Konflik yang terjadi diberbagai negara merupakan
fenomina yang sangat fudemintal, pemicunya adalah gesekan antar agama. Terlebih, yang terjadi di Indonesia. Rakyat
Indonesia yang merupakan negara mayoritas beragama terlah
terjadi dikotomi
antar pemeluk agama. Sehingga, dianggap penting adanya koeksistensi antar agama
untuk membentuk satu kesatuan antar umat
atau yang biasa dikenal dengan Pluralisem Agama. Pluralisme Agama muncul pada
masa yang disebut pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abat ke
18 Masehi, masa yang disebut sebagai permulaan bangkitnya pergerakan pemikiran
modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran
manusia yang berorientasi pada sperioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan
akal dari kungkungan-kungkungan agama.[1]
Seperti yang tertulis
dalam buku Tren Pluralisme Agama karya Anis Malik Thoha dibagian Pengantar
Penerbit adalah Pluralisme agama atau yang saat ini kita sebut Pluralisme saja,
merupakan istilah yang berbunga-bunga, dan penuh janji. Janji tentang kehidupan
damai dan rukun antar masyarakat yang berbeda terutama agama, aliran
kepercayaan ras, etnik, kelas sosial dan kelas ekonomi. Seperti halnya konflik
agama, aliran, kelas sosial dan ekonomi yang terjadi di Madura. Keberagaman
agama di Madura telah membuat para pemeluknya saling sikut untuk menjustis dan
rebut menang sendiri.
Walaupun konflik antar agama telah lama terjadi namun adanya Pluralisme telah
menyadarkan pemeluk agama, terlebih yang terjadi di Vihara Avalokitesvara (Kwan Im Kiong).
Koeksistensi yang berkembang di Madura utamanya di Vihara Avalokitesvara
(Kwan Im Kiong) adalah sebagai wujud
tercapainya pluralisme agama yang diidamkan oleh negara dengan mayoritas rakyat pemeluk agama monoteisme.
Walaupun, masyarakat madura mayoritas muslim, dan skeptis dengan adanya
pluralisme agama karena takut tergocang keyakinanya, namun lambat laun meraka mulai
menerima dan memahami arti penting Pluralisme Agama.
Menurut KBBI atau EBI.
Secara etimologi, Pluralisme terdapat dua kata yakni plural dan isme.
plural adalah jamak; lebih dr satu, sedangakn isme adalah faham atau
sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi. Secara terminologi
Pluralisme adalah keadaan masyarakat yg majemuk (bersangkutan dng sistem sosial
dan politiknya). Setiap negara mengatur negaranya agar berlaku adil, damai dan
sejahtera, terlebih gesekan antar golongan yang semakin memanas, adanya Pluralisme
menjadi sarana
pemernyatu umat. Terlebih gesekan antar agama yang saling memojokan satu sama
lain. Sehingga dalam konteks ini, terdapat dua kelompok pemikir besar dalam
merespon plulisme agama. Kelompok pertama, menganggap bahwa Pluralisme agama
sebagai suatu yang niscaya (condition sinquanon), sedangkan kelompok
kedua menganggap bahwa Pluralisme sebagai paham dan bukan yang niscaya.[2]
Kelompok pertama mengaggap bahwa pluralisme suatu yang niscaya karena benyaknya
konflik antar agama yang telah terjadai sehingga memicu keegoisan dalam tatanan
keagamaan sehingga sangat sulit adanya koeksistensi antar mereka. sedangkan
yang kedua menggap bahwa adalah sebuah paham menyeluruh dan ketidak adanya
berpihakan serta menumbuhkan tolerasi antar golongan, sehingga hal seperti ini
bukanlah hal yang niscaya.
Sedangkan Pluralisme
agama adalah bersal dua kata yaitu Pluralisme dan agama. Dalam Bahasa arab
diterjemahkan “al-Ta’addudiyyah Al-diniyah” dan dalam Bahasa
inggris “Religious Pluralisme”. Oleh karena Pluralisme berasal dari
bahas Inggris,
maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus besar tersebut. Pluralisme
berarti “jama’” atau lebih dari satu. Dalam kamus Bahasa inggris
mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang
yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang
dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun
non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran
yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu.
Sedangkan Ketiga, pengertian sosial politik: adalah suatu sistem yang mengakui
koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun
partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perdamaian yang sangat
karakteristik diantara kelompok-kelopok tersebut. Ketiga pengertian tersebut
sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai
kelompok atau keyakinan disatu waktu dengan tetap terpeliharanya
perbedaan-perbedaan
dalam karakteristik masing-masing.[3]
Dengan banyaknya ras,
suku, aliran yang ada di Indonesia, dipandang sangat penting adanya Pluralisme.
Terbelih di Madura yang didalamnya terdapat beberapa macam aliran keagamaan.
Walaupun masyarakat Madura terlalu fanatik dengan kepercayaanya, namun
kesadaran akan Pluralisme mulai terbangun. Misalnya, keberadaan Pemuda Madura
yang mulai merantau dan menempuh
ilmu pengetahuan ke pulau-pulau lain, misalnya ke pulau jawa, Sumatra,
Kalimantan bahkan sampai ada yang keluar Negri. Sehingga
mereka dapat melihat banyak warna dan tidak mudah lagi terpengaruh dengan
isu-isu yang mudah memicu konflik.
Dari perwatakan,
orang Madura memang berbeda dengan mayoritas orang Jawa. Misalnya, dalam
obrolan yang suka menggunakan suara keras, cepat marah, mudah tersinggung,
tempramen, pendendam dan suka berkelahi. Sehingga tidak banyak kelompok atau
etnis yang menyandang stereotipe negatif dan samar-samar sebanyak yang melekat
pada orang Madura. Sedikit sekali yang terdengar positif tentang mereka.
Seandainya orang mempercayai berbagai stereotype itu-sikap yang tentunya tidak
boleh dilakukan terhadap stereotype-kelompok etnis terbesar ketiga di Indonesia
ini memiliki ciri negatif yang berlimpah[4]. Karena sebenarnya, yang membentuk
perwatakan bukanlah etnis atau suku, tetapi didikan atau cara belajar dan
lingkungan sekitarnya.
Pulau
Madura, yang terletak di timur laut Jawa, memiliki reputasi luas sebagai
wilayah penuh kekerasan. Dipulau ini, konon kehidupan tidaklah aman, karena
setiap konflik diselesaikan dengan paksaan[5]. tidak terlepas dari masalah
pribadi saja, perbedaan aqidah dan perbedaan ideologi, juga menjadi perihal
yang sering memunculkan konflik. Dan jalan
terakhir yang digunakan adalah paksaan untuk saling membunuh menggunakan Clurit
dan Parang yang biasa kita kenal dengan sebutan CAROK.[6] Namun disisi lain orang Madura
sangat menjaga persaudaraan dan sangat menjaga yang namanya Tengka (etika),
adalah sistem nilai serta norma yang berlaku dalam tatanan masyarakat. Sistem
nilai ini yang menjadi pegangan orang madura untuk tetap menjaga harga diri
mereka dan mengahargai sesamanya. Namun, jika harga diri mereka dilecehkan maka
jalan terakhirnya adalah Carok.
Konflik
yang terjadi di Madura pada dasarnya adalah masalah pribadi yang
dibesarkan-besarkan sehingga menjalar ke antar golongan dan terjadi kegaduhan
yang sangat besar. Tidak dapat dipungkiri juga, Konflik antar golongan dan agama
yang ada di Madura, sebenarnya bukanlah murni dari hati masyarakat Madura. tetapi, adanya interpensi pemuka agama
dan golongan sehingga masyarakat yang notabeni belum memahami adanya toleransi.
Patuh dan tunduk saja terhadap titah pemuka agama atau golongan, Tanpa adanya
pengkajian terlebih dahulu.
karena masyarakat
Madura percaya bahwa pemuka agama adalah orang yang harus dipatuhi dan
paling benar.
Keyakinan
seseorang yang serba mutlak dan absolut bahwa apa yang diyakini dan diimaninya
itu paling benar dan superior, adalah alami belaka. Keyakinan akan mutlak dan
absolut ini berlaku dalam aqidah, mazhab dan ideologi.[7]
Ketekunan orang Madura terhadap akidahnya, membuat mereka sangat patuh dan
tunduk terhadap pemuka agama. Mereka akan melakukan apa saja jika sudah
diperintah oleh pemuka agama, karena kedudukan pemuka agama yang sangat sentral
maka tidak diragukan lagi adanya ikatan masyarakat sangat kuat serta
kekeluargaanya sangat kental.
C.
Sejarah Vihara
Avalokitesvara (Kwan Im Kiong)
Vihara Avalokitesvara Pamekasan Madura merupakan
salah satu situs peninggalan peradaban manusia masa lampau yang sangat menarik
dan berarti. Vihara Avalokitesvara Pamekasan yang juga merupakan TITD
(Tempat Ibadah Tri Darma) Kwan Im Kiong terletak di pantai Talang Siring
Kampung atau Dusun Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis, kurang lebih 17 km
sebelah timur kota Pamekasan Madura.
Bagi kalangan
warga Tionghoa, Kelenteng Kwan Im Kiong sebutan lain untuk Vihara
Avalokitesvara, mempunyai keunikan tersendiri. Selain merupakan Tempat ibadah
umat Tri Darma terbesar di Madura, sejumlah warga Tionghoa mengaku tertarik
karena Vihara Avalokitesvara mempunyai sejarah yang panjang. Ada semacam
legenda atau cerita lisan yang telah berlangsung turun-temurun termasuk
sisa-sisa peninggalan budaya jaman Majapahit. Dinamakan Kelenteng Kwan Im Kiong karena
di dalamnya ada patung Kwan Im Po Sat alias Avalokitesvara, Dewi Welas Asih.
Tingginya 155 sentimeter, tebal tengah 36 cm, dan tebal bawah 59 cm.
Pada awal abad
ke-16 terdapat sebuah Kerajaan Jamburingin di daerah Proppo sebelah barat
Pamekasan, yang menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit. Raja-raja Jamburingin
yang masih keturunan Majapahit itu mempunyai rencana membangun candi untuk
tempat beribadah, tepatnya di kampung Gayam, kurang lebih dua kilometer ke arah
timur Kraton Jamburingin, dan mendatangkan perlengkapannya lewat Pantai Talang
dari Kerajaan Majapahit.
Namun, setelah
tiba di pelabuhan Talang, kiriman patung-patung dari Majapahit ke Kraton
Jamburingin sama sekali tidak terangkat. Penduduk pada waktu itu hanya bisa
mengangkat beberapa ratus meter saja dari pantai. Akhirnya, penguasa Kraton
Jamburingin memutuskan untuk membangun candi di sekitar pantai Talang. Tempat
Candi yang tidak terwujud itu, sekarang dikenal dengan Desa Candi Burung
merupakan salah satu desa di Kecamatan Poppo, yang lokasinya berdekatan dengan
Desa Jamburingin. Burung dalam bahasa Madura berarti gagal (tidak jadi).
Rencana pembangunan candi di Pantai Talang pun
tidak terlaksana seiring perkembangan kejayaan Kerajaan Majapahit yang mulai
pudar serta penyebaran agama Islam mulai masuk dan mendapat sambutan yang
sangat baik di Pulau Madura, termasuk daerah Pamekasan. Akhirnya, patung-patung
kiriman dari Majapahit pun dilupakan orang, serta lenyap terbenam dalam tanah.[8]
Vihara
Avalokitesvara, di Dusun Candi, Desa Polagan, kecamatan
Galis, kabupaten
Pamekasan, Vihara
yang luasnya berkisar 3 hektar ini menjadi bukti corak keberagaman agama di
Madura. di Vihara ini ada pemandangan yang berbeda dibanding Vihara-Vihara pada
umumnya, karena mayoritas yang bekerja didalamnya merupakan muslim. misalnya,
dari petugas bersih-bersih dan satpam. Serta kita dengan mudah dapat melihat orang-orang
berhijab asyik berselfi.
Pemandangan
yang tidak kalah uniknya adalah adanya tempat ibadah pemeluk agama lain didalam
Vihara Avalokitespara. Vihara yang pada hakekatnya sebagai tempat ibadah bagi
penganut Tri Darma, namun di Vihara ini terdapat Mushollah berukuran 4x4 meter
yang terlihat mencolok dengan warna hijau tua, dengan kubah berbentuk piramid
berundak tiga, mirip Masjid Demak maupun Masjid umumnya di Pulau Jawa.
Lokasinya tepat didepan kanan Vihara. Meski tidak besar, pihak Vihara menyediakan
tempat berwudu, sajadah (alas untuk Sholat), Mukena. Jarak Mushollah dengan Vihara
hanya 10 Meter. Bukan hanya musala yang berdiri di areal Vihara, tapi ada Pura
lebih kecil dari Mushollah, berukuran 3x3 meter.[9] yang disediakan oleh pengelola Vihara
untuk pengunjung muslim dan hindu yang ingin beribadah. Adanya toleransi antar agama
dimadura masih sempat terjaga. Seperti pemaparan pak Mahfud MD mantan ketua
Mahkamah konstitusi dalam kunjunganya ke Vihara.
“Ini
seharusnya menjadi prototype tentang kerukunan di Madura. Seharusnya, perbedaan
jangan dijadikan alasan untuk saling menyerang, merusak apalagi membunuh.
Madura itu sebenarnya orang-or angnya bijaksana, bisa menerima perbedaan
sebagai rahmat. Hanya terkadang ada yang memprovokasi”.[10]
Tidak seperti yang kita kenal sebelumnya, bahwa Madura yang masyarakatnya dikenal keras kepala
dan terlalu fanatik terhadap kepercayaanya. Tetapi, dengan adanya potret koeksistensi tempat ibadah seperti yang ada di
Vihara Avalokitesvara (Kwan Im Kiong), sudah mulai tercium adanya pluralisme
agama dan mulai memahami pentingnya toleransi.
[1] Anis Malik Thoha, Tren
Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektif, 2005), Hal 16
[2] M. Zainuddin, Pluralisme
Agama Pergulatan Islam-Kristen di IndonesiaI, (Malang: UIN-Maliki Press,
2010), Hal 4
[3] Anis Malik Thoha, Tren
Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektif, 2005), Hal 11-12
[4] Huub De Jonge, Garam
Kekerasan dan Sapi Aduan (Yogyakarta: LKis Group, 2012), Hal 59.
[5] Huub De Jonge, Garam,
Hal 123
[6] Tradisi perkelahian
orang Madura sebagai puncak dari ketidak
adanya kata sepakat. Yang disebabkan karena alasan tertentu yang berhubungan dengan
harga diri. Misalnya menyangkut masalah wanita dan harta
[7]Anis Malik Thoha, Tren
Pluralisme Agama, Hal 25
[8] http://www.lenterakecil.com/vihara-avalokitesvara-pamekasan-madura/ (Diambil
pada jam 21:46, tanggal 15 Desember 2016)
[9] http://www.pulaumadura.com/2015/01/obyek-wisata-religi-Vihara.html (Diambil pada
jam 15:10, tanggal 11 Desember 2016)
[10]http://www.pulaumadura.com/2015/01/obyek-wisata-religi-Vihara.html (Diambil pada jam
15:10, tanggal 11 Desember 2016)