Transmisi Hadits
Masa Nabi, Khulafa’ Rasyidin dan Tabi’in
Untuk
Memenuhi Tugas Makalah
Program
Studi Agama-agama
Dosen Pengampu:
Achmad
Dahlan, Lc. M.A
Disusun oleh:
Moh Anshory Lubis
(16520018)
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran
Islam
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Hadits adalah pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal
ihwal Nabi Muhammad SAW, merupakan sumber ajaran Islam yang kedua sesudah Al-Qur’an.
Pada masa sekarang, semua aspek Hadits tersebut telah terhimpun dalam berbagai
kitab Hadits[1].
Kita dapat mnegetahui macam-macam hadits
yang shoheh dan hasan serta mana
hadits doif dan palsu. Dari Banyaknya hadits yang beredar ditatanan masyarakat,
pada zaman awal-awal setelah meninggalnya Nabi, penyebaran hadits yang sangat
pesat menjadi khasanah tersendiri bagi kaum muslim, oleh karenanya kaum muslim
menggap bahwa sangat penting adanya pengajaran hadits pada generasi-generasinya
sehingga keshohehan hadits tetap terjaga.
Pada masa Nabi,
sesungguhnya sudah ada beberapa saha bat Nabi yang menulis Hadits Nabi, tetapi
jumlah mereka selain tidak banyak, juga materi Hadits yang mereka catat masih
terbatas. Namun, setelah rasulullah wafat, kebutuhan akan pentingnya Hadits
meningkat. Sehingga Hadits mengalami oroses transmisi atau penyebaran. Untuk
itu kita perlu tahu akan penyebaran Hadits tersebut.
1. Apa
Pengertian Transmisi Hadits?
2. Bagaimana
Transmisi Hadits pada masa Nabi?
3. Bagaimana
Transmisi Hadits pada masa khulafa’ Rasyidin?
4. Bagaimana
Transmisi Hadits pada masa Tabi’in?
1. Dapat
Memahami Apa Pengertian Transmisi Hadits
2. Dapat
Memahami Bagaimana Transmisi Hadits pada masa Nabi
3. Dapat
Memahami Bagaimana Transmisi Hadits pada masa khulafa’ Rasyidin
4. Dapat
Memahami Bagaimana Transmisi Hadits pada masa Tabi’in
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam
KBBI atau EBI Transmisi /trans-mi-si/ adalah
pengiriman (penerusan) pesan dan sebagainya dari seseorang kepada orang
(benda) lain. Namun dalam ilmu Haditst yang dimaksud transmisi adalah Al-riwayat.
Jadi Transmisi Hadits adalah proses peralihan atau perpindahan serta suatu Haditst
dari sanad ke sanad sampai ke perawi.[2]
Tanpa adanya keterputusan sanad.
Menurut
istilah ilmu Hadits, yang dimaksud dengan al-riwayat ialah kegiatan penerimaan
dan penyampaian Hadits, serta penyandaran Hadits itu kepada rangkaian para
periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima Hadits
dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan Hadits itu kepada orang
lain, maka dia tidak dapat disebut orang yang telah melakukan periwayatan Hadits.
Atau ketika dia menyampaikan Hadits kepada orang lain tanpa menyebutkan sanad
maka dia juga bukan orang yang melakukan periwayatan Hadits.[3]
Sedangkan
menurut Ismail Raji Al-Faruqi dalam bukunya Atlas Budaya Islam. mengatakan
bahwa, Al-riwayah adalah kemampuan untuk mengingat dan menyampaikan Haditst
yang diminta sesuai dengan situasi. Al-riwayah adalah disiplin positif yang
tidak mengandung perlengkapan kritisnya. Al-riwayah adalah disiplin orang Arab.[4]
Ada
tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan Hadits.
- Kegiatan
menerima Hadits dari periwayat Hadits.
- Kegiatan
menyampaikan Hadits itu kepada orang lain.
- Ketika Hadits
itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya(sanad) disebutkan.[5]
1.
Pada Masa Nabi
Hadits
yang diterima oleh sahabt cepat tersebar di masyarakat, karena pada umumnya
para sahabat sangat berminat untuk memperoleh Haditst Nabi dan kemudian
menyampaikanya pada orang lain. Hal ini terbukti dengan pengakuan sahabat Nabi sendiri,
misalnya:
a. Umar
bin khattab (23 H), “membagi tugas dengan tetangganya, jika yang bertugas
menemui Nabi mendapat berita, maka yang bertugas akan memberi tahu kepada
ktetangga yang lain. Dengan demikian para sahabat yang kenetulan sibuk untuk
menemui Nabi tetap dapat memperoleh Haditst dari sahabat yang sempat bertemu Nabi”.
b. Al-barra’ bin ‘Azib al-awsiy(73 H), “ tidaklah
kami semuanya (dapat langsung) mendengar Hadits rasulullah saw(karena diantara)
kami ada yang tidak memiliki waktu atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu
orang-orang tidak ada yangt berani melakukan kedustaan (terhadap Hadits Nabi).
Orang-orang yang hadir memberikan Hadits itu kepada orang yang tisak hadir”.
c. Malik
ibn Huwayrist (74 H), “ ia bersama rombongan kaumnya tinggal bersama Nabi
tinggal 20 malam. Setelah itu mereka diperintah oleh Nabi untuk mengajarkan
atau menyebarkan apa yang sudah mereka peroleh dari Nabi”[6].
Adapun
cara Nabi menyampaikan Hadits adalah
a. Cara
rasulullah menyampaikan Haditsnya pada dasarnya dengan cara natural saja. Ada
masalah lalu dia memberikan penyelesaian.
b. Dengan
lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu malam dan
subuh.
c. Dalam
bentuk tulisan.
Banyak
riwayat menyatakan bahwa Nabi telah berkirim surat kepada kepala Negara dan
pembesar daerah yang non-Islam.[7]
Di samping itu, kebijaksanaan Nabi mengutus para sahabat ke berbagai daerah,
baik tugas khusus berdakwah maupun untuk memangku jabatan.[8]
Ada
beberapa hal yang membuat para sahabat mudah menerima Hadits Nabi Muhammad
a. Petunjuk
Allah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan allah yang harus
diikuti dan ditaati oleh orang yang beriman dan menjadi teladan
b. Allah
telah memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan
c. Nabi
memrintahkan para sahabat untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang
tidak hadir
d. Karena
tingkah laku Nabi yang menjadi tauladan bagi semua umat
2.
Majlis Perempuan
a. Zaman
Nabi
1. Kehadiran
perempuan dalam majlis belajar para sahabat
banyak kalangan wanita muslimah yang
ikut menyaksikan dan menghadiri syiar keagamaan, seperti datang ke masjid
haram, ikut sholat jemaah, ikut perayaan dan menunaikan haji
“jangan kalian melarang
para wanita mendatangi masjid apabila mereka meminta izin kepadamu untuk
mendatanginya” (sahih muslim)
2. Kesempatan
perempuan diluar majlis
Nabi Muhammad SAW, tidak pernah
menutup pintu rumahnya yuntuk pada siapa saja yan ingin belajar, sehingga
kesempatan ini digunakan para wanita unuk belajar.[9]
b. Pasca
Wafatnya Nabi
1.
Risalah untuk
mendapatkan dan menyampaikan Hadits
Ummu ‘Atiyah, ia adalah salah satau
ahli fikih kalangan sahabat, dan riwayat Haditsnya banyak tercatat dalam Al-qutub
Al-tis’ah. Ia meninggalkan madinah dan menetap dibasrah untuk ikut serta
mengembagkan agama Allah.
2.
Perjalanan haji
Ummu Salim Binti Malik, dia seorang Tabi’in
perempuan, ia bertemu dengan Aisyah dan meriwayatkan Hadits darinya. Dalam tahdzib
al-kamal dijelaskan bahwa ummu salim pergi ke Ihram dan Basrah sebnyak 17
kali.
3.
Halaqah
beberapa perempuan tercatat memiliki
halaqah sebagai majlis ilmu tempat mereka memberikan pengjaran dan memberikan Hadits
para murid-muridnya. (Nafisah bin Alhasan Ibnu Zaid)[10]
Penyebaran
hadits pada masa Khulafa’rasyidin tidak
jau beda dengan dengan masa rhasulullah, berikut periwayatan hadits pada masa
Khulafa’ Rasyidin.
1. Abu
Bakar al-Shiddiq
Beliau
sangat berhati-hati dengan periwayatan hadist. Ini didasarkan pengalaman Abu
Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Beliau tidak melihat
petunjuk Quran dan praktek Nabi yang memberikan harta warisaan kepada nenek.
Lalu ia bertanya kepada sahabat-sahabat yang lain. Al-Mughirah bin Syu’bah (w.
50H) menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi memberikan bagian waris kepada
nenek sebesar seperenam bagian. Namun Abu Bakar tidak langsung percaya terhadap
perkataan sahabat tersebut. Dia meminta sahabat tersebut untuk mendatangkan
saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian. Akhirnya Abu Bakar
menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian.
Karena
Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadits, sehingga dapat
dimaklumi bila jumlah hadits yang diriwayatkannya relatif tidak banyak.[11]
Ada alasan lain mengapa hadits pada zaman abu bakar relative sedikit
a. Jarak
antara wafatnta dengan kewafatan Nabi sangat singkat
b. Kebutuhan
hadits tidak sebanyak pada zaman sesudahnya
c. Dia
selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagi kholifah[12]
2. Umar
Ibn al-Khaththab (23 H/644 M)
Khalifah
Umar juga terkenal sangat hati-hati dalam hal periwayatan hadits. Dia tidak
akan menerima riwayat hadits dari seorang sahabat saja melainkan setelah
sahabat lain juga menyatakan telah
mendengar pula hadits Nabi tentang apa
yang telah dikemukakan oleh sahabat tersebut.
Umar
juga menekankan kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadits
di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk
membaca dan memdalami Al Qur’an. Kebijakan ini tidaklah berarti bahwa Umar
melarang para sahabat tidak meriwayatkan hadits sama sekali. Larangannya tidak
tertuju pada periwayat hadits itu sendiri, tetapi agar masyarakat lebih
berhati-hati dalam periwayatan hadits dan agar perhatian masyarakat terhadap
Al- Qur’an tidak terganggu.
Pada
masa Umar ini, periwayatan hadits telah lebih banyak dilakukan oleh umat Islam
bila dibandingkan dengan masa Abu Bakar. Hal ini karena Umar memberikan
dorongan kepada umat Islam untuk mempelajari hadits Nabi, disamping karena umat
Islam telah banyak menghajatkan kepada periwayat hadits. Akan tetapi, pada saat
yang sama para periwayat hadits masih agak “terkekang” dalam melakukan
kegiatannya, karena Umar terlalu melakukan pemeriksaan yang cukup ketat kepada
periwayat hadits. Tujuannya agar umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam
periwayatan hadits. Kebijakan Umar ini telah “menghalangi” orang-orang yang
bertanggung jawab melakukan pemalsuan-pemalsuan hadits.
3. Utsman
bin Affan (35 H/656 M)
Kebijakan
Utsman tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan apa yang telah
dilakukan oleh khalifah-khalifah sebelumnya. Hanya saja Utsman tidak setegas
Umar bin al-Khaththab. Dalam suatu khutbah , Utsman meminta kepada para sahabat
agar tidak banyak meriwayatkan hadits yang mereka tidak pernah mendengar hadits
itu pada zaman khalifah sebelumnya. Ini menunjukan Utsman atas sikap hati-hati
kedua pendahulunya yang ingin dilanjutkan pada masa kekhalifahannya.
Kegiatan periwayatan hadits pada masa Utsman lebih banyak
bila dibandingkan pada masa Umar. Dalam khutbahnya disampaikan agar umat Islam
berhati-hati dalam periwayatan hadits. Tetapi, seruan itu tidak begitu besar
pengaruhnya bagi periwayat karena
pribadi Utsman yang tidak sekeras Umar. Disamping itu juga karena luas wilayah
Islam yang mengakibatkan sulitnya pengendalian kegiatan periwayatan hadits secara
ketat.
4. Ali
bin Abi Thalib (40 H/661 M)
Khalifah
Ali bin Abi Thalib juga tidak kalah jauh berbeda dengan khalifah-khalifah
terdahulunya. Secara umum, Ali baru bersedia menerima riwayat hadits Nabi
setelah periwayat hadits itu bersumpah bahwa hadits yang disampaikan itu
benar-benar berasal dari Nabi. Tetapi pada periwayat yang telah dipercaya dia
tidak meminta untuk bersumpah.
Ali
bi Abi Thalib sendiri telah cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi baik secara
lisan maupun tulisan. Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat terbanyak jika
dibandingkan denagn ketiga khalifah sebelumnya.
Pada
zaman khalifah Ali bin Abi Thalib kehati-hatian dalam periwayatan hadits sama
dengan periode sebelumnya. Tetapi, pertentangan politik di kalangan umat Islam
makin menajam. Hal ini mengakibatkan dampak negatif pada kegiatan periwayatan
hadits, sehingga banyak pihak-pihak yang melakukan pemalsuan hadits.
Kebijaksanaan
al-Khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan hadits, yaitu:
a. Seluruh
khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan
hadits.
b. Larangan
memperbanyak periwayatan hadits,
c. Penghadiran
saksi atau pengucapan sumpah bagi periwayat hadits untuk meneliti riwayat
hadits.
d. Masing-masing
khalifah telah meriwayatkan hadits. Riwayat hadits ketiga khalifah yang pertama
seluruhnya dalam bentuk lisan, hanya Ali yang meriwayatkan hadits secara lisan
dan tulisan.
5. Sahabat
Nabi selain Khulafa’ Rasyidin
Beberapa
sahabat Nabi selain khulafa’ rasyidin telah menunjukan sikap kehati-hatian
mereka dalam meriwayatkan hadits.
a. Anas
bin Malik (w. 93H) pernah berkata, sekiranya kita tidak takut keliru, niscaya
semua apa yang telah didengarnya dari Nabi dikemukakan juga kepada orang lain.
b. Sa’ad
ibn Abi Waqqas (w. 55H) perneh ditemani oleh al-Syaib bin Yazid dalam perjalanan Mekkah ke Madinah
pergi-pulang. Selama dalam perjalanan, Sa’ad tidak menyampaikan sebuah
haditspun kepada al-Sa’ib.
Kehati-hatian
sahabat dalam periwaqyatan hadits pada masa sahabat sesudah periode al-Khulafa’
al-Rasyidintidak lagi menjadi ciri yang menonjol, walaupun harus segera
dinyatakan bahwa periwayatan hadits yang sangat berhati-hati dalam periwayatan
hadits tidak sedikit jumlahnya.[13]
Pada
masa tabi’in telah dibakukan tata cara penyampaian dan penetian Hadits Nabi. Pembakuan
tata cara periwayatan ini sanagt erat kaitanya dengan upaya ulama untuk
menyelamatkan Hadits Nabi dari pemalsuan Hadits yang berkembang.[14]
Di samping itu, kegiatan periwayatan Hadits tampat semarak diaman-mana beberapa
bukti yang menggambarkan secara umum besarnya perhatian ulama’ Hadits terhadap
periwayat Hadits pada masa al-tabi’un antara lain:
1.
Sa’id ibn
al-Musayyab (w. 94H / 712M), seorang tabi’iy besar dikota Madainah, mengaku
telah melakukan perjalanan siang malam untuk mendapatkan Hadits Nabi. Kegiatan
yang sama telah dilakukan ole Muhammad ibn Sirin (w. 110 H / 712 M), dan Sufyan
al-Tsawri (w. 161H / 778M)
2.
Muhammada ibn
Muslim ibn Syihab al-Zuhri (w. 124H / 742M) pernah diminta oleh Hisyam ibn Abd
al-Malik (w. 125H / 743M) untuk
mendektikan Hadits Nabi yang akan dihadiahkan kepaada anaknya.
3.
Kalangan sahabat
Nabi yang memiliki banyak murid. Murid-murid tersebut sebagian besar berstatus
Tabi’in, disampin sebagian ada yang berstatus sebagai shabat.
Pada
zaman Tabi’in periwayatan Hadits dan
penulisan Hadits telah dilakukan oleh banyak orang. Akan tetapi, kegiatan
tersebut belum menjamin kelestarian Hadits pada masa berikutnya. Sehingga
kholifah Umar bin Abdul Aziz (memerintah 99-101H) berkeinginan untuk menghimpun Hadits
tersebut diwujudkan dalam bentuk surat
pemerintah surat itu dikirim kepada seluruh pejabat dan ulama dibebagai daerah
pada akhir tahun 100H.[15]
Pada zaman Tabi’in,Jalan
untuk menerima Hadits ada delapan, yaitu:
- As-Sima'u
min lafdzin as-Syekh, adalah seorang syekh membacakan Hadits, sedangkan
murid mendengarkan. Sama saja apakah syekh tersebut membaca dari hafalanya
atau kitab-kitabnya, begitupun murid, mendengarkan dan mencatat apa yang
didengarnya, atau mendengar saja dan tidak menulisnya.
- Al-Qira’tun
‘alas-Syekh, adalah Seorang murid membaca sedangkan gurunya mendengarkan.
Sama saja apakah ia sendir yang membaca Hadits dan orang lain
mendengarkanya.
- Al-Ijazah,
adalah perizinan untuk meriwayatkan, baik secara lafdzi maupun berupa
kitab.
- Al-Munawalah,
adalah bagian ijazah yang paling tinggi secara multak. Seorang syekh
menyerahkan kitabnya pada muridnya, seraya berkata kepadanya “ini adalah
riwayatku dari fulan, maka riwayatkanlah ini dariku”. Tetapi ada juga yang
berbentuk, seorang syekh menyerahkan kitab pada muridnya dengan hanya
menyatakan riwayat secara ringkas, ini adalah riwayat yang aku dengar.
- Al-Kitabah
adalah seorang Syekh menulis riwayat yang disengarnya kepada yang hadir
atau tidak hadir dengan tulisanya sendir atau dengan perintahnya.
- Al-I’lam
adalah seorang syekh meberitahukankepada muridnya bahwa kitab ini atau Hadits
ini merupakan hasil pendengaranya sendiri.
- Al-Wasiyah
adalah seorang syekh mewasiatkan ketika akan meninggal atau akan bepergian
kepada seorang tertentu berupa sebuah kitab dari kitab-kitabnya yang ia
riwayatkan.
- Al-wijadah
adalah seorang murid mendapatkan beberapa Hadits dengan tulisan syekh yang
diriwwayatkanya , murid tersebut mengetahui sendiri, ia tidak melalui
sima’ dan tidak pula melalui ijazah.[16]
BAB III
PENUTUP
Hadits
adalah pernyataan, pengamalan, taqrir
dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW, merupakan sumber ajaran Islam yang
kedua sesudah Al-Qur’an. Pada masa sekarang, semua aspek Hadits tersebut telah
terhimpun dalam berbagai kitab Hadits
Transmisi
/trans-mi-si/ adalah pengiriman (penerusan) pesan dan
sebagainya dari seseorang kepada orang (benda) lain. Namun dalam ilmu Haditst
yang dimaksud transmisi adalah Al-riwayat. Jadi Transmisi Hadits
adalah proses peralihan atau perpindahan serta suatu Haditst dari sanad ke
sanad sampai ke perawi.
Menurut istilah
ilmu Hadits, yang dimaksud dengan al-riwayat ialah kegiatan penerimaan dan
penyampaian Hadits, serta penyandaran Hadits itu kepada rangkaian para
periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima Hadits
dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan Hadits itu kepada orang
lain, maka dia tidak dapat disebut orang yang telah melakukan periwayatan
Hadits. Atau ketika dia menyampaikan Hadits kepada orang lain tanpa menyebutkan
sanad maka dia juga bukan orang yang melakukan periwayatan Hadits.
[1] Agung Danarta, Perempuan
Periwayat Haditst, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), Hal 62
[7] Dikot.blogspot.com/2010/11/proses-transmisi-hadits-penyebaran.html?m=1
(diambil pada jam 20:17, tanggal 27 Oktober 2016)
[8] Al-Bukhori, “Sahih al-Bukhori”, Mausu’ah
Al-Hadits Al-Syarif Al-qutub Al-Tis’ah, No. 592 dalam CD-ROM,
[9] Agung danarto, Perempuan
Periwayat Hadis, Hal. 101-104
[11] Agung danarto, Perempuan
Periwayat Hadis, Hal. 73
[12] Dikot.blogspot.com/2010/11/proses-transmisi-hadits-penyebaran.html?m=1
(diambil pada jam 20:17, tanggal 27 Oktober 2016)
[13] Agung danarto, Perempuan
Periwayat Hadis, Hal
[14] Abu Abdullah Muhammad Ibnu abi
Bakar Ibnu Qoyyim, I’lam al-muwaqqi’in ‘an Rabb al-Alamin, (Beirut: Dar
Al-jil, 1973), Juz 1, Hal 52
[15] Agung danarto, Perempuan
Periwayat Hadis, Hal. 84-89
[16] Mahmud Thahhan, Ulumul Hadits,
terj Zainul Muttaqin,(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2001), Hal 185-192