Lamunan Bisu

Jumat, 25 Mei 2018

Periodesasi dan Motif Orientalisme

Oleh: 
Fina Olivia Mustofid, Luthfiah Trivani Zebua dan Moh Anshory Lubis

Priodisasi dan Motif-motif Orientalisme
Garapan orientalisme dimulai dengan mempelajari  bahasa arab dan islam serta berujung – setelah perluasan kolonialis barat di Timur – pada studi seluruh agama –agama timur, adat istiadat, peradaban, geografi, dan tradisi-tradisi serta penguasaan bahasa yang paling populer digunakan bangsa timur. (Ghirah, 2007) Secara pasti tidak dapat diketahui lahirnya orientalisme, namun menurut Hayat Muhammad lahirnya tersebut adalah pergesekan orang-orang islam dengan orang-orang romawi dalam perang mut’ah dan perang tabuk yang menurut Dr. Husain Haikal pada hari itu orang-orang islam berhadapan dengan kaum kristen dalam permusuhan politik. (Assamurai, 1996)

Berbagai spekulasi para ilmuan terkait ketertarikan barat mempelajari timur, namun tidak dapat dipungkiri dalam memperlajari timur, islam tetap menjadi pembahasan paling menarik. dari sejarah hingga teologinya, islam selalu menjadi alasan bagi orientalis untuk meruntuhkan ajaranya, karena kejayaan islam di eropa utamanya di spanyol berkembang pesat. maka berbagai cara mereka lakukan untuk melemahkannya, dari mulai masuk dari sektor keagamaan, penjajahan, bisnis, politik dan ilmu pengetahuan.
Priode Orientalisme
Zaman purbakala
Kajian sejarah menunjukkan, bahwa benturan memperebutkan wilayah kekuasa menyebabkan pecahnya perang yang berkepanjangan antara grik kuno dengan dinasti Aceaminids (600-330 SM) dari emperium persia, sejak pemerintahan Cyrus The Great (500-530 SM) hingga raja-raja persia turunanya.

Perang salib (1096-1270 
Tahun 968 M, daulah fathimiah (909- 1171 M) terbentuk di Tunisia, dan menguasai wilayah Mesir dari tangan Daulah Abbasyiah, suatu Daulah Fatimiah dibawah khalifah Muiz lidinilllah (952-975 M), dibangun ibukota al-qahiroh dan perguruan tinggi al-azhar dengan kurikulum berdasarkan faham syiah. (Bukhari, 2006)
Sejak kota yarussalem  ada dibaawah kekuasaan  daulah fatimiah berlaku tekanan terhadap orang-orang kristen yang berziarah . Kasus itulah yang dijadikan pembangkit dendam lamoleh paus urban II vatikan (1088-1099 M), dijadikan pembakaran orang-orang dan raja-raja kristen di eropa untuk melakukan perang suci (holy war)untuk merebut yarussalem dari kaum muslimin
Tahun 968 M, Daulah Fatimiah (909- 1171 M) terbentuk di tunisia dan menguasi wilayah mesir dari tangan daulah abbasiyah, sewaktu daulah fathimiah dibawah khalifah muiz lidnillah (952-975 M), dibangun ibu kota Al- Qahirah kairo  dan perguruan tinggi Al- Azhar dengan kurikulum berdasarkan paham syiah. Al- Azhar didirikan untuk menandingi perguruann Sunni. Selanjutnya daulah fathimiah menguasai palestina dan syiria. Sementara itu, jerussalem dikuasai umat islam tahun 636 M, tetap merupakan kota suci bagi tiga agama, yaitu yahudi, kristen dan islam yang selalu berziarah kekota tersebut.
Sejak kota jerussalem berada dibawah kekuasaan daulah fathimiah berlaku tekanan terhadap orang- orang kristen yang berziarah. Kasus itu itulah yang dijadikan pembangkit dendam lama yang oleh paus urban VII Vatikan (1088- 1099), dijadikan pembakar kemarahan orang- orang dan raja- raja kristen di eropa untuk melakukan perang suci (holy war) untuk merebut jerussalem dari tangan kaum muslimin. Itulah yang disebut ‘perang salib’ berlangsung hampir dua abad dan penyerbuan delapan kaliangkatan salib. Pasca perang salib inilah maraknya orientalisme.
Angkatan Salib I (1096- 1099M)
Angkatan Salib II (1147-1149M)
Angkatan Salib III (1189- 1192 M)
Angkatan Salib IV (1202- 1204 M) 
Angkatan Salib V (1218- 1221 M)
Angkatan Salib VI (1228-1229 M)
Angkatan Salib VII ( 1248- 1254 M)
Angkatan Salib VIII dan terakhir (1270- 1271M)
Dampak Perang Salib sangat mempengaruhi dalam bidang budaya dan intelektual. Sejak abada VII M, Islamlah yang memasuki wilayah Kristen  dari Asia kecil sampai semenanjung Italia dan Iberia (spanyol/ portugal) serta wilayah selatan prancis. Sebelumnya, orang Eropa yang mengunjungi wilayah kekuasaaan islam,  bersifat perorangan , tetapi selama perang salib, mereka datang jumlah besar sampai ratusan ribu setiap angkatan, dari rakyat biasa hingga kaum bangsawan. Disana mereka mulai mengalami perubahan yang pesat dimulai dari industri perdagangan terutama didaerah Venesia dan Genoa lewat pelabuhan dagang Laut Tengah. 
Perang salib merupakan faktor yang mendorong majunya peradaban didunia barat, sembari mempelajari dunia islam merekapun mengadopsi kemajuan yang diraih islam sebelumnya.  
Abad Pertengahan (Renaissance)
Sikap orang arab terhadap islam pada abad pertengahan adalah sikap orang yang kagum bercampur perasaan hormat dan segan terhadap kekuatan islam serta peradabannya. Perasaan takut menyelubungi mereka sepanjang abad pertengahan itu. mereka menganggap islam sebagai satu bahaya hakiki bagi eropa, baik aqidafh, peradaban, serta kekuatan militer. 
Sejak awal abad I hijriyah, kekuasaan islam benar-benar telah mencapai kesempurnaan dan menyeluruh, meliputi kekuatan politik, militer, pendidikan, kebudayaan dan kerohaniaan. Keadaan itu semakin berkembang  hingga abad III hijriyah umat islam telah melakukan berbagai negeri yang mempunyai potensi sangat berarti. Penaklukan itu tidak hanya penaklukkan militer, tetapi meliputi pula penaklukkan aqidah dan peradabaan.
Bangsa eropa menyaksikan perkembangan islam ini masa dalam keadaan bodoh dan terbelakang sampai pada abad ke 1096-1270 bangsa barat mengadaakan perlawanan dengan perang salib. Dalam menggerakkan penaklukkan islam periode ke II kaum muslim dapat menaklukkan konstantinopel pada tahun 1453 M. 


Abad Modern
Akibat kekalahan menghadapi serangan peradaban barat, serta rekayasa orientalisme terhadap keinginan mereka untuk menghancurkan islam dan kaum muslimin, maka sebagian dari cendikiawan muslim berusaha membela para orientalis umumnya dan para para oerintalis abad modern khususnya  mereka berusaha menampakan potret orientalis modern yang dianggap berbeda dengan orientalis abad pertengahan dan era kebangkitan yang sangat dikenal dengan kefanatikan serta gigihnya memusuhi islam dan kaum muslimin.
Dalam kurun abad XIX M, bangsa barat masehi telah berhasil menguasai wilayah-wilayah islam secara bertahap. Belum lagi abad XX M berakhir, seluruh islam di Afrika dan Asia telah dapat dikuasai penjajah khususnya klonial inggris, Francis, dan Belanda. Dalam waktu bersamaan waktu yang bersamaan, tumbuhlah gerakan orientalisme di wilayah barat dengan pertumbuhan yang luar biasa sejalan dengan berkembanganya kolonialisme. Karena pesatnya perkembanagan gerakan ini mengambil jalur akademik, yang menyebar lewat universitas, lembaga-lembaga pendidikan non-formal, lembaga studi dan riset serta publikasi.

Motif-motif Orientalisme
Dorongan Keagamaan
Membenarkan kebenaran motivasi agama bagi orientalisme barat, dimulai oleh perang rahib yang erus berlanjut hingga kini sebagaimana yang kita saksikan. Pretensi mereka adalah untuk menghancurkan islam dan umat islam serta menggerogoti ajaranya. Mereka meyakinkan orang-orang barat bahwa islam dan umatnya dianggap sebagai musuh kristen satu-satunya.
Penjajahan
Setelah berhasil melakukan ekspansi militer dan kekuasaan politik pertengahan abad XIX, langkah selanjutnya adalah melemahkan prinsip kerohaniaan dan spritual dan menanmkan keraguan dan kekalutan dalam pemikiran kaum muslimin. Ada motivasi yang tampak dibalik usaha-usaha orientalis dan sekutunya adalah interest dunia barat untuk mengeruk kekayaan dan bersandiwara dalam bentuk kerjasama bisnis dengan umat islam (negara-negara islama) berpretensi supaya hasil produksi industri dan barang dagangan mereka laku serta dapat membeli bahan mentah dengan harga serendah-rendahnya mungkin dan  segala hasil dan sumber alam yang berharga di dunia islam.
Politik
Motivasi bentuk ini semakin jelas warnanya di abad modern, terutama setelah mereka berhasil menguasai sebagian besar negara-negara islam. Disetiap kedutaan (perwakilan diplomatik) negara-negara barat di dunia islam selalu terdapat atau dutempatkan pakar kebudayaan yang menguasai bahasa arab, sehingga dengan mudah menghubungi  para  cendikiawan, politikus, dan para wartawan untuk lebih memahami pemikiran yang berkembang, selain untuk memperkenalkan dan menanamkan strategi politis yang dikehendaki dunia barat.


Ilmiah
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam bertambah pesat setelah masa penerjemahan buku-buku dari bahasa Yunani, Parsi, India dan lain-lain ke dalam bahasa Arab. Dan banyak pula buku-buku yang dikarang oleh sarjana-sarjana muslim sejak masa jayanya kota Bagdad hingga akhirnya sampai ke Andalus (Spanyol). Melihat semua ini timbullah keinginan orang-orang Eropa terutama dari kalangan kaum agama Kristen hendak mempelajari segala ilmu pengetahuan tersebut, seperti ilmu alam, matematika, kedokteran dan lain-lain. Mereka datang dari berbagai Negara di Eropa terutama dari Roma atau Vatikan menuju ke Andalus, belajar di beberapa Perguruan Tinggi seperti Toledo, Seville dan Cordova. Karena buku-buku yang dipakai di Perguruan Tinggi ini berbahasa Arab, maka langkah pertama yang mereka lakukan ialah mempelajari bahasa Arab lebih dahulu kemudian menerjemahkan buku-buku tersebut ke dalam bahasa Latin. Menurut riwayat yang mula sekali menerjemahkan pada waktu itu ialah Paus Sylvester II (999–1003 M). (Agustiar, 2015)

Secara jujur untuk tidak sama sekali bahwa motif keilmuan dan kecintaan untuk menelaah literatur islam sebagi sebuah kebudayaan dan perdaban yang dilakukan oleh pra orientalisme ini minin selali. Sehingga tidak menutup kemungkinan, faktor inilah yang telah membuka lebar ruang kekliruan, derta kesalahan dalam memahami islam, kecuali orang-orang yang diberikan petunjuk ddan dibukakan pintu hatinya oleh Allah. Diantara para orientalis ada yang benar-benar terjun ke dunia oreintalisme atas dorongan jujur untuk melakukan penelitian ilmiah terhadap peradaban, bangsa, agama, kebudayaan serta bahasanya. (Ghirah, 2007)
Kepastian Orientalisme
Berkenaan dengan said, agenda post-strukluratis secara umum, saya percaya pentingnya melihat di luar kerangka citra homogenitas dan univokalitas dalam studi manusia dibidang apapun. Sebenarnya, inilah motivasi untuk menggugat pendekatan tekstualis, esensialis, dan pendekatan agama-agama dunia di dalam studi-studi keagamaan. Representasi simplistik semacam ini hanya mendorong perkembangan bentuk-bentuk setreotipikal dan historis yang jelas-jelas gagal merepresentasikan heterogenitas pengalaman manusia secara akurat.
Namun, dengan demikian berkanaan dengan penolakkan gadamer terhadap mitos objektivitas dari netralis ilmiah yang positifistik dan juga karya foucault dan said, yang menyoroti hubungan erat antara pengetahuan dan kekuasaan, akan terlihat bahwa tidaklah mungkin suatu narasi atau wacana menjadi terbebas dari bentuk pengkondisian ideologis.