Lamunan Bisu

Rabu, 11 Oktober 2017

Agama Sebagai Terapi Jiwa (J. G. Jung) dan Aktualisasi Diri (Abraham Malow)

Masalah agama menjadi sangat sensitif akhir-akhir ini, mulai dari keberagamaan hingga yang paling hangat adalah tentang kemanusiaan. Pemahaman tentang suatu agama menjadi sangat penting dalam mengatasi masalah-masalah, mulai dari pendekatan-pendekatan yang digunakan didalam memandang suatu agama agar tidak terjadi adanya pemahaman yang  salah terhadap agama tersebut. Pendekatan psikologi di nilai menjadi suatu jalan keluar agar konflik dalam keberagaman dapat di minimalisir bahkan di tiadakan.
Pada bagian pertama akan dipaparkan tentang konsep yang telah disusun oleh C.G Jung, penemu Psikologi Analitis. Sama seperti Freud, Jung dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan filosofi pada abad ke-19, seperti sebuah aplikasi tentang teori evolusi dalam pengertian kehidupan manusia, penemuan-penemuan dalam arkeologi, ilmu tentang perbandingan budaya manusia. Tetapi Jung berbeda dengan Freud dalam hal pengaturan tentang cara-cara terpenting dalam pemikirannya. Yang pertama, Jung menolak penekanan yang dikemukakan oleh Freud tentang pentingnya kegiatan seksualitas, Ia memiliki pertentangan bahwa kebutuhan seks yang diperlukan oleh manusia adalah satu-satunya kebutuhan yang dimiliki oleh manusia, untuk menyakinkan akan kebenaran hal tersebut, ia melakukan penelitian, yang ternyata manusia itu mempunyai kebutuhan untuk bersosialisasi, untuk makan, untuk beribadah, ataupun juga perlu untuk melakukan pengalaman-pengalaman spiritual lainnya yang lebih spesifik. Jung tidak setuju dengan mekanisme yang dikemukakan oleh Freud, yang mengemukakan tentang sebuah penunjukkan akan kehidupan di dunia [1]; Bagi Jung, tingkah laku manusia itu dikondisikan tidak hanya oleh apa yang telah terjadi di masa lalu tetapi dikondisikan oleh apa yang diimpikan manusia untuk bisa terjadi di masa depan kelak dengan tujuan-tujuan dan aspirasi yang mereka miliki.

Apa yang dikemukakan oleh Jung adalah sebuah tujuan seperti salah satu mekanisme ini : antara kejadian di masa lalu dan antisipasi-antisipasi yang akan dilakukan untuk masa depan akan menentukan tingkah laku manusia. Perspektif seperti ini memberikan petunjuk bagi Jung untuk mengerti arti tentang kehidupan yang berbeda dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Freud. Bagi Freud, kehidupan manusia saling dilibatkan, sangat utama, dalam sebuah pengulangan yang abadi dari permintaan yang menuruti sebuah insting, dan sebuah usaha untuk memuaskan atau memberikan tekanan bagi mereka sendiri; sedangkan bagi Jung, manusia diikat dalam sebuah ketetapan, dan pengembangan sifat kreatif yang dimilikinya.

Tokoh yang kedua adalah Abraham Maslow. Salah satu sumbangan penting Abraham Maslow bagi psikologi modern adalah teorinya tentang aktualisasi-diri (self-actualization). Pembahasan tentang aktualisasi-diri tidak bisa dilepaskan dari teori Maslow tentang tingkat-tingkat kebutuhan. Menurut Maslow kebutuhan-kebutuhan itu adalah faktor-faktor yang mendorong (memotivasi) orang untuk melakukan perbuatan. Kebutuhan tingkat pertama berupa kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan seperti makan, minum, dan hubungan seksual. Tingkat kedua berupa kebutuhan akan rasa aman (safety needs), di mana orang bisa bebas melakukan aktivitasnya tanpa terganggu oleh ancaman-ancaman yang dapat mengincar keselamatannya. Tingkat ketiga adalah kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta (social needs). Pada tingkat ini orang butuh untuk mengikatkan dirinya pada kelompok sosial tertentu dan mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok tersebut. Tingkat keempat adalah kebutuhan akan penghargaan (esteem needs). Kelima, dan yang paling tinggi, adalah kebutuhan akan aktualisasi-diri. Aktualisasi diri dapat diartikan sebagai perkembangan yang paling tinggi dan penggunaan semua bakat, potensi, serta penggunaan semua kualitas dan kapasitas secara penuh.
A.    Biografi Tokoh
a.       Carl  Gustaf Jung
Jung adalah putera seorang pendeta, lahir di kesswil (Canton Thrugau), Swiss, pada 26 juli 1875. Ia sekolah di basel, tempat ia meraih sarjana kedokteran dan pada 1900 memulai karirnya sebagai psikiater dengan menjadi asisten di rumah sakit jiwa Burghuzli, Zurich, dan klinik psikiatri unversitas Zurich.  Ia bekerja disana sampai 1909, kecuali ditahun 1902 ia belakar pada janed di paris, menjadi dokter staff senior, mula-mula bekerja sebagai mahasiswa dan kemudian sebagaian dari Euegen Bleuler.[2] Sebagai hasil penelitiannya disana, dengan menggunakan metode baru yang dikenal sebagai Test Asosiasi, ia menerbitkan sejumlah makalah yang menjadikan terkenal, dan menerima undangan untuk memberikan kuliah di luar negri serta menerima gelar kehormatan dari Universitas Clark (Massachusetts).
Sesudah memberi kuliah di Amerika Serikat bersama dengan Freud tahun 1911, Jung menghentikan kariernya sebagai penerbit dari majalah Jahrbuch fur psychologische Forscchungen (yearbook For Psychologikal Research) yang telah didirikan oleh Bleuler dan Freud. Jung juga berhenti sebagai ketua National Psychoanalytic Society, dimana ia sendiri yang mendirikanya, dan masih merupakan organisasi profesional Freudian. Jung menjelaskan pandangan- pandangan baru yang berbeda dari pandangan Freud dalm buku-bukunya yang mungkin paling terkenal dari semua buku Jung yaitu Symbol and Wandlungen der libido (1912)[3]. Semakin lama Carl Gustav Jung semakin tertarik untuk mendalami simbol- simbol mitologis dan simbol-simbol relegious. Pada awal pecah perang dunia I, mulailah sebuah peristiwa intro speksi yang tergabung dengan penyelidikan empiris, suatu periode kosong (belum ada puiblikasi) yang berakhir sampai diterbitkanya Psychologcal Types tahun 1921. Dari karyanya ini, Jung membedakan diri posisinya dari Freud dan meletakan dasar psikologi analitis. Pada tahun 1920, Jung pergi ke Tunisia dan Algaraia; dari tahun 1924- 1925.
Pada tahun 1948, Institut C. G. Jung didirikan di Zurich untuk meneruskan ajaranya dan sebagai pusat latihan dan analis. Karya dilanjutkan di Inggris oleh “Society of Analytical Psychology” (perkumpulan Psikologi Analitis), dan di beberapa perkumpulan lain di New York, Sanfrancisco, Los Engeles dan beberapa negara Eropa. Setelah perang berakhir, Jung melakukan perjalanan ke berbagai negara, misalnya, ke suku-suku primitif di Afrika, Amerika dan India. Dia pensiun pada tahun 1946 dan menarik diri dari kehidupan umum setelah istrinya meninggal di tahun 1955. Carl Gustav Jung meninggal pada tangga 6 Juni 1961 di Zurich.[4]
b.      Abraham Maslow
Abraham Harold Maslow dilirkan pada tanggal 1 April 1908 di daerah Brooklyn, New York. Orangtuanya menginginkan di ekolah hukum, namun dia pergi ke universitas Wisconsin untuk belajar psikologi. Di sana dia menerima gelar B.A (1930), M.A (1931), Ph.D (1934).[5] Maslow kemudian memperdalam riset dan studinya di Universitas Columbia dan masih mendalami subjek yang sama. Di sana ia bertemu dengan mentornya yang lain yaitu Alfred Adler, salah satu kolega awal dari Sigmund Freud.
Pada tahun 1937-1951, Maslow memperdalam ilmunya di Brooklyn College. Di New York, ia bertemu dengan dua mentor lainnya yaitu Ruth Benedict seorang antropologis, dan Max Wertheimer seorang Gestalt psikolog, yang ia kagumi secara profesional maupun personal. Kedua orang inilah yang kemudian menjadi perhatian Maslow dalam mendalami perilaku manusia, kesehatan mental, dan potensi manusia. Ia menulis dalam subjek-subjek ini dengan mendalam. Tulisannya banyak meminjam dari gagasan-gagasan psikologi, namun dengan pengembangan yang signifikan. Penambahan tersebut khususnya mencakup hierarki kebutuhan, berbagai macam kebutuhan, aktualisasi diri seseorang, dan puncak dari pengalaman. Maslow menjadi pelopor aliran humanistik psikologi yang terbentuk pada sekitar tahun 1950 hingga 1960-an. Pada masa ini, ia dikenal sebagai "kekuatan ke tiga" di samping teori Freud dan behaviorisme.[6]
Maslow menjadi profesor di Universitas Brandeis dari 1951 hingga 1969, dan menjabat ketua departemen psikologi di sana selama 10 tahun. Di sinilah ia bertemu dengan Kurt Goldstein (yang memperkenalkan ide aktualisasi diri kepadanya) dan mulai menulis karya-karyanya sendiri. Di sini ia juga mulai mengembangkan konsep psikologi humanistik. Ia menghabiskan masa pensiunnya di California, sampai akhirnya ia meninggal karena serangan jantung pada 8 Juni 1970. Kemudian, Pada tahun 1967, Asosiasi Humanis Amerika menganugerahkan gelar Humanist of the Year.
B.     Pemikiran Tokoh
a.       C.G Jung
            Corak yang unik dari teori yang dikemukakan oleh Jung adalah penekanan yang dilakukan olehnya terhadap rasial, atau phylogenetik, dan asal dari kepribadian yang dimiliki oleh seseorang. (Phylogeny mengacu pada sebuah evolusi dari kelompok gen yang berhubungan dari sebuah organisme. Phylogenetik asal dari kepribadian yang suka berbohong adalah warisan dari seorang individu, yang dilacak melalui ingatan dari pengalaman yang telah dialami di masa lalu oleh seseorang dalam ras tertentu. Jung menjelaskan bahwa fondasi dari kepribadian adalah sifat kuno, primitif, bawaan, ketidaksadaran, dan universal.[7]
Romi Setiawan dalam jurnalnya mengungkapkan bahwa Jung mendefinisikan agama sebagai keterkaitan antara kesadaran dan proses psikis tak sadar yang mempunyai kehidupan tersendiri (lebih menekankan ke aspek psikologi). Menurut Jung, Agama adalah pengalaman batin dari kekuatan yang dinamis yang dialami sebagai rahasia, sebagai supramanusiawi dan Illahi. Kekuatan dinamis ini tidak bergantung dari pilihan kehendak atau kesadaran dari ego, tetapi melampauinya dan malahan sering memuja dan menguasai subyek (nominousum).[8]
Penelitian jung mengenai arketipe arketipe dari suatu ketidaksadaran kolektif menginspirasi jung dalam membuat kesimpulan yang cukup menarik. Salah satu kesimpulan yang terpenting adalah bahwa manusia memiliki apa yang di sebut oleh jung sebagai ‘fungsi agama yang alamiah’, dan bahwa kesehatan psikis serta stabilitas psikisnya itu bergatung pada ungkapan yang tepat dari suatu fungsi dan juga bergantung pada ungkapan nalurinya.[9] ini menjadikan suatu kontradiksi tersendiri dengan mereka yang menganggap atau yang berpandangan bahwa sebuah agama merupakan suatu ilusi, suatu pelarian dari realitas atau kelemahan yang kekanak kanakan. Kita yakin bahwa hal- hal yag telah di sebutan di atas tadi mungkin saja ada pada diri kita, tetapi jung mengingatkan kita bahwasannya hal- hal tersebut  merupakan sebuah manifestasi dari ketidaksadaran kolektif umum bagi umat manusia. Hal ini sejalan dengan dapat di tunjukannya secara empiris bahwa arketipe-arketipe dari ketidakasadaran adalah sama seperti pada dogma agama.
            Jung merumuskan agama sebagai suatu sikap yang khas, yang dapat digunakan sesuai dengan penggunaan asli dari kata “religio” yang berarti pertimbangan  dan pengamatan yang seksama terhadap faktor-faktor dinamis  tertentu yang dianggap mempunyai “kekuatan”.[10] Dimensi yang supranatural dipandang sebagai dimensi yang cukup berkuasa, berbahaya dan cukup penting untuk dipertimbangkan secara seksama. Bahwa sesungguhnya unsur supra naturallah mempunyai kekuatan yang mampu menguasai unsur transenden. Sehingga berbeda dengan pemahaman ferud, pemikiran Jung masih mempercayai adanya unsur transenden, yakni para roh, setan, dan dewa merupakan ciri khas manusia. Sehingga munculah kepercayaan terhadap agama dengan drajat keberhasilan yang bebrbeda dan mampu memberikan kepuasan bagi kebutuhan manusia. Dogma, keakinan, dan upacara agama merupakan bentul-betuk perwujudan dari pengalaman agama yang orisinal. agama memberi pengalaman keagamaan berbeda dalam peribadatan, dengan mengamalkan upacara keagamaan manusai akan mendapatkan pengalaman ketenangan jiwa yang mampu mengusir pengalaman buruk.
Corak yang unik dari teori yang dikemukakan oleh Jung adalah penekanan yang dilakukan olehnya terhadap rasial, atau phylogenetik, dan asal dari kepribadian yang dimiliki oleh seseorang. (Phylogeny mengacu pada sebuah evolusi dari kelompok gen yang berhubungan dari sebuah organisme. Phylogenetik asal dari kepribadian yang suka berbohong adalah warisan dari seorang individu, yang dilacak melalui ingatan dari pengalaman yang telah dialami di masa lalu oleh seseorang dalam ras tertentu. Jung menjelaskan bahwa fondasi dari kepribadian adalah sifat kuno, primitif, bawaan, ketidaksadaran, dan universal.   

b.      Abraham Maslow
Menurut maslow kehidupan manusia tidak dapat dimengerti secara lenkap tanpa mempertimbangkan aspirasi-aspirasi tertinggi manusia: pertumbuhan, aktualisasi diri, perjuangan menuju sehat, pencarian identitas dan otonomi, kerinduan untuk sempurna, yang merupakan kecenderungan universal mausia[11]. Setelah empat kebutuhan dasar yang ada di bawahnya terpenuhi (fisik, rasa aman, cinta dan penghargaan diri) secara gradual, maka muncullah kebutuhan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tertinggi atau puncak. Dikutip oleh hendro setiawan bahwa  Maslow menggambarkan prilaku yang muncul pada seseorang mengalami aktualisasi diri dalam delapan cara, Pertama, aktualisasi diri berarti “mengalami segala sesuatu secara penuh, jelas, apa adanya / objektif, dengan penuh konsentrasi dan penerimaan total”. Kedua, menerima hidup sebagai proses pilihan. Ketiga,  apa  yang ada dalam diri sedang diaktualisasikan. Keempat, bahkan ketika dalam keraguan, berusaha jujur daripada tidak. Kelima, memilih menuju pertumbuhan daripada memilih takut. Keenam, proses mengaktualisasikan potensi seorang setiap waktu dalam kondisi apapun. Ketujuh, pengalaman puncak. Kedelapan, menemukan jati diri, siapa dirinya, seperti apa dirinya, kemana ia akan pergi dan apa misinya, “merupakan penemuan peribadi seseorang pada dirinya sendiri”.[12]
Menjelang akhir hayatnya malow merasakan kegelisahan menambahkan kebutuhan yang ke enam, yaitu kebutuhan akan transendensi diri atau mengatasi kesendirian manusia. Diapun memperkenalkan istilah transpersonal yang di identifikasinya dengan realisasi akan kebutuhan transendensi diri.[13] Atas pemikiran maslow inilah menyebabkan keingin tauaan para ilmuan muda untuk meneliti lebih mendalam terkait istilah transpersonal sehingga menyebabkan beberapa kelompok yang berbeda pandangan terkait hasil telaahnya.
C.     Aplikasi Terhadap Masyarakat
Pemikiran Jung dan Maslow mempunyai frame pemikiran  hampir sama tentang keagamaan. Pasalnya mereka sama-sama berpandangan tentang ketenangan dalam beragama. Jung yang mengatakan bahwa fungsi agama yang alamiah bergatung pada ungkapan yang tepat dari suatu fungsi dan juga bergantung pada ungkapan nalurinya,  sedangkan maslow lebih pengaktualan diri dalam masyarakat, bahwa masyarakat akan merasakan kenyaman jika mampu terpenuhi enam hasrat yakni: fisikis, rasa aman, cinta, penghargaan diri, aktualisasi diri dan transendensi diri. maslow beranggapan bahwa agama mampu memberikan dari enam elemen tersebut sehingga menyebabkan adanya pengaktulan diri.
Jung mengatakan manusia adalah individu yang sangat dipengaruhi oleh kejadian masa lalu yang terwujud dalam ketidak sadaran (unconscious) .selain itu, manusia juga sebenarnya dalam hidup sering memainkan peranya sesuai dengan kondisi, situasi dan posisi dimana ia berada. Peran yang ditampilkan jika memang baik, maka dapat dijadikan sebagai bagian dari jatidiri sehingga menjadi keperibadian sebenarnya.[14]





[1] https://dodyhartanto.wordpress.com/2008/12/20/the-analitycal-psychologi-of-carl-jung/ di akses tanggal 5 Oktober 2017 pukul 22.00
[2] Frieda Fordham, 1988, Pengantar psikologi C.G. Jung hal xii
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Abraham Maslow, 2004, Psikoogi sains ( terjemah dari The Psikologi Of  The Science) hal vii
[6] https://id.wikipedia.org/wiki/Abraham_Maslow di akses tanggal 5 oktober 2017 pukul 23.08
[7] https://dodyhartanto.wordpress.com/2008/12/20/the-analitycal-psychologi-of-carl-jung/ di akses tanggal 5 Oktober 2017 pukul 22.00
[8] Romi Setiawan, “Pemikiran Filsafat Carl Gustav Jung”, IAIN Bengkulu
[9] Frieda Fordham, 1988, Pengantar psikologi C.G. Jung hal 54
[10] Frieda Fordham, 1988, Pengantar psikologi C.G. Jung hal 56
[11] Hendro setiawan, Manusia Utuh, (yogyakarta: kanisius, 2014), Hal 219
[12] Hendro setiawan, Manusia Utuh, hal 172
[13] Abraham Maslow, Psikoogi sains, Hal ix  
[14] Febi Ismail, “Pemikiran Carl Gustav Jung Tentang Teori Keperibadian (Implikasiny Aterhadap Interaksi Soial)”, Fakultas Tarbiyah Stain Manado