Lamunan Bisu

Senin, 29 Mei 2017

Kritik-Dialektis: antara Idealis dan Gerus Zaman*


Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah memiliki peranan fundamental dalam berkembangnya pemikiran radikal. Impresinya telah terasa pada masa dewasa ini, terlihat lahirnya pemikir-pemikir kontemporer di abad  21 yang menjadi acuan dalam wacana keilmuan. Misalnya, Mukti ali, Abdurrahman Wahid, Nur cholis majid, Qurais Shihab,  Jalaluddin Rachmad, Zuhairi Misrawi,Yudi Latif dan banyak lagi lainnya, telah mengisi sekumpulan pemikir modern dan ikut memajukan khazanah Iptek. Dari pemikiran paling kanan hingga sangat kiri, menjadi tumpuan pembelajaran dari ribuan warna pengetahuan berkembang. Maksudnya, iptek telah mengkonstruk pemuda untuk tetap eksis sebagai eksistensi bergelut dengan jutaan pemikiran.

Pemuda memiliki peranan sangat penting dalam tatanan masyarakat, jika bung Karno pernah berkata “Beri Aku 10 Pemuda, Maka Akan Aku Guncang Dunia Ini”. Representasi ungkapan bung Karno seakan mengukuhkan pemuda sebagai fondasi moral, nilai, perkembangan dan kemajuan, sebagai upaya terbentuknya sekumpulan pemuda penggoncang peradaban menuju masyarakat madani. Karena jiwa pemuda mudah meluapkan emosi dan bertindak semaunya serta munculnya tantangan dalam diri pemuda untuk selalu tahu sehingga mereka cenderung mengkritisi sebanyak-banyaknya, sedalam-dalamnya dan sedetail-detailnya dalam suatu permasalahan atau pandangan. Sehingga memunculkan gejolak pembaharuan sesuai kekuatan dialektisnya. Idealnya, pemuda seharusnya mengkritisi sebuah pandangan pemikiran hingga keakar-akarnya sehingga ditemukan titik terang untuk mendapatkan pembenaran, dikritisi sedetail-detailnya dengan bermacam sumber ilmu pengetahuan supaya terciptanya pandangan pemikiran yang tahan dari gempuran kehidupan. Namun Realitas terjadi, pemuda terlalu nyaman dengan dunianya, eksistensi pemuda tak lagi memiliki peranan fundamental karena kecam pendidikannya hanya bergelut di bangku sekolah atau kampus, padahal teori tidak selamanya benar dalam penerapanya dimasyarakat. Maka disinilah peran pemuda, harusnya tetap menghantam berbagai teori dengan pemikiran kritisnya.

Pemikiran kritik-dialektik yang tak lagi esensial dikehidupan pemuda, berdampak minimnya perlawanan pemuda disetiap berkecambuknya permasalahan. “Didiklah Rakyat dengan Organisasi dan Didiklah Penguasa dengan Perlawanan” begitulah kira-kira ungkapan Pramoedya Ananta Toer. Pentingnya berorganisasi telah menuai hasil sangat memuaskan dalam perkembangan zaman utamanya kemerdekaan indonesia. Karena diorganisasi, rakyat utamanya pemuda diajari bagaimana berhimpun dan menghasilkan gagasan baru. Bahkan kemerdekaan indonesia lahir dari tangan pemuda dengan gagasan pembaharuan yang dimanifestasikan untuk sejahteranya bersama. Pemuda tidak akan pernah lepas dari perkembangan zaman, mereka selalu inheren terhadap berkecambuknya suatu zaman. Maka tidak salah jika pemuda seharusnya berhimpun dan bergerak untuk memunculkan gagasan pembaharuan supaya terbebasnya dari cengkraman penguasa, yang tak lagi terdidik dengan perlawanan tetapi dengan pendidikan sosial-pragmatis, dimana teman-keluarga akan mampu bersanding denganya untuk melancarkan laku-politiknya. Terlihat dari kehidupan pemuda yang sukanya mengharapkan suatu nilai ketika menempuh pendidikan bukan justru gagasan-gagasan ilmu pengetahuan yang menjadi preoritas utama.

Tan Malaka pernah berkata, “ada dua pokok dalam berperang: pertama, soal membela dan kedua, soal menyerang. Pemuda saat ini seakan tidak mengenal namanya peperangan, baik berperang melawan diri atau berperang melawan keadaan. Idealnya sebuah pemuda harapan bangsa menjadi serdadu siap perang agar mampu menampakkan sikap kritisnya. Namun yang nampak sekarang ini, pemuda terlalu asyik bertahan sehingga melupakan berperang. Terbukti dari minimnya pemuda ikut-serta dalam kegiatan-kegiatan sosial. Semua terlalu asyik mempelajari akademik yang diagung-agungkan karena doktrin-doktrin pengetahuan yang belum bisa menyeimbangkan antara praktek sosial dengan teori sosial atau belum mampu menyeimbangkan keduanya. Sehingga terkadang terlihat rancu, ada pemuda terlalu banyak berteori dengan menyebut tokoh-tokoh terkenal, tetapi disisi lain dia bermain ciduk, Tebas sini-tebas situ. Alhasil banyak pemuda hanya bisa bersuara dengan irama menawan tetapi tidak bisa mengeksplorasi pada kehidupan nyata. Mereka bisa membela diri sendiri tapi tidak membela masyarakat, tidak lagi mengetahui bagaimana berperang menyelaraskan iptek dengan kehidupan bermasyarakat. Berperang melawan penindasan dari keserakahan penghemogen yang sifatnya menindas secara halus atau orang-orang pemecah belah toleransi bemasyarakat.

Permasalahan yang semakin berkembang merupakan kegagalan pemuda berperan penting di masyarakat, biasanya pemuda menjadi penggerak masyarakat tetapi justru pemudalah yang ikut berbaur membesarkan permasalahan, terbukti didalam berkecambuknya permasalahan akhir-akhir ini. Pemuda memperkeruh setiap masalah. Tidak mencari solusi dari permasalahan, karena pembacaan mereka pada setiap permasalahan bersifat tekstual tidak lagi melihat secara kontekstual yang secara implisit mempunyai nilai tinggi dan bermanfaat, sehingga pembacaan pemuda terhadap wacana di masyarakat tidak lagi bisa dipertanggung jawabkan disetiap pemecahan masalah. Karena mereka ikut serta didalamnya, bukan untuk mengatasi permasalahan tetapi justru memperkeruh permasalahan. Sewajarnya pemuda adalah ikut andil mengubah penghapusan pengkotak-kotakan pemuda dalam wacana keindonesiaan, sehingga adanya satu tujuan terciptanya Binneka Tunggal ika.

Dialektik pemuda telah tergerus oleh retorika zaman. Fanatisme mengubah paradigma berfikir pemuda pada titik tumpu kenyamanan terhadap diri sendiri namun tidak bagi orang lain, terlihat kebanyakan pemuda terlalu moderat menghadapi permasalahan di masyarakat. Sehingga ujungnya sikap kritis pemuda tidak lagi terlihat dalam penyelesaian berbagai masalah, utamanya permasalahan keummatan. Mereka ikut serta dalam berbagai aksi radikalisme tetapi tidak untuk memperbaiki wacana sedemikian tetapi justru menyalakan api peperangan. Menyebabkan adanya golongan-golongan pembenaran bagi dirinya bukan justru mencari gagasan solusi untuk merangkul semua golongan menjadi satu kesatuan dengan satu tujuan.

*http://penelehnews.com/id-964-post-krisis--dialektis-antara-idealis-dangerus-zamannbsp.html