Lamunan Bisu

Sabtu, 12 Agustus 2017

NIkah Beda Agama

Memandang sisi gelap dunia. Semakin terasa akan sebuah keracauan dalam hidup. Tidak ada alasan lain yang menyebabkan hal tersebut terjadi, kecuali karna memudarnya iman umat islam sekarang ini. Kehidupan mereka terus berlanjut tanpa  mereka arahkan dengan ajaran Islam yang terkandung dalam wahyu Allah.
Masalah pernikahan yang terjadi sekarang terjadi kebanyakkan adalah pernikahan beda agama, dengan semakin banyak dan semakin diterimanya pernikahan beda agama di negara yang konon katanya merupakan negara dengan jumlah penganut agama islam terbesar di dunia dan ada fakta bahwa terjadi pro dan kontrak yang terjadi dikalangan umat islam sendiri dalam menyikapi perbedaan nikah agama ini.
Sebagai umat yang mangaku beragama islam, beriman kepada allah dan juga beriman kepada kitab suci al-qur’an. Maka sudah selayaknya al-qur’an yang dijadikan sebagai referensi utama. 

             Secara umum perkawinan beda agama sering disamakan dengan perkawinanCampuran, karna dilihat dari sifatnya perkawinan beda agama adalah perkawinan campuran, karna perkawinan itu terjadi antara dua orang yang masing-masing tunduk pada sistem hukum yang berbeda.[1]
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh pakar hukum, diantaranya adalah definisi yang dikemukakan oleh Asy’ari Abd. Ghafar menyebutkan istilah perkawinan beda agama dengan perkawinan antar agama, menurutnya perkawinan antar agama adalah suatu perkawinan yang terjadi antara (seorang laki-laki) calon suami dengan (seorang wanita) calon istri yang mana agama yang mereka anut itu berbeda satu sama lain.
Sedangkan Abdulrahman menyatakan, perkawinan antar agama yaitu suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.[2]
1.     Kontra
Ayat ayat tentang dilarangnya menikah beda agama adalah sebagai berikut, yaitu Surat al-Baqarahayat 221:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak keneraka, sedang Allah mengajak kesurga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah : 221)
Dan yang keduaadalahsurat al-Mumtahanahayat 10:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila dating berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suamimereka) orang-orang kafir. Merekatiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah : 10)
Ayat-ayat di atas termasuk surat Madaniyah yang pertama kali turun dan membawa pesan khusus agar orang-orang Muslim tidak menikahi perempuan musyrik atau sebaliknya. Imam Muhammad al-Razidalam al-Tafsir al-Kabirwa Mafatih al-Ghaib  menyebut ayat tersebut sebagai ayat-ayat permulaan yang secara eksplisit menjelaskan hal-hal yang halal (ma yuhallu) dan hal-hal yang dilarang (ma yuhramu). Dan, menikahi orang musyrik merupakan salah satu perintah Tuhan dalam kategori “haram” dan “dilarang”.
Memang, apabila membaca ayat ini secara literal akan didapatkan kesimpulan yang bersifat serta-merta, bahwa menikahi non-muslim hukumnya haram. Cara pandang seperti ini di karenakan sebagian masyarakat muslim masih beranggapan bahwa yang termasuk dalam kategori musyrik adalah non-muslim, termasuk di antaranya Kristen danYahudi.
Di dalam al-Qur’an melarang seorang muslim, baik pria maupun wanita menikah dengan orang musyrik, surat al-baqarah (2): 221 telah menyebutkan apa yang bisa dikatakan sebagai alasan (illah) penetapan larangan pernikahan dengan orang musyrik, yaitu karna mengajak ke neraka. Alasan ini didasarkan pada illah penetap pelarangan antara wanita dan pria musyrik tidak boleh dinikahi, karna akan mengajak pasangan hidupnya keneraka, yang berupa kekafiran kepada allah dan rasul-Nya.
2.     Pro
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya lebih cenderung memperbolehkan pernikahan beda agama sebagaimana yang dejelaskan dalam surat Al Maidah: 5. Dihalalkan juga bagi kamu, yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani sebelum kamu, bila kamu telah membayar imbalan atau mas kawin mereka, yakni telah melangsungkan akad nikah secara sah, pembayaran dengan maksud memelihara kesucian diri kamu, menikahi sesuai tuntunan Allah, tidak dengan maksud berwarna dan tidak pula menjadikannya pasanganpasangan yang dirahasiakan atau gundik-gundik. Dihalalkan kepada kamu pernikahan itu, sambil kiranya kamu mengingat bahwa barang siapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya. Jika kekafiran tersebut dibawa mati dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi[3].
Selain itu, yang harus diperhatikan adalah istilah kata Ahl Kitab, Syirik atau musyrik. Karena di dalam al qur’an sendiri membedakan kata itu, shingga para ahli bahasa memberikan penjelasan yang berbeda antara Ahli Kitab, syirik atau musyrik. Syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam pandangan agama, seorang musyrik adalah siapa yang percaya bahwa ada Tuhan bersama Allah, atau siapa yang melakukan satu aktivitas yang bertujuan utama ganda, pertama kepada Allah, dan kedua kepada selainNya. Dengan demikian, semua yang mempersekutukan-Nya dari sudut pandang tinjauan ini, adalah musyrik. Orang-orang Kristen yang percaya tentang Trinitas, adalah musyrik, dari sudut pandang di atas[4]. Selain itu ada istilah Ahl Kitab, yang mana kata ini mengacu kepada agama besar selain islam yakni Yahudi dan Nasrani. Secara harfiah berarti kaum yang memiliki kitab[5]. Terdapat tiga pendapat mengenai Ahl Kitab, yaitu:
a) Imam Syafi'i memahami istilah Ahl Al-Kitab, sebagai orangorang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel tidak termasuk orang yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, karena Nabi Musa dan Isa hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa lain.
b) Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar hukum menyatakan bahwa siapa pun yang mempercayai salah seorang nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah maka ia termasuk Ahl Al-Kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi dan Nasrani.
c) Sekelompok kecil ulama salaf berpendapat bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci (samawi) maka mereka dicakup dalam pengertian Ahl Al-Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi.
Pendapat ini, menurut Imam Maududi diperluas lagi oleh para mujtahid (pakar-pakar hukum) kontemporer, sehingga mencakup pula penganut agama Buddha dan Hindu, dan dengan demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh pria muslim, karena mereka juga telah diberi kitab suci (samawi)[6]. Menurut Hamka dalam tafsirnya, Yahudi “Yaitu orang-orang yang mengaku pengikut Nabi Musa. Dan Nashara”. Pengikut Isa Almasih yang karena kelahiran beliau dengan ajaib dan karena mu’jizat-mu’jizat beliau yang luar biasa, setelah meninggal dunia, dia dianggap sebagai Allah, tegasnya Allah itu adalah dia[7].
Sehingga dapat disimpulkan bahwa M. Quraish Shihab menukil dari pendapatnya Muhammad Rasyid Ridla, bahwa yang diperbolehkan dinikahi adalah wanita selain musyrik. Disisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan Ahl Kitab, juga berbeda pendapat tentang makna Ahl Kitab dalam ayat ini, serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini. Walaupun penulis cenderung berpendapat bahwa ayat tersebut tetap berlaku hingga kini terhadap semua penganut ajaran Yahudi dan Kristen, namun yang perlu diingat bahwa Ahl Kitab yang boleh dikawini itu, adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat tersebut sebagai "wal muhshanat minalladzina utul kitab". Kata "al muhshanat disini berarti wanita-wanita terhormat yang lalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat menghormati kitab suci.[8]






Refrence
             M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002, Vol 3
             M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002, Vol 1
             Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2002
             Ahsin W. Al Hafidz, Kamus Ilmu Al Qur’an. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005
             M. Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an: tafsir maudhu’I atas pelbagai persoalan umat. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003
             Sa’di Abu Habieb, Mausuu’atul Ijmak (Ensiklopedi Ijmak) terj: KH. M. Sahal Machfudz dan KH. A. Mustofa Bisri, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2006
Maratur Rabikhah, Nikah Beda Agama,  Skripsi.





             [1] Maratur Rabikhah, nikah beda agama,  skripsi. Hlm 32
             [2] Maratur Rabikhah, nikah beda agama,  skripsi. Hlm 33-34
             [3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol 3, hlm. 29
             [4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol 1 hlm. 473
             [5] Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia. (Jakarta: Djambatan, 2002), hlm. 46
             [6] Ahsin W. Al Hafidz, Kamus Ilmu Al Qur’an. (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005), hlm. 9
             [7] M. Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an: tafsir maudhu’I atas pelbagai persoalan umat. (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003), h. 379
             [8] Sa’di Abu Habieb, Mausuu’atul Ijmak (Ensiklopedi Ijmak) terj: KH. M. Sahal Machfudz dan KH. A. Mustofa Bisri, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 20