Logika merupakan suatu sistem
untuk dapat mnencapai konklusi yang benar dalam penalaran dengan cara yang
mudah atau untuk meneliti apakah sesuatu konklusi itu memang tepat.banyak
penaran begitu sederhana, sehingga ketepatan konklusi dan sahih-tidaknya penalran
dengan begitu saja nampak (self evident)
dan secara a priori dapat diketahui
melalui instuisi. Dan memang semua usaha yang mempertanggung jawabkan ketepatan
konklusi dan sahihnya penalaran akhirnya terulang kepada kebenaran-kebenaran
atau hukum-hukum yang diketahui secara a priori melalui intuisi.[1]
manusia dalam kehidupannya
senantiasa sibukkan oleh berbagai pertanyaan mendasar tentang dirinya. Pelbagai
jawaban yang bersifat spekulatif coba diajukan oleh para pemikir sepanjang
sejarah dan terkadang jawaban-jawaban yang diajukan saling kontradiksif satu
dengan yang lainnya. Perdebatan mendasar yang sering menjadi bahan diskusi
dalam sejarah kehidupan manusia adalah perdebatan seputar sumber dan asal usul
pengetahuan dan kebenaran.
A.
Level
Kebenaran
1.
Empirik
adalah cara berpikir yang menggunakan dukungan data empiris. Data empiris adalah data yang diperoleh
melalui pengalaman nyata/panca-indera. Kebenaran empirik bersifat konsisten ,
nyata/riil, sistematis dan sesuai fakta yang ada.
Contoh dari kebenaran empirik
misalnya,
a.
Kebenaran
tentang membuktikan tumbuhan tumbuh memerlukan cahaya matahari.
b.
Kebenaran
tentang membuktikan manusia memerlukan oksigen untuk bernafas.
c.
Kebenaran
bahwa fotosintesis merupakan salah satu sumber energi bagi semua makhluk hidup.
2.
Kebenaran
Logika adalah kebenaran yang dirumuskan melalui proses berpikir rasional
menggunakan akal sehat.
Contoh
dari kebenaran logik misalnya,
a. Apabila penghasilan setiap orang
di Indonesia lebih besar dari kebutuhannya, maka Indonesia sudah makmur
b. Setiap manusia pasti akan
mengalami kematian
c. Mahasiswa adalah elit intelektual
3.
Kebenaran
Etik merupakan kebenaran yang merujuk kepada perangkat standar moral sebagai
pegangan prilaku yang harus dilakukan (code of conduct). Seseorang
dikatakan benar bila dia berpegang dan melakukan tindakan sesuai dengan standar
perilaku yang harus dilaksanakannya.
Istilah
“etika” dipahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan
mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia.
Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal sehatnya untuk menyusun
teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik.
Contoh dari kebenaran etik
misalnya,
a.
Seorang
anak harus menghargai orang tuanya
b.
Membantu
orang yang membutuhkan
c.
Kepatuhan
kepada norma sosial yang berlaku
4.
Metafisik adalah Kebenaran
tentang hal-hal yang tidak dapat dijangkau secara logis maupun empiris oleh
manusia. Telaah rasional dan empirir
tidak mampu memahami kenyataannya. Menghadapi fakta kebenaran metafisika
seseorang hanya bisa percaya dan menerima, atau menjelaskan sepanjang bisa
dipahami dan dideskripsikan.
Contoh
dari kebenaran metafisik misalnya,
a.
Hubungan
seorang saudara kembar, dimana seseorang bisa merasakan hal yang menimpa
saudara kembarnya (kontak batin atau firasat).
b.
Apakah
benda-benda yang kita lihat sekeliling kita itu benar-benar nyata atau hanya
permainan pikiran atau otak kita saja? Apakah kita yang sekarang sama dengan
kita yang kemarin? Karena setiap molekul-molekul tubuh kita berganti-ganti
(meluruh).
c.
Ketika
kita sedang tertidur alam metafisika bekerja, kita tidak tahu otak mana yang
bekerja.[2]
B.
Kebenaran Proposisional
1. Necessary
Menurut kant, suatu kebenaran yang niscaya adalah
kebenaran yang bila ditolak maka penolakannya merupakan suatu kontradiksi pada
dirinya sendiri.[3] Misalnya, bahwa satu 1 besar dari pada ½ , jika ada penolakan dengan
pendapat ini, maka penolakan tersebut akan terjadi kontra diksi dalam
kebenaran. Karena telah kita ketahui, secara logik maupun empirik bahwa 1
memang lebih besar dari ½. Kebenaran nisacaya merupakan kebenaran yang tanpa
kita harus berfkir panjang bahwa kebenaranya dapat kita terima.
2.
Teori Korespondensi (Correspondence Theory of
Truth)
Teori kebenaran korespondensi, Correspondence
Theory of Truth yang kadang disebut dengan accordance theory of truth, adalah
teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika
berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau
objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau keadaan benar itu
apabila ada kesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu
pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyaan atau pendapat
tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada
kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu
proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan
apa adanya.[4]
3.
Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth)
Teori kebenaran koherensi atau konsistensi
adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau
konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan
komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Menurut
teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu
yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusanputusan
itu sendiri.[5]
Teori ini berpendapat bahwa
kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan
lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar.
Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan proposisi
proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau
konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[6]
Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian
(pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah
diketahui,diterima dan diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini
mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajar koherensi merupakan ukuran
bagi derajat kebenaran,[7]
4.
Teori Pragmatisme (The pramagtic theory of
truth.)
Pramagtisme berasal dari bahawa
Yunan pragmai, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan,
sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat.[8]
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide
dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar
tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau
teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan
harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.[9]
Amsal
(2012) menyatakan, menurut teori pragmatis, kebenaran suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis manusia. Dalam artian, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan
itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi
kehidupan manusia.[10]
Menimbang teori pragmatisme
dengan teori-teori kebenaran sebelumya, pragmatisme memang benar untuk
menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif
manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik dari
keseluruhan teori. Kriteria pragmatism juga diergunakan oleh ilmuan dalam
menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan
ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian.
Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama
pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap
benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan
perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka
pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.[11]
5.
Teori
Standdpoint
Konsep yang paling penting teori
sudut pandang adalah bahwa perspektif individu sendiri
dibentuk oleh pengalaman sosial dan politik nya. Terutama yang berkaitan dengan etnis atau
jenis kelamin, mereka tidak didefinisikan semata-mata oleh partisipasi mereka
dalam kategori ini. Penggabungan dari banyak dimensi seseorang yang
berpengalaman membentuk sudut pandang-sudut pandang-mana bahwa individu melihat
dan memahami dunia[12].
C.
Kebenaran
Ontologi
1.
Objekif adalah kebenaran yang bersifat empiris. Mempunyai
Pendapat sama dan Faktual. Misalnya, seperti ilmu IPA, Warna dan lain
sebagainya yang mempunyai pendapat sama tentang kebenaran. “Matahari terbit
dari timur kebarat”.
2.
Subjektif adalah kebenaran suatu penghayatan individu atau penafsiran tentang sesuatu sehingga adanya
perbedaan persepsi disetiap individu. “Merah berani, lampu merah: berhenti”
3.
Intersubjektif atau sosiologis (hidup bersama),
masing-masih subjek sepakat, konfensional,
penghayatan bersama, benar
salahnya sepakat. Semakin besar orag sepakat semakin besar kebenaranya, namun
tidak benar secara hakiki.
“Demokrasi:
jika orangnya tidak cerdas, maka akan
salah memilih:
D.
Kebenaran Epistem
1. Ilmiah adalah kebenaran rasional, dan bisa kita buktika secara empiris.
2. Non
ilmiah
a. Apriori/akal
sehat kebenaran ini adalah kebenaran dari akal, belum ada fakta. Pengandaain.
b. Projudic/prasangka
adalah kebenaran prasangka, anggapan baik.
c. Intuitif
adalah kemampuan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari;
bisikan hati
d. Trial
/eror adalah kebenaran experimen, percobaan
e. Otoritasadalah
kebenaran bersama: agama, sebagai kebenaran.
[3]
Paul Strathern, 90 menit bersama Sartre (Jakarta:Erlangga, 2001). hlm 20
[4] A. Susanto, Filsafat
Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 85.
[5] Amsal Bakhtiar,
Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012),
hlm. 116
[6] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13), hlm. 55.
[8] A. Susanto, Filsafat Ilmu:
Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 86.
[9] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13), hlm. 58.
[11]
Noeng Muhadjir, Filsafat
Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin,
2001, Edisi-2), hlm. 59.
[12]
Allen,
Brenda J. (1996). "Feminist Standpoint Theory: a Black Woman's Review of
Organizational Socialization". Communication
Studies. 47 (4): 257–271.