Anggapan kita sebelumnya telah terjadi dikotomi yang
tajam antar bermazahab dan berijtihad. kelompok orang tergolong bermazhab
seolah tidak pernah menyentuh praktik ijtihad, sedangkan orang yang berijtihad
seolah tidak pernah memperaktekkan perspektif-perspektif mazhab. Diranah politik
misalnya, banyak politikus belum mengenal kaidah-kaidah berpolitik. sehingga
ada yang dinamakan Politik Elit dan Politik Bangsawan.
Legitimasi kekuasaan saat ini cendrung tirani ideologi,
seakan ber“kuasa” adalah segalanya dan seruan ke“adil”an adalah
tujuan yang paling fudamintal dalam
tatanan politik. Namun kenyataan yang kita temukan, keadilan hanya berlaku bagi
politikus, politik elit dan politik bangsawan namun tidak berlaku pula pada Rakyat. sehingga praktek hedonisme yang menggap kesenangan
batin atau berkuasa menjadi tujuan termaktub dalam hidupnya, praktek ini menjalar
dari politikus tinggi sampai pelaku
politik bawah. kaum politik elit dan politik bangsawan seperti raja yang berkuasa
di singgasananya, hierarki kekuasaan mejadi praktek politik yang monarki dan
cendrung diktator kalem, maka tidak asing lagi jika banyak penguasa menggunakan
segala cara agar dianggap baik dan tercapai segala harapan.
Pelaku politik akan dikatakan baik oleh rekan politik
jika ia mampu mengendalikan keadilan bagi para bawahanya serta memilih, memilah
dan membagi sesuai porsi laku-politik monarki yang berlaku. misalnya, politikus
cendrung mengangkat kerabat, teman se-Parpol
atau teman dari kerabat. untuk menjaadi laku-politik yang berkiprah dalam tatanan
politiknya, sehingga nanti dapat memudahkanya melakukan segala tindak politik.
Sebagai bangsa yang berideologi Pancasila dengan lima
butirnya. rasanya cukup rancu, jika kita melihat praktek politik saat ini.
seperti sila pertama “ketuhanan yang maha esa” sebagai fudamin moral Pancasila,
sila kedua “kemanusiaan yang adil dan beradab” membatasi implikasi spritual
dalam forum interaksi antar manusia, yang ditekankan pada pesan keadilan.
relasi pesan keadilan ini akan mengantarkan manusia dan masyarakat Pancasila membagun
keadaan dan peradaban spritual. Acuan materialis ditekankan lebih pragmatis
pada sila kelima “keadilan sosial bagi
seluruh rakyat indonesia”, sehingga keadilan dan kemakmuran yang ingin
digapai dalam filsafat pancasila secara langsung dijiwai oleh spritualitas
peradaban dan keadaban. Namun butir Pancisala saat ini bak kitab-kitab agama yang
sudah berdebu dipojok rumah, sang pemilik sudah merasa bisa membaca,
memperaktekan dan sebagai syarat bahwa dia pemeluk agama. Sehingga tidak
sedikit para penguasa membusungkan dada. Ada yang main todong, ada yang main
hujat, ada yang mainnya secara halus “asal ada komisi, semua pasti”. Keadaan
dan praktek spritual seakan sudah mulai buyar dimakan zaman, seiring
berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang mampu mengalihkan atau
memanipulasi hierarki politik. walau dalam praktek politik, kita sudah
mengenal lama adanya larangan kekerasan, main suap, dan pemalsuan dokumin. Namun
hal ini hanya sebagai wacana pelengkap dalam tatanan politik, sehinnga para
mujahid politik mengalihkan semuanya pada media sosial agar masyarakat bisa
beranggapan laku politik bersih, dan sekan-sekan tidak ada praktek distorsi ideologi.
Tak hayal jika para penguasa menggunakan media sosial sebagai
sarana mengijtihadkan perspektif yang menurutnya jalan terbaik untuk mencapai
klimak kekuasaan. Memainkan olah pikir masyarakat sehingga tertuju pada
media-media untuk menghilangkan jejak politik-hitam. Kepiawaian pemerintah
mengalihkan masyarakat pada dunia media sosial, berjalan cukup alot. Banyak laku-politik yang telah
berhasil menjadikan media sosial sebagai sarana proses pengalihan pola
pemikiran, sehingga masyarakat tidak lagi peduli dengan politik dan terlenan
dengan dunia media sosial. Sasaran paling utama adalah pemuda, karena dari
pemudalah semua akan tumbuh dan dengan pemudalah semua akan berkembang. contoh
saja dalam sarana sosial media, pemuda yang biasanya menjadi agen of change dan
agen of control dalam dunia moral yang bersih sehingga bersifat normatif.
tetapi kenyataannya doktrin media sosial membuat para pemuda pindah haluan pada
jalan hedonisme. maka pengalihan pengetahuan pada media sosial seperti inilah
dimanfaatkan penguasa untuk memburamkan pemuda dalam dunia politik. banyak
pemuda yang acuh tak acuh terhadap politik, membiarkan para politik elit dan
bangsawan politik menerapkan politiknya yang notabeni berdampak pada pemuda,
namun mereka hanya diam saja dan berseru "masa bodoh dengan politik".