Lamunan Bisu

Sabtu, 12 Agustus 2017

Isu-isu aksiologi

Filsafat telah memiliki peranan sangat fundamental dalam perkembangan ilmu pengetahuan, dari mengungkapkan yang paling dasar tentang pengetahuan hingga paling mendalam. Seperti cabang-cabang filsafat yakni: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Ketiga-tiganya telah memberi sumbangsih terhadap corak sebagai pengembangan pola pemikiran. Ontologi yang membahas tentang hakikat, apistemologi dengan perananya membahas tentang sumber dari segala sesuatu. Sedangkan aksilogi lebih menekankan pada sebuah sistem nilai.
       Filsafat nilai ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Di dunia terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkut dengan masalah nilai yang khusus, seperti ekonomi, estetika, etika, filsafat agama dan epistemologi. Epistemologi bersangkutan dengan masalah kebenaan sedangkan etika bersangkutan dengan kebaikan dalam arti kesusialaan sedangkan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.[1]

       Aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau nilai suatu kehidupan. Aksiologi disebut juga Teori Nilai, karena ia dapat menjadi sarana orientasi manusia dalam usaha menjawaab suatu pertanyaan yang amat fundamental, yakni bagaimana manusia harus hidup dan bertindak? Teori nilai atau aksiologi ini kemudian melahirkan etika dan estetika.[1] Sedangkan dalam bukunya Drs Burhanuddin Assalam  dikatakan bahwa etika adalah filsafat tentang pola tingkah laku yang baik dan buruk, sedangkan estetika adalah filsafat tentang pola cita rasa atau kreasi yang indah dan yang jelek[2]. Nilai menjadi pegangan mayoritas masyarakat, walaupun keberadaanya tidak tertulis tetapi nilai dipercaya sebagai sebuah peraturan yang disakralkan oleh para penganutnya. Sehingga menghasilkan sebuah anutan etika dan estetika yang eksistensinya selalu berdampingan, walaupun pada kenyataanya berbeda tetapi idealnya etika dan estetika saling memenuhi.
       Etika yang pembahasan lebih pada sebuah kebaiakan dan keburukan sedangkan estetika lebih mengkrucutkan pada sebuah sifat keindahan dan keburukan.  Menurut bremel Aksiologi terbagi dalam tiga bagian, pertama Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini  melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua Estetic Expresion yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga Sosio-Political Life yaitu kehidupan sosial politik yang akan melahirkan filsafat sosio politik[3].  
       Etika bersal dari bahasa yunani kuno, yaitu etos  dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti : tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan , adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan.[4] Dalam penerapan etika sangatah vulgar karena jika ada seseorang yang tidak menerapkan suatu etika akan mendapatkan nilai ‘buruk’ sedangkan yang melakukan suatu etika akan mendapatkan nilai ‘baik’. Walaupun pada hakikatnya baik-buruk dalam aksiologi adalah bentukan suatu budaya yang disakralkan oleh masyarakat dan dipercaya sebagai dampak positif.
       Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama ertika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia seperti ungkapan “saya pernah belajar etika”. Arti kedua merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain. Seperti ungkapan “ia bersifat etis atau ia seseorang yang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang asusila”.[5] Penerapan etika lebih dekat pada sebuah praktek yang didalamnya terdapat sebuah pertauran seperti norma. Maksudnya etika memiliki peranan sangat penting dalam keberlangsungan sebuah budaya, implikasinya akan terbentuk adanya kebudayaan yang beretika secara normatif.
       Estetika membicarakan soal nilai indah dan tidak indah. Nilai indah dan tidak indah lebih cenderung untuk diterapkan kepada soal seni estetika berusaha untuk menemukan nilai indah secara umum. Sehingga tidak mustahil kalau akhirnya timbul beberapa teori yang membicarakan hal itu. Menurut plato, keindahan adalah realitas yang sebenarnya dan tidak pernah berubah ubah. Sekalipun ia menyatakan bahwa harmonis, proporsi, dan simetris adalah unsur yang membentuk keindahan, namun ia tetap memikirkannya dari segi-segi metafisik. Dari sini ia menyatakan bahwa keindahan itu adalah sifat objektif  barang yang dinilai. Bagi platinus, keindahan itu merupakan pancaran akal ilahi nilai yang hakikat (Ilahi) ia menyatakan dirinya atau memancarkan sinar pada, atau dalam realitas penuh, maka itulah keindahan.[6]
       Jika plato lebih percaya pada sesuatu yang memang secara esensinya sudah indah, misalnya sebuh kecantikan dianugrahkan kepada seseorang, plato menggap bahwa kecantikan orang tersebut adalah merupakan kodrat lahiriyah yang dimilikinya. Walaupun plato tidak menapikan bahwa orang yang melihatnya bisa berfikiran tentang kecantikanya karena memang kecocokan dan akal seseorang mempengaruhinya, tetapi pada hakikatnya adalah sudah kodrati. Sedangkan platinus lebih mengambil pemahaman dari objek yang melihat sebuah kecantikan tersebut, sehingga setiap individu mempinyai presepsi sendiri terhadap sesuatu yang dipandangnya.



Refrence
             H. Muhammad Adib. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010
Burhanuddin Salam  Pengantar Filsafat. Jakarta: Ummi Aksara. 1995
Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. 2012
K Bertens. Etika. Jakarta: Gramedia jakarta. 1993
Juhaya S. Praja. Aliran- aliran Filsafat & Etik. Jakarta: Kencana. 2008
Louis kattsoff. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2004. Cet IX



[1] H. Muhammad Adib. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010). hlm 78
[2] Burhanuddin salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Ummi Aksara, 1995). hlm 139
[3] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. (Jakarta: Rajawali Pers. 2012). hlm 163
[4] K Bertens, Etika, (jakarta: Gramedia jakarta, 1993), hlm 4
[5] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu...hlm 165
[6] Juhaya S. Praja. Aliran- Aliran FILSAFAT & ETIK. (Jakarta: Kencana. 2008). Hlm 68