Lamunan Bisu

Selasa, 03 Januari 2017

Pluralisme Sebagai Asas Koeksistensi Antar Agama Fokus Studi di Vihara Avalokitesvara Pamekasan Madura


Konflik yang terjadi diberbagai negara merupakan fenomina yang sangat fudemintal, pemicunya adalah gesekan antar agama. Terlebih, yang terjadi di Indonesia. Rakyat Indonesia  yang  merupakan negara mayoritas beragama terlah terjadi dikotomi antar pemeluk agama. Sehingga, dianggap penting adanya koeksistensi antar agama untuk  membentuk satu kesatuan antar umat atau yang biasa dikenal dengan Pluralisem Agama. Pluralisme Agama muncul pada masa yang disebut pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abat ke 18 Masehi, masa yang disebut sebagai permulaan bangkitnya pergerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada sperioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama.[1]
Seperti yang tertulis dalam buku Tren Pluralisme Agama karya Anis Malik Thoha dibagian Pengantar Penerbit adalah Pluralisme agama atau yang saat ini kita sebut Pluralisme saja, merupakan istilah yang berbunga-bunga, dan penuh janji. Janji tentang kehidupan damai dan rukun antar masyarakat yang berbeda terutama agama, aliran kepercayaan ras, etnik, kelas sosial dan kelas ekonomi. Seperti halnya konflik agama, aliran, kelas sosial dan ekonomi yang terjadi di Madura. Keberagaman agama di Madura telah membuat para pemeluknya saling sikut untuk menjustis dan rebut menang sendiri. Walaupun konflik antar agama telah lama terjadi namun adanya Pluralisme telah menyadarkan pemeluk agama, terlebih yang terjadi di  Vihara Avalokitesvara (Kwan Im Kiong).
Koeksistensi yang berkembang di Madura utamanya di Vihara Avalokitesvara (Kwan Im Kiong)  adalah sebagai wujud tercapainya pluralisme agama yang diidamkan oleh negara dengan  mayoritas rakyat pemeluk agama monoteisme. Walaupun, masyarakat madura mayoritas muslim, dan skeptis dengan adanya pluralisme agama karena takut tergocang keyakinanya, namun lambat laun meraka mulai menerima dan memahami arti penting Pluralisme Agama.
Menurut KBBI atau EBI. Secara etimologi, Pluralisme terdapat dua kata yakni plural dan isme. plural adalah jamak; lebih dr satu, sedangakn isme adalah faham atau sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi. Secara terminologi Pluralisme adalah keadaan masyarakat yg majemuk (bersangkutan dng sistem sosial dan politiknya). Setiap negara mengatur negaranya agar berlaku adil, damai dan sejahtera, terlebih gesekan antar golongan yang semakin memanas, adanya Pluralisme menjadi sarana pemernyatu umat. Terlebih gesekan antar agama yang saling memojokan satu sama lain. Sehingga dalam konteks ini, terdapat dua kelompok pemikir besar dalam merespon plulisme agama. Kelompok pertama, menganggap bahwa Pluralisme agama sebagai suatu yang niscaya (condition sinquanon), sedangkan kelompok kedua menganggap bahwa Pluralisme sebagai paham dan bukan yang niscaya.[2] Kelompok pertama mengaggap bahwa pluralisme suatu yang niscaya karena benyaknya konflik antar agama yang telah terjadai sehingga memicu keegoisan dalam tatanan keagamaan sehingga sangat sulit adanya koeksistensi antar mereka. sedangkan yang kedua menggap bahwa adalah sebuah paham menyeluruh dan ketidak adanya berpihakan serta menumbuhkan tolerasi antar golongan, sehingga hal seperti ini bukanlah hal yang niscaya.
Sedangkan Pluralisme agama adalah bersal dua kata yaitu Pluralisme dan agama. Dalam Bahasa arab diterjemahkan “al-Ta’addudiyyah Al-diniyah” dan dalam Bahasa inggris “Religious Pluralisme”. Oleh karena Pluralisme berasal dari bahas Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus besar tersebut. Pluralisme berarti “jama’” atau lebih dari satu. Dalam kamus Bahasa inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama,  pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan Ketiga, pengertian sosial politik: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perdamaian yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelopok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan disatu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dalam karakteristik masing-masing.[3]
Dengan banyaknya ras, suku, aliran yang ada di Indonesia, dipandang sangat penting adanya Pluralisme. Terbelih di Madura yang didalamnya terdapat beberapa macam aliran keagamaan. Walaupun masyarakat Madura terlalu fanatik dengan kepercayaanya, namun kesadaran akan Pluralisme mulai terbangun. Misalnya, keberadaan Pemuda Madura yang mulai merantau dan menempuh ilmu pengetahuan ke pulau-pulau lain, misalnya ke pulau jawa, Sumatra, Kalimantan bahkan sampai ada yang keluar Negri. Sehingga mereka dapat melihat banyak warna dan tidak mudah lagi terpengaruh dengan isu-isu yang mudah memicu konflik.
Dari perwatakan, orang Madura memang berbeda dengan mayoritas orang Jawa. Misalnya, dalam obrolan yang suka menggunakan suara keras, cepat marah, mudah tersinggung, tempramen, pendendam dan suka berkelahi. Sehingga tidak banyak kelompok atau etnis yang menyandang stereotipe negatif dan samar-samar sebanyak yang melekat pada orang Madura. Sedikit sekali yang terdengar positif tentang mereka. Seandainya orang mempercayai berbagai stereotype itu-sikap yang tentunya tidak boleh dilakukan terhadap stereotype-kelompok etnis terbesar ketiga di Indonesia ini memiliki ciri negatif yang berlimpah[4]. Karena sebenarnya, yang membentuk perwatakan bukanlah etnis atau suku, tetapi didikan atau cara belajar dan lingkungan sekitarnya.
Pulau Madura, yang terletak di timur laut Jawa, memiliki reputasi luas sebagai wilayah penuh kekerasan. Dipulau ini, konon kehidupan tidaklah aman, karena setiap konflik diselesaikan dengan paksaan[5]. tidak terlepas dari masalah pribadi saja, perbedaan aqidah dan perbedaan ideologi, juga menjadi perihal yang sering memunculkan konflik.  Dan jalan terakhir yang digunakan adalah paksaan untuk saling membunuh menggunakan Clurit dan Parang yang biasa kita kenal dengan sebutan CAROK.[6] Namun disisi lain orang Madura sangat menjaga persaudaraan dan sangat menjaga yang namanya Tengka (etika), adalah sistem nilai serta norma yang berlaku dalam tatanan masyarakat. Sistem nilai ini yang menjadi pegangan orang madura untuk tetap menjaga harga diri mereka dan mengahargai sesamanya. Namun, jika harga diri mereka dilecehkan maka jalan terakhirnya adalah Carok.
Konflik yang terjadi di Madura pada dasarnya adalah masalah pribadi yang dibesarkan-besarkan sehingga menjalar ke antar golongan dan terjadi kegaduhan yang sangat besar. Tidak dapat dipungkiri juga, Konflik antar golongan dan agama yang ada di Madura, sebenarnya bukanlah murni dari hati masyarakat Madura. tetapi, adanya interpensi pemuka agama dan golongan sehingga masyarakat yang notabeni belum memahami adanya toleransi. Patuh dan tunduk saja terhadap titah pemuka agama atau golongan, Tanpa adanya pengkajian terlebih dahulu. karena masyarakat Madura percaya bahwa pemuka agama adalah orang yang harus dipatuhi dan paling benar.
Keyakinan seseorang yang serba mutlak dan absolut bahwa apa yang diyakini dan diimaninya itu paling benar dan superior, adalah alami belaka. Keyakinan akan mutlak dan absolut ini berlaku dalam aqidah, mazhab dan ideologi.[7] Ketekunan orang Madura terhadap akidahnya, membuat mereka sangat patuh dan tunduk terhadap pemuka agama. Mereka akan melakukan apa saja jika sudah diperintah oleh pemuka agama, karena kedudukan pemuka agama yang sangat sentral maka tidak diragukan lagi adanya ikatan masyarakat sangat kuat serta kekeluargaanya sangat kental.

C.     Sejarah Vihara Avalokitesvara (Kwan Im Kiong)

Vihara Avalokitesvara Pamekasan Madura merupakan salah satu situs peninggalan peradaban manusia masa lampau yang sangat menarik dan berarti. Vihara Avalokitesvara Pamekasan yang juga merupakan TITD (Tempat Ibadah Tri Darma) Kwan Im Kiong terletak di pantai Talang Siring Kampung atau Dusun Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis, kurang lebih 17 km sebelah timur kota Pamekasan Madura.
Bagi kalangan warga Tionghoa, Kelenteng Kwan Im Kiong sebutan lain untuk Vihara Avalokitesvara, mempunyai keunikan tersendiri. Selain merupakan Tempat ibadah umat Tri Darma terbesar di Madura, sejumlah warga Tionghoa mengaku tertarik karena Vihara Avalokitesvara mempunyai sejarah yang panjang. Ada semacam legenda atau cerita lisan yang telah berlangsung turun-temurun termasuk sisa-sisa peninggalan budaya jaman Majapahit. Dinamakan Kelenteng Kwan Im Kiong karena di dalamnya ada patung Kwan Im Po Sat alias Avalokitesvara, Dewi Welas Asih. Tingginya 155 sentimeter, tebal tengah 36 cm, dan tebal bawah 59 cm.
Pada awal abad ke-16 terdapat sebuah Kerajaan Jamburingin di daerah Proppo sebelah barat Pamekasan, yang menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit. Raja-raja Jamburingin yang masih keturunan Majapahit itu mempunyai rencana membangun candi untuk tempat beribadah, tepatnya di kampung Gayam, kurang lebih dua kilometer ke arah timur Kraton Jamburingin, dan mendatangkan perlengkapannya lewat Pantai Talang dari Kerajaan Majapahit.
Namun, setelah tiba di pelabuhan Talang, kiriman patung-patung dari Majapahit ke Kraton Jamburingin sama sekali tidak terangkat. Penduduk pada waktu itu hanya bisa mengangkat beberapa ratus meter saja dari pantai. Akhirnya, penguasa Kraton Jamburingin memutuskan untuk membangun candi di sekitar pantai Talang. Tempat Candi yang tidak terwujud itu, sekarang dikenal dengan Desa Candi Burung merupakan salah satu desa di Kecamatan Poppo, yang lokasinya berdekatan dengan Desa Jamburingin. Burung dalam bahasa Madura berarti gagal (tidak jadi).
Rencana pembangunan candi di Pantai Talang pun tidak terlaksana seiring perkembangan kejayaan Kerajaan Majapahit yang mulai pudar serta penyebaran agama Islam mulai masuk dan mendapat sambutan yang sangat baik di Pulau Madura, termasuk daerah Pamekasan. Akhirnya, patung-patung kiriman dari Majapahit pun dilupakan orang, serta lenyap terbenam dalam tanah.[8]
Vihara Avalokitesvara, di Dusun Candi, Desa Polagan, kecamatan Galis, kabupaten Pamekasan, Vihara yang luasnya berkisar 3 hektar ini menjadi bukti corak keberagaman agama di Madura. di Vihara ini ada pemandangan yang berbeda dibanding Vihara-Vihara pada umumnya, karena mayoritas yang bekerja didalamnya merupakan muslim. misalnya, dari petugas bersih-bersih dan satpam. Serta kita dengan mudah dapat melihat orang-orang berhijab asyik berselfi.  
Pemandangan yang tidak kalah uniknya adalah adanya tempat ibadah pemeluk agama lain didalam Vihara Avalokitespara. Vihara yang pada hakekatnya sebagai tempat ibadah bagi penganut Tri Darma, namun di Vihara ini terdapat Mushollah berukuran 4x4 meter yang terlihat mencolok dengan warna hijau tua, dengan kubah berbentuk piramid berundak tiga, mirip Masjid Demak maupun Masjid umumnya di Pulau Jawa. Lokasinya tepat didepan kanan Vihara. Meski tidak besar, pihak Vihara menyediakan tempat berwudu, sajadah (alas untuk Sholat), Mukena. Jarak Mushollah dengan Vihara hanya 10 Meter. Bukan hanya musala yang berdiri di areal Vihara, tapi ada Pura lebih kecil dari Mushollah, berukuran 3x3 meter.[9] yang disediakan oleh pengelola Vihara untuk pengunjung muslim dan hindu yang ingin beribadah. Adanya toleransi antar agama dimadura masih sempat terjaga. Seperti pemaparan pak Mahfud MD mantan ketua Mahkamah konstitusi dalam kunjunganya ke Vihara.
“Ini seharusnya menjadi prototype tentang kerukunan di Madura. Seharusnya, perbedaan jangan dijadikan alasan untuk saling menyerang, merusak apalagi membunuh. Madura itu sebenarnya orang-or angnya bijaksana, bisa menerima perbedaan sebagai rahmat. Hanya terkadang ada yang memprovokasi”.[10]
Tidak seperti yang kita kenal sebelumnya, bahwa  Madura yang masyarakatnya dikenal keras kepala dan terlalu fanatik terhadap kepercayaanya. Tetapi, dengan adanya potret  koeksistensi tempat ibadah seperti yang ada di Vihara Avalokitesvara (Kwan Im Kiong), sudah mulai tercium adanya pluralisme agama dan mulai memahami pentingnya toleransi. 


[1] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektif, 2005), Hal 16
[2] M. Zainuddin, Pluralisme Agama Pergulatan Islam-Kristen di IndonesiaI, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), Hal 4
[3] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektif, 2005), Hal 11-12
[4] Huub De Jonge, Garam Kekerasan dan Sapi Aduan (Yogyakarta: LKis Group, 2012), Hal 59.
[5] Huub De Jonge, Garam, Hal 123
[6] Tradisi perkelahian orang Madura sebagai puncak dari ketidak adanya kata sepakat. Yang disebabkan karena alasan tertentu yang berhubungan dengan harga diri. Misalnya menyangkut masalah wanita dan harta
[7]Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Hal 25 
[8] http://www.lenterakecil.com/vihara-avalokitesvara-pamekasan-madura/ (Diambil pada jam 21:46, tanggal 15 Desember 2016)
[9] http://www.pulaumadura.com/2015/01/obyek-wisata-religi-Vihara.html (Diambil pada jam 15:10, tanggal 11 Desember 2016)
[10]http://www.pulaumadura.com/2015/01/obyek-wisata-religi-Vihara.html (Diambil pada jam 15:10, tanggal 11 Desember 2016)