Masalah agama menjadi sangat sensitif akhir-akhir ini, mulai dari
keberagamaan hingga yang paling hangat adalah tentang kemanusiaan. Pemahaman
tentang suatu agama menjadi sangat penting dalam mengatasi masalah-masalah,
mulai dari pendekatan-pendekatan yang digunakan didalam memandang suatu agama
agar tidak terjadi adanya pemahaman yang salah terhadap agama tersebut. Pendekatan
psikologi di nilai menjadi suatu jalan keluar agar konflik dalam keberagaman dapat
di minimalisir bahkan di tiadakan.
Pada bagian pertama akan dipaparkan tentang konsep yang telah
disusun oleh C.G Jung, penemu Psikologi Analitis. Sama seperti Freud, Jung
dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan filosofi pada abad ke-19,
seperti sebuah aplikasi tentang teori evolusi dalam pengertian kehidupan
manusia, penemuan-penemuan dalam arkeologi, ilmu tentang perbandingan budaya
manusia. Tetapi Jung berbeda dengan Freud dalam hal pengaturan tentang
cara-cara terpenting dalam pemikirannya. Yang pertama, Jung menolak penekanan
yang dikemukakan oleh Freud tentang pentingnya kegiatan seksualitas, Ia
memiliki pertentangan bahwa kebutuhan seks yang diperlukan oleh manusia adalah
satu-satunya kebutuhan yang dimiliki oleh manusia, untuk menyakinkan akan
kebenaran hal tersebut, ia melakukan penelitian, yang ternyata manusia itu
mempunyai kebutuhan untuk bersosialisasi, untuk makan, untuk beribadah, ataupun
juga perlu untuk melakukan pengalaman-pengalaman spiritual lainnya yang lebih
spesifik. Jung tidak setuju dengan mekanisme yang dikemukakan oleh Freud, yang
mengemukakan tentang sebuah penunjukkan akan kehidupan di dunia [1];
Bagi Jung, tingkah laku manusia itu dikondisikan tidak hanya oleh apa yang
telah terjadi di masa lalu tetapi dikondisikan oleh apa yang diimpikan manusia
untuk bisa terjadi di masa depan kelak dengan tujuan-tujuan dan aspirasi yang
mereka miliki.
Apa yang dikemukakan oleh Jung adalah sebuah tujuan seperti salah
satu mekanisme ini : antara kejadian di masa lalu dan antisipasi-antisipasi
yang akan dilakukan untuk masa depan akan menentukan tingkah laku manusia.
Perspektif seperti ini memberikan petunjuk bagi Jung untuk mengerti arti
tentang kehidupan yang berbeda dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Freud.
Bagi Freud, kehidupan manusia saling dilibatkan, sangat utama, dalam sebuah
pengulangan yang abadi dari permintaan yang menuruti sebuah insting, dan sebuah
usaha untuk memuaskan atau memberikan tekanan bagi mereka sendiri; sedangkan
bagi Jung, manusia diikat dalam sebuah ketetapan, dan pengembangan sifat
kreatif yang dimilikinya.
Tokoh yang kedua adalah Abraham Maslow. Salah satu sumbangan
penting Abraham Maslow bagi psikologi modern adalah teorinya tentang
aktualisasi-diri (self-actualization). Pembahasan tentang aktualisasi-diri
tidak bisa dilepaskan dari teori Maslow tentang tingkat-tingkat kebutuhan. Menurut
Maslow kebutuhan-kebutuhan itu adalah faktor-faktor yang mendorong (memotivasi)
orang untuk melakukan perbuatan. Kebutuhan tingkat pertama berupa kebutuhan
fisiologis, yaitu kebutuhan seperti makan, minum, dan hubungan seksual. Tingkat
kedua berupa kebutuhan akan rasa aman (safety needs), di mana orang bisa bebas
melakukan aktivitasnya tanpa terganggu oleh ancaman-ancaman yang dapat
mengincar keselamatannya. Tingkat ketiga adalah kebutuhan akan rasa memiliki
dan cinta (social needs). Pada tingkat ini orang butuh untuk mengikatkan
dirinya pada kelompok sosial tertentu dan mengidentifikasikan dirinya dengan
kelompok tersebut. Tingkat keempat adalah kebutuhan akan penghargaan (esteem
needs). Kelima, dan yang paling tinggi, adalah kebutuhan akan aktualisasi-diri.
Aktualisasi diri dapat diartikan sebagai perkembangan yang paling tinggi dan
penggunaan semua bakat, potensi, serta penggunaan semua kualitas dan kapasitas
secara penuh.
A.
Biografi
Tokoh
a.
Carl Gustaf Jung
Jung adalah putera seorang pendeta, lahir di kesswil (Canton
Thrugau), Swiss, pada 26 juli 1875. Ia sekolah di basel, tempat ia meraih
sarjana kedokteran dan pada 1900 memulai karirnya sebagai psikiater dengan
menjadi asisten di rumah sakit jiwa Burghuzli, Zurich, dan klinik psikiatri
unversitas Zurich. Ia bekerja disana
sampai 1909, kecuali ditahun 1902 ia belakar pada janed di paris, menjadi
dokter staff senior, mula-mula bekerja sebagai mahasiswa dan kemudian sebagaian
dari Euegen Bleuler.[2] Sebagai
hasil penelitiannya disana, dengan menggunakan metode baru yang dikenal sebagai
Test Asosiasi, ia menerbitkan sejumlah makalah yang menjadikan terkenal, dan
menerima undangan untuk memberikan kuliah di luar negri serta menerima gelar
kehormatan dari Universitas Clark (Massachusetts).
Sesudah memberi kuliah di Amerika Serikat bersama dengan Freud
tahun 1911, Jung menghentikan kariernya sebagai penerbit dari majalah Jahrbuch
fur psychologische Forscchungen (yearbook For Psychologikal Research)
yang telah didirikan oleh Bleuler dan Freud. Jung juga berhenti sebagai ketua National
Psychoanalytic Society, dimana ia sendiri yang mendirikanya, dan masih
merupakan organisasi profesional Freudian. Jung menjelaskan pandangan-
pandangan baru yang berbeda dari pandangan Freud dalm buku-bukunya yang mungkin
paling terkenal dari semua buku Jung yaitu Symbol and Wandlungen der libido
(1912)[3].
Semakin lama Carl Gustav Jung semakin tertarik untuk mendalami simbol- simbol
mitologis dan simbol-simbol relegious. Pada awal pecah perang dunia I, mulailah
sebuah peristiwa intro speksi yang tergabung dengan penyelidikan empiris, suatu
periode kosong (belum ada puiblikasi) yang berakhir sampai diterbitkanya
Psychologcal Types tahun 1921. Dari karyanya ini, Jung membedakan diri
posisinya dari Freud dan meletakan dasar psikologi analitis. Pada tahun 1920,
Jung pergi ke Tunisia dan Algaraia; dari tahun 1924- 1925.
Pada tahun 1948, Institut C. G. Jung didirikan di Zurich untuk
meneruskan ajaranya dan sebagai pusat latihan dan analis. Karya dilanjutkan di
Inggris oleh “Society of Analytical Psychology” (perkumpulan Psikologi
Analitis), dan di beberapa perkumpulan lain di New York, Sanfrancisco, Los
Engeles dan beberapa negara Eropa. Setelah perang berakhir, Jung melakukan
perjalanan ke berbagai negara, misalnya, ke suku-suku primitif di Afrika,
Amerika dan India. Dia pensiun pada tahun 1946 dan menarik diri dari kehidupan
umum setelah istrinya meninggal di tahun 1955. Carl Gustav Jung meninggal pada
tangga 6 Juni 1961 di Zurich.[4]
b.
Abraham
Maslow
Abraham Harold Maslow dilirkan pada tanggal 1 April 1908 di daerah
Brooklyn, New York. Orangtuanya menginginkan di ekolah hukum, namun dia pergi
ke universitas Wisconsin untuk belajar psikologi. Di sana dia menerima gelar
B.A (1930), M.A (1931), Ph.D (1934).[5] Maslow
kemudian memperdalam riset dan studinya di Universitas Columbia dan masih
mendalami subjek yang sama. Di sana ia bertemu dengan mentornya yang lain yaitu
Alfred Adler, salah satu kolega awal dari Sigmund Freud.
Pada tahun 1937-1951, Maslow memperdalam ilmunya di Brooklyn
College. Di New York, ia bertemu dengan dua mentor lainnya yaitu Ruth Benedict
seorang antropologis, dan Max Wertheimer seorang Gestalt psikolog, yang ia
kagumi secara profesional maupun personal. Kedua orang inilah yang kemudian
menjadi perhatian Maslow dalam mendalami perilaku manusia, kesehatan mental,
dan potensi manusia. Ia menulis dalam subjek-subjek ini dengan mendalam.
Tulisannya banyak meminjam dari gagasan-gagasan psikologi, namun dengan
pengembangan yang signifikan. Penambahan tersebut khususnya mencakup hierarki
kebutuhan, berbagai macam kebutuhan, aktualisasi diri seseorang, dan puncak
dari pengalaman. Maslow menjadi pelopor aliran humanistik psikologi yang
terbentuk pada sekitar tahun 1950 hingga 1960-an. Pada masa ini, ia dikenal
sebagai "kekuatan ke tiga" di samping teori Freud dan behaviorisme.[6]
Maslow menjadi profesor di Universitas Brandeis dari 1951 hingga
1969, dan menjabat ketua departemen psikologi di sana selama 10 tahun. Di
sinilah ia bertemu dengan Kurt Goldstein (yang memperkenalkan ide aktualisasi
diri kepadanya) dan mulai menulis karya-karyanya sendiri. Di sini ia juga mulai
mengembangkan konsep psikologi humanistik. Ia menghabiskan masa pensiunnya di
California, sampai akhirnya ia meninggal karena serangan jantung pada 8 Juni
1970. Kemudian, Pada tahun 1967, Asosiasi Humanis Amerika menganugerahkan gelar
Humanist of the Year.
B.
Pemikiran
Tokoh
a.
C.G
Jung
Corak yang unik dari teori yang dikemukakan oleh Jung
adalah penekanan yang dilakukan olehnya terhadap rasial, atau phylogenetik, dan
asal dari kepribadian yang dimiliki oleh seseorang. (Phylogeny mengacu pada
sebuah evolusi dari kelompok gen yang berhubungan dari sebuah organisme.
Phylogenetik asal dari kepribadian yang suka berbohong adalah warisan dari
seorang individu, yang dilacak melalui ingatan dari pengalaman yang telah
dialami di masa lalu oleh seseorang dalam ras tertentu. Jung menjelaskan bahwa
fondasi dari kepribadian adalah sifat kuno, primitif, bawaan, ketidaksadaran,
dan universal.[7]
Romi Setiawan dalam jurnalnya mengungkapkan bahwa Jung
mendefinisikan agama sebagai keterkaitan antara kesadaran dan proses psikis tak
sadar yang mempunyai kehidupan tersendiri (lebih menekankan ke aspek
psikologi). Menurut Jung, Agama adalah pengalaman batin dari kekuatan yang
dinamis yang dialami sebagai rahasia, sebagai supramanusiawi dan Illahi.
Kekuatan dinamis ini tidak bergantung dari pilihan kehendak atau kesadaran dari
ego, tetapi melampauinya dan malahan sering memuja dan menguasai subyek
(nominousum).[8]
Penelitian jung mengenai arketipe arketipe dari suatu
ketidaksadaran kolektif menginspirasi jung dalam membuat kesimpulan yang cukup
menarik. Salah satu kesimpulan yang terpenting adalah bahwa manusia memiliki
apa yang di sebut oleh jung sebagai ‘fungsi agama yang alamiah’, dan bahwa
kesehatan psikis serta stabilitas psikisnya itu bergatung pada ungkapan yang
tepat dari suatu fungsi dan juga bergantung pada ungkapan nalurinya.[9] ini
menjadikan suatu kontradiksi tersendiri dengan mereka yang menganggap atau yang
berpandangan bahwa sebuah agama merupakan suatu ilusi, suatu pelarian dari
realitas atau kelemahan yang kekanak kanakan. Kita yakin bahwa hal- hal yag
telah di sebutan di atas tadi mungkin saja ada pada diri kita, tetapi jung
mengingatkan kita bahwasannya hal- hal tersebut
merupakan sebuah manifestasi dari ketidaksadaran kolektif umum bagi umat
manusia. Hal ini sejalan dengan dapat di tunjukannya secara empiris bahwa
arketipe-arketipe dari ketidakasadaran adalah sama seperti pada dogma agama.
Jung merumuskan
agama sebagai suatu sikap yang khas, yang dapat digunakan sesuai dengan
penggunaan asli dari kata “religio” yang berarti pertimbangan dan pengamatan yang seksama terhadap
faktor-faktor dinamis tertentu yang
dianggap mempunyai “kekuatan”.[10]
Dimensi yang supranatural dipandang sebagai dimensi yang cukup berkuasa,
berbahaya dan cukup penting untuk dipertimbangkan secara seksama. Bahwa
sesungguhnya unsur supra naturallah mempunyai kekuatan yang mampu menguasai unsur
transenden. Sehingga berbeda dengan pemahaman ferud, pemikiran Jung masih
mempercayai adanya unsur transenden, yakni para roh, setan, dan dewa merupakan
ciri khas manusia. Sehingga munculah kepercayaan terhadap agama dengan drajat
keberhasilan yang bebrbeda dan mampu memberikan kepuasan bagi kebutuhan manusia.
Dogma, keakinan, dan upacara agama merupakan bentul-betuk perwujudan dari
pengalaman agama yang orisinal. agama memberi pengalaman keagamaan berbeda
dalam peribadatan, dengan mengamalkan upacara keagamaan manusai akan
mendapatkan pengalaman ketenangan jiwa yang mampu mengusir pengalaman buruk.
Corak yang unik dari teori yang dikemukakan oleh Jung adalah
penekanan yang dilakukan olehnya terhadap rasial, atau phylogenetik, dan asal
dari kepribadian yang dimiliki oleh seseorang. (Phylogeny mengacu pada sebuah
evolusi dari kelompok gen yang berhubungan dari sebuah organisme. Phylogenetik
asal dari kepribadian yang suka berbohong adalah warisan dari seorang individu,
yang dilacak melalui ingatan dari pengalaman yang telah dialami di masa lalu
oleh seseorang dalam ras tertentu. Jung menjelaskan bahwa fondasi dari
kepribadian adalah sifat kuno, primitif, bawaan, ketidaksadaran, dan universal.
b.
Abraham
Maslow
Menurut maslow kehidupan manusia tidak dapat dimengerti secara
lenkap tanpa mempertimbangkan aspirasi-aspirasi tertinggi manusia: pertumbuhan,
aktualisasi diri, perjuangan menuju sehat, pencarian identitas dan otonomi,
kerinduan untuk sempurna, yang merupakan kecenderungan universal mausia[11]. Setelah
empat kebutuhan dasar yang ada di bawahnya terpenuhi (fisik, rasa aman, cinta
dan penghargaan diri) secara gradual, maka muncullah kebutuhan aktualisasi diri
sebagai kebutuhan tertinggi atau puncak. Dikutip oleh hendro setiawan bahwa Maslow menggambarkan prilaku yang muncul pada
seseorang mengalami aktualisasi diri dalam delapan cara, Pertama, aktualisasi
diri berarti “mengalami segala sesuatu secara penuh, jelas, apa adanya /
objektif, dengan penuh konsentrasi dan penerimaan total”. Kedua, menerima
hidup sebagai proses pilihan. Ketiga, apa
yang ada dalam diri sedang diaktualisasikan. Keempat, bahkan
ketika dalam keraguan, berusaha jujur daripada tidak. Kelima, memilih
menuju pertumbuhan daripada memilih takut. Keenam, proses
mengaktualisasikan potensi seorang setiap waktu dalam kondisi apapun. Ketujuh,
pengalaman puncak. Kedelapan, menemukan jati diri, siapa dirinya,
seperti apa dirinya, kemana ia akan pergi dan apa misinya, “merupakan penemuan
peribadi seseorang pada dirinya sendiri”.[12]
Menjelang akhir hayatnya malow merasakan kegelisahan menambahkan
kebutuhan yang ke enam, yaitu kebutuhan akan transendensi diri atau mengatasi
kesendirian manusia. Diapun memperkenalkan istilah transpersonal yang di
identifikasinya dengan realisasi akan kebutuhan transendensi diri.[13]
Atas pemikiran maslow inilah menyebabkan keingin tauaan para ilmuan muda untuk
meneliti lebih mendalam terkait istilah transpersonal sehingga menyebabkan
beberapa kelompok yang berbeda pandangan terkait hasil telaahnya.
C.
Aplikasi
Terhadap Masyarakat
Pemikiran Jung dan Maslow mempunyai frame pemikiran hampir sama tentang keagamaan. Pasalnya mereka
sama-sama berpandangan tentang ketenangan dalam beragama. Jung yang mengatakan
bahwa fungsi agama yang alamiah bergatung pada ungkapan yang tepat dari suatu
fungsi dan juga bergantung pada ungkapan nalurinya, sedangkan maslow lebih pengaktualan diri dalam
masyarakat, bahwa masyarakat akan merasakan kenyaman jika mampu terpenuhi enam
hasrat yakni: fisikis, rasa aman, cinta, penghargaan diri, aktualisasi diri dan
transendensi diri. maslow beranggapan bahwa agama mampu memberikan dari enam
elemen tersebut sehingga menyebabkan adanya pengaktulan diri.
Jung mengatakan manusia adalah individu yang sangat dipengaruhi
oleh kejadian masa lalu yang terwujud dalam ketidak sadaran (unconscious) .selain
itu, manusia juga sebenarnya dalam hidup sering memainkan peranya sesuai dengan
kondisi, situasi dan posisi dimana ia berada. Peran yang ditampilkan jika
memang baik, maka dapat dijadikan sebagai bagian dari jatidiri sehingga menjadi
keperibadian sebenarnya.[14]
[1]
https://dodyhartanto.wordpress.com/2008/12/20/the-analitycal-psychologi-of-carl-jung/
di akses tanggal 5 Oktober 2017 pukul 22.00
[2] Frieda
Fordham, 1988, Pengantar psikologi C.G. Jung hal xii
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Abraham
Maslow, 2004, Psikoogi sains ( terjemah dari The Psikologi Of The Science) hal vii
[6]
https://id.wikipedia.org/wiki/Abraham_Maslow di akses tanggal 5 oktober 2017
pukul 23.08
[7] https://dodyhartanto.wordpress.com/2008/12/20/the-analitycal-psychologi-of-carl-jung/
di akses tanggal 5 Oktober 2017 pukul 22.00
[8] Romi Setiawan,
“Pemikiran Filsafat Carl Gustav Jung”, IAIN Bengkulu
[9] Frieda
Fordham, 1988, Pengantar psikologi C.G. Jung hal 54
[10] Frieda
Fordham, 1988, Pengantar psikologi C.G. Jung hal 56
[11] Hendro
setiawan, Manusia Utuh, (yogyakarta: kanisius, 2014), Hal 219
[12] Hendro
setiawan, Manusia Utuh, hal 172
[13] Abraham
Maslow, Psikoogi sains, Hal ix
[14] Febi Ismail,
“Pemikiran Carl Gustav Jung Tentang Teori Keperibadian (Implikasiny Aterhadap
Interaksi Soial)”, Fakultas Tarbiyah Stain Manado