Lamunan Bisu

Rabu, 12 April 2017

KEBENARAN

Logika merupakan suatu sistem untuk dapat mnencapai konklusi yang benar dalam penalaran dengan cara yang mudah atau untuk meneliti apakah sesuatu konklusi itu memang tepat.banyak penaran begitu sederhana, sehingga ketepatan konklusi dan sahih-tidaknya penalran dengan begitu saja nampak (self evident) dan secara a priori dapat diketahui melalui instuisi. Dan memang semua usaha yang mempertanggung jawabkan ketepatan konklusi dan sahihnya penalaran akhirnya terulang kepada kebenaran-kebenaran atau hukum-hukum yang diketahui secara a priori melalui intuisi.[1]
          
  Kebenaran merupakan suatu hal yang mutlak diperlakukan untukmembuktikan suatu kebenaran dari teori ataupun pengetahuan yang kita dapatkan. Namun kebenaran sendiri merupakan suatu bentuk dari rasa ingin tahu setiap individu. Rasa ingin tahu sendiri merupakan terbentuk dari  adanya kekuatan akal yan dimiliki manusia yang selalu ingin mencari, memahami, serta memanfatakn kebenaran yang telah ia dapatkan dalam hidupnya.
            manusia dalam kehidupannya senantiasa sibukkan oleh berbagai pertanyaan mendasar tentang dirinya. Pelbagai jawaban yang bersifat spekulatif coba diajukan oleh para pemikir sepanjang sejarah dan terkadang jawaban-jawaban yang diajukan saling kontradiksif satu dengan yang lainnya. Perdebatan mendasar yang sering menjadi bahan diskusi dalam sejarah kehidupan manusia adalah perdebatan seputar sumber dan asal usul pengetahuan dan kebenaran.

A.     Level Kebenaran

1.      Empirik adalah cara berpikir yang menggunakan dukungan data empiris.  Data empiris adalah data yang diperoleh melalui pengalaman nyata/panca-indera. Kebenaran empirik bersifat konsisten , nyata/riil, sistematis dan sesuai fakta yang ada.
Contoh dari kebenaran empirik misalnya,
a.       Kebenaran tentang membuktikan tumbuhan tumbuh memerlukan cahaya matahari.
b.      Kebenaran tentang membuktikan manusia memerlukan oksigen untuk bernafas.
c.       Kebenaran bahwa fotosintesis merupakan salah satu sumber energi bagi semua makhluk hidup.
2.      Kebenaran Logika adalah kebenaran yang dirumuskan melalui proses berpikir rasional menggunakan akal sehat.
Contoh dari kebenaran logik misalnya,
a.       Apabila penghasilan setiap orang di Indonesia lebih besar dari kebutuhannya, maka Indonesia sudah makmur
b.      Setiap manusia pasti akan mengalami kematian
c.       Mahasiswa adalah elit intelektual
3.      Kebenaran Etik merupakan kebenaran yang merujuk kepada perangkat standar moral sebagai pegangan prilaku yang harus dilakukan (code of conduct). Seseorang dikatakan benar bila dia berpegang dan melakukan tindakan sesuai dengan standar perilaku yang harus dilaksanakannya.
Istilah “etika” dipahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal sehatnya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik.
Contoh dari kebenaran etik misalnya,
a.       Seorang anak harus menghargai orang tuanya
b.      Membantu orang yang membutuhkan
c.       Kepatuhan kepada norma sosial yang berlaku
4.      Metafisik adalah Kebenaran tentang hal-hal yang tidak dapat dijangkau secara logis maupun empiris oleh manusia.  Telaah rasional dan empirir tidak mampu memahami kenyataannya. Menghadapi fakta kebenaran metafisika seseorang hanya bisa percaya dan menerima, atau menjelaskan sepanjang bisa dipahami dan dideskripsikan.
            Contoh dari kebenaran metafisik misalnya,
a.    Hubungan seorang saudara kembar, dimana seseorang bisa merasakan hal yang menimpa saudara kembarnya (kontak batin atau firasat).
b.    Apakah benda-benda yang kita lihat sekeliling kita itu benar-benar nyata atau hanya permainan pikiran atau otak kita saja? Apakah kita yang sekarang sama dengan kita yang kemarin? Karena setiap molekul-molekul tubuh kita berganti-ganti (meluruh).
c.    Ketika kita sedang tertidur alam metafisika bekerja, kita tidak tahu otak mana yang bekerja.[2]

B.     Kebenaran Proposisional

1.      Necessary
Menurut kant, suatu kebenaran yang niscaya adalah kebenaran yang bila ditolak maka penolakannya merupakan suatu kontradiksi pada dirinya sendiri.[3] Misalnya, bahwa satu 1 besar dari pada ½ , jika ada penolakan dengan pendapat ini, maka penolakan tersebut akan terjadi kontra diksi dalam kebenaran. Karena telah kita ketahui, secara logik maupun empirik bahwa 1 memang lebih besar dari ½. Kebenaran nisacaya merupakan kebenaran yang tanpa kita harus berfkir panjang bahwa kebenaranya dapat kita terima.
2.      Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth)
Teori kebenaran korespondensi, Correspondence Theory of Truth yang kadang disebut dengan accordance theory of truth, adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyaan atau pendapat tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya.[4]
3.      Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth)
Teori kebenaran koherensi atau konsistensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusanputusan itu sendiri.[5]
Teori ini berpendapat bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan proposisi proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[6] Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui,diterima dan diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajar koherensi merupakan ukuran bagi derajat kebenaran,[7]
4.      Teori Pragmatisme (The pramagtic theory of truth.)
Pramagtisme berasal dari bahawa Yunan pragmai, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat.[8] Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.[9]
Amsal (2012) menyatakan, menurut teori pragmatis, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis manusia. Dalam artian, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.[10]
Menimbang teori pragmatisme dengan teori-teori kebenaran sebelumya, pragmatisme memang benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik dari keseluruhan teori. Kriteria pragmatism juga diergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.[11]
5.      Teori Standdpoint
Konsep yang paling penting teori sudut pandang  adalah bahwa perspektif individu sendiri dibentuk oleh pengalaman sosial dan politik nya.  Terutama yang berkaitan dengan etnis atau jenis kelamin, mereka tidak didefinisikan semata-mata oleh partisipasi mereka dalam kategori ini. Penggabungan dari banyak dimensi seseorang yang berpengalaman membentuk sudut pandang-sudut pandang-mana bahwa individu melihat dan memahami dunia[12].

C.     Kebenaran Ontologi

1.      Objekif adalah kebenaran yang bersifat empiris. Mempunyai Pendapat sama dan Faktual. Misalnya, seperti ilmu IPA, Warna dan lain sebagainya yang mempunyai pendapat sama tentang kebenaran. “Matahari terbit dari timur kebarat”.
2.      Subjektif  adalah  kebenaran suatu penghayatan individu atau  penafsiran tentang sesuatu sehingga adanya perbedaan persepsi disetiap individu. “Merah berani, lampu merah: berhenti”
3.      Intersubjektif atau sosiologis (hidup bersama), masing-masih subjek sepakat, konfensional,  penghayatan bersama,  benar salahnya sepakat. Semakin besar orag sepakat semakin besar kebenaranya, namun tidak benar secara hakiki.
“Demokrasi:  jika orangnya tidak cerdas, maka akan salah memilih:

D.     Kebenaran Epistem

1.      Ilmiah  adalah kebenaran rasional,  dan bisa kita buktika secara empiris.
2.      Non ilmiah
a.       Apriori/akal sehat kebenaran ini adalah kebenaran dari akal, belum ada fakta. Pengandaain.
b.      Projudic/prasangka adalah kebenaran prasangka, anggapan baik.
c.       Intuitif adalah kemampuan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati
d.      Trial /eror adalah kebenaran experimen, percobaan
e.       Otoritasadalah kebenaran bersama: agama, sebagai kebenaran.








[1]
[2] Dikutip dari kajian Ngaji Filsafat oleh Pak Fahrudin Faiz, tempat Masjid Jendral Sudirman
[3] Paul Strathern, 90 menit bersama Sartre (Jakarta:Erlangga, 2001). hlm 20
[4] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 85.
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 116
[6] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13), hlm. 55.
[7] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat, hlm. 56.
[8] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 86.
[9] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13), hlm. 58.
[10] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm 115
[11] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001, Edisi-2), hlm. 59.
[12]  Allen, Brenda J. (1996). "Feminist Standpoint Theory: a Black Woman's Review of Organizational Socialization". Communication Studies. 47 (4): 257–271.