Filsafat telah memiliki peranan
sangat fundamental dalam perkembangan ilmu pengetahuan, dari mengungkapkan yang
paling dasar tentang pengetahuan hingga paling mendalam. Seperti cabang-cabang
filsafat yakni: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Ketiga-tiganya telah
memberi sumbangsih terhadap corak sebagai pengembangan pola pemikiran. Ontologi
yang membahas tentang hakikat, apistemologi dengan perananya membahas tentang
sumber dari segala sesuatu. Sedangkan aksilogi lebih menekankan pada sebuah
sistem nilai.
Filsafat
nilai ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya
ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Di dunia terdapat banyak cabang
pengetahuan yang bersangkut dengan masalah nilai yang khusus, seperti ekonomi,
estetika, etika, filsafat agama dan epistemologi. Epistemologi bersangkutan
dengan masalah kebenaan sedangkan etika bersangkutan dengan kebaikan dalam arti
kesusialaan sedangkan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.[1]
Aksiologi
adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau nilai suatu
kehidupan. Aksiologi disebut juga Teori Nilai, karena ia dapat menjadi sarana
orientasi manusia dalam usaha menjawaab suatu pertanyaan yang amat fundamental,
yakni bagaimana manusia harus hidup dan bertindak? Teori nilai atau aksiologi ini
kemudian melahirkan etika dan estetika.[1]
Sedangkan dalam bukunya Drs Burhanuddin Assalam
dikatakan bahwa etika adalah filsafat tentang pola tingkah laku yang
baik dan buruk, sedangkan estetika adalah filsafat tentang pola cita rasa atau
kreasi yang indah dan yang jelek[2].
Nilai menjadi pegangan mayoritas masyarakat, walaupun keberadaanya tidak
tertulis tetapi nilai dipercaya sebagai sebuah peraturan yang disakralkan oleh
para penganutnya. Sehingga menghasilkan sebuah anutan etika dan estetika yang
eksistensinya selalu berdampingan, walaupun pada kenyataanya berbeda tetapi
idealnya etika dan estetika saling memenuhi.
Etika
yang pembahasan lebih pada sebuah kebaiakan dan keburukan sedangkan estetika
lebih mengkrucutkan pada sebuah sifat keindahan dan keburukan. Menurut bremel Aksiologi terbagi dalam tiga
bagian, pertama Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang
ini melahirkan disiplin khusus, yakni
etika. Kedua Estetic Expresion yaitu ekspresi keindahan, bidang
ini melahirkan keindahan. Ketiga Sosio-Political Life yaitu kehidupan
sosial politik yang akan melahirkan filsafat sosio politik[3].
Etika
bersal dari bahasa yunani kuno, yaitu etos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti :
tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan , adat; akhlak,
watak; perasaan, sikap, cara berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya
adalah adat kebiasaan.[4]
Dalam penerapan etika sangatah vulgar
karena jika ada seseorang yang tidak menerapkan suatu etika akan mendapatkan
nilai ‘buruk’ sedangkan yang melakukan suatu etika akan mendapatkan nilai ‘baik’.
Walaupun pada hakikatnya baik-buruk dalam aksiologi adalah bentukan suatu
budaya yang disakralkan oleh masyarakat dan dipercaya sebagai dampak positif.
Makna
etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama ertika merupakan suatu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia
seperti ungkapan “saya pernah belajar etika”. Arti kedua merupakan suatu
predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau
manusia-manusia yang lain. Seperti ungkapan “ia bersifat etis atau ia seseorang
yang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang asusila”.[5]
Penerapan etika lebih dekat pada sebuah praktek yang didalamnya terdapat sebuah
pertauran seperti norma. Maksudnya etika memiliki peranan sangat penting dalam
keberlangsungan sebuah budaya, implikasinya akan terbentuk adanya kebudayaan
yang beretika secara normatif.
Estetika
membicarakan soal nilai indah dan tidak indah. Nilai indah dan tidak indah
lebih cenderung untuk diterapkan kepada soal seni estetika berusaha untuk
menemukan nilai indah secara umum. Sehingga tidak mustahil kalau akhirnya timbul
beberapa teori yang membicarakan hal itu. Menurut plato, keindahan adalah
realitas yang sebenarnya dan tidak pernah berubah ubah. Sekalipun ia menyatakan
bahwa harmonis, proporsi, dan simetris adalah unsur yang membentuk keindahan,
namun ia tetap memikirkannya dari segi-segi metafisik. Dari sini ia menyatakan
bahwa keindahan itu adalah sifat objektif barang yang dinilai. Bagi platinus, keindahan
itu merupakan pancaran akal ilahi nilai yang hakikat (Ilahi) ia menyatakan
dirinya atau memancarkan sinar pada, atau dalam realitas penuh, maka itulah
keindahan.[6]
Jika
plato lebih percaya pada sesuatu yang memang secara esensinya sudah indah,
misalnya sebuh kecantikan dianugrahkan kepada seseorang, plato menggap bahwa
kecantikan orang tersebut adalah merupakan kodrat lahiriyah yang dimilikinya.
Walaupun plato tidak menapikan bahwa orang yang melihatnya bisa berfikiran
tentang kecantikanya karena memang kecocokan dan akal seseorang
mempengaruhinya, tetapi pada hakikatnya adalah sudah kodrati. Sedangkan
platinus lebih mengambil pemahaman dari objek yang melihat sebuah kecantikan
tersebut, sehingga setiap individu mempinyai presepsi sendiri terhadap sesuatu
yang dipandangnya.
Refrence
H. Muhammad Adib. Filsafat Ilmu: Ontologi,
Epistemologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2010
Burhanuddin
Salam Pengantar Filsafat. Jakarta:
Ummi Aksara. 1995
Amsal
Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. 2012
K
Bertens. Etika. Jakarta: Gramedia
jakarta. 1993
Juhaya
S. Praja. Aliran- aliran Filsafat & Etik. Jakarta: Kencana. 2008
Louis kattsoff. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2004. Cet IX
[1] H. Muhammad Adib. Filsafat
Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2010). hlm 78
[2] Burhanuddin salam, Pengantar
Filsafat, (Jakarta: Ummi Aksara, 1995). hlm 139
[3] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu.
(Jakarta: Rajawali Pers. 2012). hlm 163
[4] K Bertens, Etika, (jakarta:
Gramedia jakarta, 1993), hlm 4
[5] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu...hlm
165
[6] Juhaya S. Praja. Aliran-
Aliran FILSAFAT & ETIK. (Jakarta: Kencana. 2008). Hlm 68