Perkembangan Ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK) telah memiliki peranan fundamental dalam berkembangnya
pemikiran radikal. Impresinya telah terasa pada masa dewasa ini, terlihat
lahirnya pemikir-pemikir kontemporer di abad
21 yang menjadi acuan dalam wacana keilmuan. Misalnya, Mukti ali, Abdurrahman
Wahid, Nur cholis majid, Qurais Shihab, Jalaluddin Rachmad, Zuhairi Misrawi,Yudi Latif
dan banyak lagi lainnya, telah mengisi sekumpulan pemikir modern dan ikut
memajukan khazanah Iptek. Dari pemikiran paling kanan hingga sangat kiri,
menjadi tumpuan pembelajaran dari ribuan warna pengetahuan berkembang. Maksudnya,
iptek telah mengkonstruk pemuda untuk tetap eksis sebagai eksistensi bergelut
dengan jutaan pemikiran.
Pemuda memiliki peranan sangat
penting dalam tatanan masyarakat, jika bung Karno pernah berkata “Beri Aku 10
Pemuda, Maka Akan Aku Guncang Dunia Ini”. Representasi ungkapan bung Karno
seakan mengukuhkan pemuda sebagai fondasi moral, nilai, perkembangan dan
kemajuan, sebagai upaya terbentuknya sekumpulan pemuda penggoncang peradaban
menuju masyarakat madani. Karena jiwa pemuda mudah meluapkan emosi dan bertindak
semaunya serta munculnya tantangan dalam diri pemuda untuk selalu tahu sehingga
mereka cenderung mengkritisi sebanyak-banyaknya, sedalam-dalamnya dan
sedetail-detailnya dalam suatu permasalahan atau pandangan. Sehingga memunculkan
gejolak pembaharuan sesuai kekuatan dialektisnya. Idealnya, pemuda seharusnya
mengkritisi sebuah pandangan pemikiran hingga keakar-akarnya sehingga ditemukan
titik terang untuk mendapatkan pembenaran, dikritisi sedetail-detailnya dengan
bermacam sumber ilmu pengetahuan supaya terciptanya pandangan pemikiran yang
tahan dari gempuran kehidupan. Namun Realitas terjadi, pemuda terlalu nyaman
dengan dunianya, eksistensi pemuda tak lagi memiliki peranan fundamental karena
kecam pendidikannya hanya bergelut di bangku sekolah atau kampus, padahal teori
tidak selamanya benar dalam penerapanya dimasyarakat. Maka disinilah peran
pemuda, harusnya tetap menghantam berbagai teori dengan pemikiran kritisnya.
Pemikiran kritik-dialektik yang
tak lagi esensial dikehidupan pemuda, berdampak minimnya perlawanan pemuda
disetiap berkecambuknya permasalahan. “Didiklah Rakyat dengan Organisasi dan Didiklah
Penguasa dengan Perlawanan” begitulah kira-kira ungkapan Pramoedya Ananta Toer.
Pentingnya berorganisasi telah menuai hasil sangat memuaskan dalam perkembangan
zaman utamanya kemerdekaan indonesia. Karena diorganisasi, rakyat utamanya
pemuda diajari bagaimana berhimpun dan menghasilkan gagasan baru. Bahkan
kemerdekaan indonesia lahir dari tangan pemuda dengan gagasan pembaharuan yang
dimanifestasikan untuk sejahteranya bersama. Pemuda tidak akan pernah lepas
dari perkembangan zaman, mereka selalu inheren terhadap berkecambuknya suatu
zaman. Maka tidak salah jika pemuda seharusnya berhimpun dan bergerak untuk
memunculkan gagasan pembaharuan supaya terbebasnya dari cengkraman penguasa,
yang tak lagi terdidik dengan perlawanan tetapi dengan pendidikan
sosial-pragmatis, dimana teman-keluarga akan mampu bersanding denganya untuk
melancarkan laku-politiknya. Terlihat dari kehidupan pemuda yang sukanya mengharapkan
suatu nilai ketika menempuh pendidikan bukan justru gagasan-gagasan ilmu
pengetahuan yang menjadi preoritas utama.
Tan Malaka pernah berkata, “ada dua pokok dalam berperang:
pertama, soal membela dan kedua, soal menyerang. Pemuda
saat ini seakan tidak mengenal namanya peperangan, baik berperang melawan
diri atau berperang melawan keadaan. Idealnya sebuah pemuda harapan bangsa
menjadi serdadu siap perang agar mampu menampakkan sikap kritisnya. Namun yang
nampak sekarang ini, pemuda terlalu asyik bertahan sehingga melupakan
berperang. Terbukti dari minimnya pemuda ikut-serta dalam kegiatan-kegiatan
sosial. Semua terlalu asyik mempelajari akademik yang diagung-agungkan karena
doktrin-doktrin pengetahuan yang belum bisa menyeimbangkan antara praktek
sosial dengan teori sosial atau belum mampu menyeimbangkan keduanya. Sehingga
terkadang terlihat rancu, ada pemuda terlalu banyak berteori dengan menyebut
tokoh-tokoh terkenal, tetapi disisi lain dia bermain ciduk, Tebas sini-tebas situ. Alhasil banyak pemuda hanya bisa bersuara
dengan irama menawan tetapi tidak bisa mengeksplorasi pada kehidupan nyata.
Mereka bisa membela diri sendiri tapi tidak membela masyarakat, tidak lagi
mengetahui bagaimana berperang menyelaraskan iptek dengan kehidupan
bermasyarakat. Berperang melawan penindasan dari keserakahan penghemogen yang
sifatnya menindas secara halus atau orang-orang pemecah belah toleransi
bemasyarakat.
Permasalahan yang semakin
berkembang merupakan kegagalan pemuda berperan penting di masyarakat, biasanya
pemuda menjadi penggerak masyarakat tetapi justru pemudalah yang ikut berbaur membesarkan
permasalahan, terbukti didalam berkecambuknya permasalahan akhir-akhir ini.
Pemuda memperkeruh setiap masalah. Tidak mencari solusi dari permasalahan,
karena pembacaan mereka pada setiap permasalahan bersifat tekstual tidak lagi melihat
secara kontekstual yang secara implisit mempunyai nilai tinggi dan bermanfaat,
sehingga pembacaan pemuda terhadap wacana di masyarakat tidak lagi bisa
dipertanggung jawabkan disetiap pemecahan masalah. Karena mereka ikut serta
didalamnya, bukan untuk mengatasi permasalahan tetapi justru memperkeruh
permasalahan. Sewajarnya pemuda adalah ikut andil mengubah penghapusan
pengkotak-kotakan pemuda dalam wacana keindonesiaan, sehingga adanya satu
tujuan terciptanya Binneka Tunggal ika.
Dialektik pemuda telah tergerus
oleh retorika zaman. Fanatisme mengubah paradigma berfikir pemuda pada titik
tumpu kenyamanan terhadap diri sendiri namun tidak bagi orang lain, terlihat
kebanyakan pemuda terlalu moderat menghadapi permasalahan di masyarakat.
Sehingga ujungnya sikap kritis pemuda tidak lagi terlihat dalam penyelesaian
berbagai masalah, utamanya permasalahan keummatan. Mereka ikut serta dalam
berbagai aksi radikalisme tetapi tidak untuk memperbaiki wacana sedemikian
tetapi justru menyalakan api peperangan. Menyebabkan adanya golongan-golongan
pembenaran bagi dirinya bukan justru mencari gagasan solusi untuk merangkul
semua golongan menjadi satu kesatuan dengan satu tujuan.
*http://penelehnews.com/id-964-post-krisis--dialektis-antara-idealis-dangerus-zamannbsp.html