Kholis. dkk , Potret Filantropi Islam Potret Filantropi Islamdi Propinsi Di Propinsi Di Propinsi Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, La-Riba, vol. Vii, no. 1, Juli 2013
[10] Hilman Latief , Politik Filantropi islam di Indonesia, hal. 145
[11] Azyumardi Azra – Dawam Rahardjo, Berderma untuk Semua, hal. 8