Lamunan Bisu

Rabu, 04 Januari 2017

Transmisi Hadits Masa Nabi, Khulafa’ Rasyidin dan Tabi’in

Transmisi Hadits

Masa Nabi, Khulafa’ Rasyidin dan Tabi’in


Untuk Memenuhi Tugas Makalah
Program Studi Agama-agama
Dosen Pengampu:
Achmad Dahlan, Lc. M.A

Disusun oleh:
Moh Anshory Lubis  (16520018)


Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016




BAB I

PENDAHULUAN

Hadits adalah  pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW, merupakan sumber ajaran Islam yang kedua sesudah Al-Qur’an. Pada masa sekarang, semua aspek Hadits tersebut telah terhimpun dalam berbagai kitab Hadits[1]. Kita dapat mnegetahui macam-macam hadits  yang  shoheh dan hasan serta mana hadits doif dan palsu. Dari Banyaknya hadits yang beredar ditatanan masyarakat, pada zaman awal-awal setelah meninggalnya Nabi, penyebaran hadits yang sangat pesat menjadi khasanah tersendiri bagi kaum muslim, oleh karenanya kaum muslim menggap bahwa sangat penting adanya pengajaran hadits pada generasi-generasinya sehingga keshohehan hadits tetap terjaga.
Pada masa Nabi, sesungguhnya sudah ada beberapa saha bat Nabi yang menulis Hadits Nabi, tetapi jumlah mereka selain tidak banyak, juga materi Hadits yang mereka catat masih terbatas. Namun, setelah rasulullah wafat, kebutuhan akan pentingnya Hadits meningkat. Sehingga Hadits mengalami oroses transmisi atau penyebaran. Untuk itu kita perlu tahu akan penyebaran Hadits tersebut.
1.      Apa Pengertian Transmisi Hadits?
2.      Bagaimana Transmisi Hadits pada masa Nabi?
3.      Bagaimana Transmisi Hadits pada masa khulafa’ Rasyidin?
4.      Bagaimana Transmisi Hadits pada masa Tabi’in?
1.      Dapat Memahami Apa Pengertian Transmisi Hadits
2.      Dapat Memahami Bagaimana Transmisi Hadits pada masa Nabi
3.      Dapat Memahami Bagaimana Transmisi Hadits pada masa khulafa’ Rasyidin
4.      Dapat Memahami Bagaimana Transmisi Hadits pada masa Tabi’in


BAB II

PEMBAHASAN

Dalam  KBBI atau EBI  Transmisi /trans-mi-si/ adalah pengiriman (penerusan) pesan dan sebagainya dari seseorang kepada orang (benda) lain. Namun dalam ilmu Haditst yang dimaksud transmisi adalah Al-riwayat. Jadi Transmisi Hadits adalah proses peralihan atau perpindahan serta suatu Haditst dari sanad ke sanad sampai ke perawi.[2] Tanpa adanya keterputusan sanad.
Menurut istilah ilmu Hadits, yang dimaksud dengan al-riwayat ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian Hadits, serta penyandaran Hadits itu kepada rangkaian para periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima Hadits dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan Hadits itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut orang yang telah melakukan periwayatan Hadits. Atau ketika dia menyampaikan Hadits kepada orang lain tanpa menyebutkan sanad maka dia juga bukan orang yang melakukan periwayatan Hadits.[3]
Sedangkan menurut Ismail Raji Al-Faruqi dalam bukunya Atlas Budaya Islam. mengatakan bahwa, Al-riwayah adalah kemampuan untuk mengingat dan menyampaikan Haditst yang diminta sesuai dengan situasi. Al-riwayah adalah disiplin positif yang tidak mengandung perlengkapan kritisnya. Al-riwayah adalah disiplin orang Arab.[4]
Ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan Hadits.
  1. Kegiatan menerima Hadits dari periwayat Hadits.
  2. Kegiatan menyampaikan Hadits itu kepada orang lain.
  3. Ketika Hadits itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya(sanad) disebutkan.[5]
1.      Pada Masa Nabi
Hadits yang diterima oleh sahabt cepat tersebar di masyarakat, karena pada umumnya para sahabat sangat berminat untuk memperoleh Haditst Nabi dan kemudian menyampaikanya pada orang lain. Hal ini terbukti dengan pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya:
a.       Umar bin khattab (23 H), “membagi tugas dengan tetangganya, jika yang bertugas menemui Nabi mendapat berita, maka yang bertugas akan memberi tahu kepada ktetangga yang lain. Dengan demikian para sahabat yang kenetulan sibuk untuk menemui Nabi tetap dapat memperoleh Haditst dari sahabat yang sempat bertemu Nabi”.
b.       Al-barra’ bin ‘Azib al-awsiy(73 H), “ tidaklah kami semuanya (dapat langsung) mendengar Hadits rasulullah saw(karena diantara) kami ada yang tidak memiliki waktu atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu orang-orang tidak ada yangt berani melakukan kedustaan (terhadap Hadits Nabi). Orang-orang yang hadir memberikan Hadits itu kepada orang yang tisak hadir”.
c.       Malik ibn Huwayrist (74 H), “ ia bersama rombongan kaumnya tinggal bersama Nabi tinggal 20 malam. Setelah itu mereka diperintah oleh Nabi untuk mengajarkan atau menyebarkan apa yang sudah mereka peroleh dari Nabi”[6].
Adapun cara Nabi menyampaikan Hadits adalah
a.       Cara rasulullah menyampaikan Haditsnya pada dasarnya dengan cara natural saja. Ada masalah lalu dia memberikan penyelesaian.
b.      Dengan lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu malam dan subuh.
c.       Dalam bentuk tulisan.
Banyak riwayat menyatakan bahwa Nabi telah berkirim surat kepada kepala Negara dan pembesar daerah yang non-Islam.[7] Di samping itu, kebijaksanaan Nabi mengutus para sahabat ke berbagai daerah, baik tugas khusus berdakwah maupun untuk memangku jabatan.[8]
Ada beberapa hal yang membuat para sahabat mudah menerima Hadits Nabi Muhammad
a.       Petunjuk Allah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan allah yang harus diikuti dan ditaati oleh orang yang beriman dan menjadi teladan
b.      Allah telah memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan
c.       Nabi memrintahkan para sahabat untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir
d.      Karena tingkah laku Nabi yang menjadi tauladan bagi semua umat
2.      Majlis Perempuan
a.       Zaman Nabi
1.      Kehadiran perempuan dalam majlis belajar para sahabat
                  banyak kalangan wanita muslimah yang ikut menyaksikan dan menghadiri syiar keagamaan, seperti datang ke masjid haram, ikut sholat jemaah, ikut perayaan dan menunaikan haji
“jangan kalian melarang para wanita mendatangi masjid apabila mereka meminta izin kepadamu untuk mendatanginya” (sahih muslim)
2.      Kesempatan perempuan diluar majlis
                  Nabi Muhammad SAW, tidak pernah menutup pintu rumahnya yuntuk pada siapa saja yan ingin belajar, sehingga kesempatan ini digunakan para wanita unuk belajar.[9]
b.      Pasca Wafatnya Nabi
1.              Risalah untuk mendapatkan dan menyampaikan Hadits
                  Ummu ‘Atiyah, ia adalah salah satau ahli fikih kalangan sahabat, dan riwayat Haditsnya banyak tercatat dalam Al-qutub Al-tis’ah. Ia meninggalkan madinah dan menetap dibasrah untuk ikut serta mengembagkan agama Allah.
2.              Perjalanan haji
                  Ummu Salim Binti Malik, dia seorang Tabi’in perempuan, ia bertemu dengan Aisyah dan meriwayatkan Hadits darinya. Dalam tahdzib al-kamal dijelaskan bahwa ummu salim pergi ke Ihram dan Basrah sebnyak 17 kali.
3.              Halaqah
                  beberapa perempuan tercatat memiliki halaqah sebagai majlis ilmu tempat mereka memberikan pengjaran dan memberikan Hadits para murid-muridnya. (Nafisah bin Alhasan Ibnu Zaid)[10]
Penyebaran hadits pada masa Khulafa’rasyidin  tidak jau beda dengan dengan masa rhasulullah, berikut periwayatan hadits pada masa Khulafa’ Rasyidin.
1.      Abu Bakar al-Shiddiq
Beliau sangat berhati-hati dengan periwayatan hadist. Ini didasarkan pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Beliau tidak melihat petunjuk Quran dan praktek Nabi yang memberikan harta warisaan kepada nenek. Lalu ia bertanya kepada sahabat-sahabat yang lain. Al-Mughirah bin Syu’bah (w. 50H) menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Namun Abu Bakar tidak langsung percaya terhadap perkataan sahabat tersebut. Dia meminta sahabat tersebut untuk mendatangkan saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian.
Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadits, sehingga dapat dimaklumi bila jumlah hadits yang diriwayatkannya relatif tidak banyak.[11] Ada alasan lain mengapa hadits pada zaman abu bakar relative sedikit
a.       Jarak antara wafatnta dengan kewafatan Nabi sangat singkat
b.      Kebutuhan hadits tidak sebanyak pada zaman sesudahnya
c.       Dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagi kholifah[12]
2.      Umar Ibn al-Khaththab (23 H/644 M)
Khalifah Umar juga terkenal sangat hati-hati dalam hal periwayatan hadits. Dia tidak akan menerima riwayat hadits dari seorang sahabat saja melainkan setelah sahabat lain juga menyatakan  telah mendengar pula hadits Nabi  tentang apa yang telah dikemukakan oleh sahabat tersebut.
Umar juga menekankan kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan memdalami Al Qur’an. Kebijakan ini tidaklah berarti bahwa Umar melarang para sahabat tidak meriwayatkan hadits sama sekali. Larangannya tidak tertuju pada periwayat hadits itu sendiri, tetapi agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits dan agar perhatian masyarakat terhadap Al- Qur’an tidak terganggu.
Pada masa Umar ini, periwayatan hadits telah lebih banyak dilakukan oleh umat Islam bila dibandingkan dengan masa Abu Bakar. Hal ini karena Umar memberikan dorongan kepada umat Islam untuk mempelajari hadits Nabi, disamping karena umat Islam telah banyak menghajatkan kepada periwayat hadits. Akan tetapi, pada saat yang sama para periwayat hadits masih agak “terkekang” dalam melakukan kegiatannya, karena Umar terlalu melakukan pemeriksaan yang cukup ketat kepada periwayat hadits. Tujuannya agar umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadits. Kebijakan Umar ini telah “menghalangi” orang-orang yang bertanggung jawab melakukan pemalsuan-pemalsuan hadits.
3.      Utsman bin Affan (35 H/656 M)
          Kebijakan Utsman tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh khalifah-khalifah sebelumnya. Hanya saja Utsman tidak setegas Umar bin al-Khaththab. Dalam suatu khutbah , Utsman meminta kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadits yang mereka tidak pernah mendengar hadits itu pada zaman khalifah sebelumnya. Ini menunjukan Utsman atas sikap hati-hati kedua pendahulunya yang ingin dilanjutkan pada masa kekhalifahannya.
          Kegiatan periwayatan hadits pada masa Utsman lebih banyak bila dibandingkan pada masa Umar. Dalam khutbahnya disampaikan agar umat Islam berhati-hati dalam periwayatan hadits. Tetapi, seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya  bagi periwayat karena pribadi Utsman yang tidak sekeras Umar. Disamping itu juga karena luas wilayah Islam yang mengakibatkan sulitnya pengendalian kegiatan periwayatan hadits secara ketat.
4.      Ali bin Abi Thalib (40 H/661 M)
Khalifah Ali bin Abi Thalib juga tidak kalah jauh berbeda dengan khalifah-khalifah terdahulunya. Secara umum, Ali baru bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits itu bersumpah bahwa hadits yang disampaikan itu benar-benar berasal dari Nabi. Tetapi pada periwayat yang telah dipercaya dia tidak meminta untuk bersumpah.
Ali bi Abi Thalib sendiri telah cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi baik secara lisan maupun tulisan. Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat terbanyak jika dibandingkan denagn ketiga khalifah sebelumnya.
Pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib kehati-hatian dalam periwayatan hadits sama dengan periode sebelumnya. Tetapi, pertentangan politik di kalangan umat Islam makin menajam. Hal ini mengakibatkan dampak negatif pada kegiatan periwayatan hadits, sehingga banyak pihak-pihak yang melakukan pemalsuan hadits.
Kebijaksanaan al-Khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan hadits, yaitu:
a.       Seluruh khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan hadits.
b.      Larangan memperbanyak periwayatan hadits,
c.       Penghadiran saksi atau pengucapan sumpah bagi periwayat hadits untuk meneliti riwayat hadits.
d.      Masing-masing khalifah telah meriwayatkan hadits. Riwayat hadits ketiga khalifah yang pertama seluruhnya dalam bentuk lisan, hanya Ali yang meriwayatkan hadits secara lisan dan tulisan.
5.      Sahabat Nabi selain Khulafa’ Rasyidin
Beberapa sahabat Nabi selain khulafa’ rasyidin telah menunjukan sikap kehati-hatian mereka dalam meriwayatkan  hadits.
a.       Anas bin Malik (w. 93H) pernah berkata, sekiranya kita tidak takut keliru, niscaya semua apa yang telah didengarnya dari Nabi dikemukakan juga kepada orang lain.
b.      Sa’ad ibn Abi Waqqas (w. 55H) perneh ditemani oleh al-Syaib bin Yazid  dalam perjalanan Mekkah ke Madinah pergi-pulang. Selama dalam perjalanan, Sa’ad tidak menyampaikan sebuah haditspun kepada al-Sa’ib.
Kehati-hatian sahabat dalam periwaqyatan hadits pada masa sahabat sesudah periode al-Khulafa’ al-Rasyidintidak lagi menjadi ciri yang menonjol, walaupun harus segera dinyatakan bahwa periwayatan hadits yang sangat berhati-hati dalam periwayatan hadits tidak sedikit jumlahnya.[13]
Pada masa tabi’in telah dibakukan tata cara penyampaian dan penetian Hadits Nabi. Pembakuan tata cara periwayatan ini sanagt erat kaitanya dengan upaya ulama untuk menyelamatkan Hadits Nabi dari pemalsuan Hadits yang berkembang.[14] Di samping itu, kegiatan periwayatan Hadits tampat semarak diaman-mana beberapa bukti yang menggambarkan secara umum besarnya perhatian ulama’ Hadits terhadap periwayat Hadits pada masa al-tabi’un antara lain:
1.      Sa’id ibn al-Musayyab (w. 94H / 712M), seorang tabi’iy besar dikota Madainah, mengaku telah melakukan perjalanan siang malam untuk mendapatkan Hadits Nabi. Kegiatan yang sama telah dilakukan ole Muhammad ibn Sirin (w. 110 H / 712 M), dan Sufyan al-Tsawri (w. 161H / 778M)
2.      Muhammada ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri (w. 124H / 742M) pernah diminta oleh Hisyam ibn Abd al-Malik (w. 125H / 743M)  untuk mendektikan Hadits Nabi yang akan dihadiahkan kepaada anaknya.
3.      Kalangan sahabat Nabi yang memiliki banyak murid. Murid-murid tersebut sebagian besar berstatus Tabi’in, disampin sebagian ada yang berstatus sebagai shabat.

Pada zaman  Tabi’in periwayatan Hadits dan penulisan Hadits telah dilakukan oleh banyak orang. Akan tetapi, kegiatan tersebut belum menjamin kelestarian Hadits pada masa berikutnya. Sehingga kholifah Umar bin Abdul Aziz (memerintah 99-101H)  berkeinginan untuk menghimpun Hadits tersebut  diwujudkan dalam bentuk surat pemerintah surat itu dikirim kepada seluruh pejabat dan ulama dibebagai daerah pada akhir tahun 100H.[15]
Pada zaman Tabi’in,Jalan untuk menerima Hadits ada delapan, yaitu:
  1. As-Sima'u min lafdzin as-Syekh, adalah seorang syekh membacakan Hadits, sedangkan murid mendengarkan. Sama saja apakah syekh tersebut membaca dari hafalanya atau kitab-kitabnya, begitupun murid, mendengarkan dan mencatat apa yang didengarnya, atau mendengar saja dan tidak menulisnya.
  2. Al-Qira’tun ‘alas-Syekh, adalah Seorang murid membaca sedangkan gurunya mendengarkan. Sama saja apakah ia sendir yang membaca Hadits dan orang lain mendengarkanya.
  3. Al-Ijazah, adalah perizinan untuk meriwayatkan, baik secara lafdzi maupun berupa kitab.
  4. Al-Munawalah, adalah bagian ijazah yang paling tinggi secara multak. Seorang syekh menyerahkan kitabnya pada muridnya, seraya berkata kepadanya “ini adalah riwayatku dari fulan, maka riwayatkanlah ini dariku”. Tetapi ada juga yang berbentuk, seorang syekh menyerahkan kitab pada muridnya dengan hanya menyatakan riwayat secara ringkas, ini adalah riwayat yang aku dengar.
  5. Al-Kitabah adalah seorang Syekh menulis riwayat yang disengarnya kepada yang hadir atau tidak hadir dengan tulisanya sendir atau dengan perintahnya.
  6. Al-I’lam adalah seorang syekh meberitahukankepada muridnya bahwa kitab ini atau Hadits ini merupakan hasil pendengaranya sendiri.
  7. Al-Wasiyah adalah seorang syekh mewasiatkan ketika akan meninggal atau akan bepergian kepada seorang tertentu berupa sebuah kitab dari kitab-kitabnya yang ia riwayatkan.
  8. Al-wijadah adalah seorang murid mendapatkan beberapa Hadits dengan tulisan syekh yang diriwwayatkanya , murid tersebut mengetahui sendiri, ia tidak melalui sima’ dan tidak pula melalui ijazah.[16]



BAB III

PENUTUP

Hadits adalah  pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW, merupakan sumber ajaran Islam yang kedua sesudah Al-Qur’an. Pada masa sekarang, semua aspek Hadits tersebut telah terhimpun dalam berbagai kitab Hadits
Transmisi /trans-mi-si/ adalah pengiriman (penerusan) pesan dan sebagainya dari seseorang kepada orang (benda) lain. Namun dalam ilmu Haditst yang dimaksud transmisi adalah Al-riwayat. Jadi Transmisi Hadits adalah proses peralihan atau perpindahan serta suatu Haditst dari sanad ke sanad sampai ke perawi.
Menurut istilah ilmu Hadits, yang dimaksud dengan al-riwayat ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian Hadits, serta penyandaran Hadits itu kepada rangkaian para periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima Hadits dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan Hadits itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut orang yang telah melakukan periwayatan Hadits. Atau ketika dia menyampaikan Hadits kepada orang lain tanpa menyebutkan sanad maka dia juga bukan orang yang melakukan periwayatan Hadits.




[1] Agung Danarta, Perempuan Periwayat Haditst, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), Hal 62
                [2] Dikot.blogspot.com/2010/11/proses-transmisi-hadits-penyebaran.html?m=1 (diambil pada jam 20:17, tanggal 27 Oktober 2016)
                [3] Lihat: Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthiy, Tadrib al-Rawiyfiy Syarh Taqrib al-Nawawiy jilid II, h 225
                [4] Ismail. R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-faruqi,  Atlas Budaya Islam , (Bandung:  MIZAN,  2003), Hal 285
                [5] Dikot.blogspot.com/2010/11/proses-transmisi-hadits-penyebaran.html?m=1 (diambil pada jam 20:17, tanggal 27 Oktober 2016)
                [6] Agung Danarta, Perempuan Periwayat Haditst, Hal 66
[7] Dikot.blogspot.com/2010/11/proses-transmisi-hadits-penyebaran.html?m=1 (diambil pada jam 20:17, tanggal 27 Oktober 2016)
[8] Al-Bukhori, “Sahih al-Bukhori”, Mausu’ah Al-Hadits Al-Syarif Al-qutub Al-Tis’ah, No. 592 dalam CD-ROM,
[9] Agung danarto, Perempuan Periwayat Hadis, Hal. 101-104
                [10] Agung danarto, Perempuan Periwayat Hadis, Hal. 108-114
[11] Agung danarto, Perempuan Periwayat Hadis, Hal. 73
[12] Dikot.blogspot.com/2010/11/proses-transmisi-hadits-penyebaran.html?m=1 (diambil pada jam 20:17, tanggal 27 Oktober 2016)
[13] Agung danarto, Perempuan Periwayat Hadis, Hal
[14] Abu Abdullah Muhammad Ibnu abi Bakar Ibnu Qoyyim, I’lam al-muwaqqi’in ‘an Rabb al-Alamin, (Beirut: Dar Al-jil, 1973),  Juz 1, Hal 52
[15] Agung danarto, Perempuan Periwayat Hadis, Hal. 84-89
[16] Mahmud Thahhan, Ulumul Hadits, terj Zainul Muttaqin,(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2001), Hal 185-192